TEORI KEPRIBADIAN
(Makalah Dasar-dasar Pemahaman Perilaku
Individu)
Oleh
Kelompok 6:
1.
Annisa
Dwi Oktaviani
2.
Esrawati
Silalahi
3.
Nini
Apriyani
4.
Novita
Dewi Indriyana Sari
5.
Nur
Fitriyana Irawati
6.
Qomarul
Hasanah
7.
Vita
Dwi Astuti
8.
Yessy
Ari Estiani Sutopo
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU
PENDIDIKAN
JURUSAN ILMU PENDIDIKAN
PROGRAM STUDI BIMBINGAN KONSELING
UNIVERSITAS LAMPUNG
2012
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Setiap orang memiliki kepribadian
yang berbeda-beda, dilahirkan dengan ciri khas dan watak berbeda-beda
yang menjadikan seseorang itu unik, mempunyai kekuatan dan kelemahan
sendiri-sendiri. Dalam kehidupan sehari-hari di lingkungan masyarakat, manusia saling berinteraksi dan menciptakan
suatu kebudayaan yang mempengaruhi tingkah laku kebudayaan individu, setiap generasi baru memberikan corak
kepribadian baru dari generasi sebelumnya dan bereaksi terhadap lingkungannnya,
yang merupakan akibat dari perbedaan kepribadian dalam pemenuhan
kebutuhannya. Dalam usaha penyesuaian diri terhadap kebutuhan manusia
sedapat mungkin tidak menyimpang dari ketentuan-ketentuan yang berlaku dalam
kelompoknya. Pengalaman tersebut sangat mempengaruhi kepribadian tiap
individu sehingga menandai terbentuknya suatuindividu.
Kepribadian adalah sesuatu yang
unik dan menetap yang didapat dari pengalaman diri yang bermanifestasi
menjadi perilaku yang teramati, bersifat konsisten dan sering disebut
sebagai sifat, karakter, dan ciri pembawaan. Kepribadian juga bersifat
fleksibel dalam beradaptasi dengan lingkungannya,dimana fleksibilitas tersebut
biasanya hilang jika terjadi gangguan kepribadian. Yang dimaksud dengan Gangguan
Kepribadian adalah bentuk yang sangat rigid dari suatu ciri kepribadian yang
teramati dari perilakunya, yang tampak dari sikapnya yang ekstrim dan
berlangsung lama. Dikatakan terganggu jika menyebabkan hendaya dalam fungsi
sosial dan pekerjaan yang menimbulkan distress bagi individu, yang pada
umumnya individu tersebut tidak menyadari perilaku bermasalahnya.
Gangguan kepribadian secara khas
sudah dapat diamatisejak masa remaja atau dewasa muda, dan kurang lebih 9%-13%
seluruh orangdewasa mengalami gangguan kepribadian. Mereka yang memiliki
gangguan kepribadian memiliki beberapa fitur yang berbeda termasuk gangguan
psikologis dalam diri, kemampuan untuk memiliki hubungan interpersonal yang
sukses,kesesuaian dari jangkauan emosi, cara memahami diri mereka sendiri, orang
lain dan dunia dan kesulitan memiliki kontrol impuls yang tepat. Orang dengan gangguan kepribadian tidak merasa cemas
tentang perilaku maladaptifnya. Karena mereka tidak secara rutin
merasakan sakit dari apa yang dirasakan oleh masyarakat sebagai gejala, mereka
sering kali tidak termotivasi untuk melakukan pengobatan dan tidak mempan
terhadap pemulihan. Dalam mata kuliah kepribadian ini
dibahas tentang teori-teori kepribadian. Teori-teori kepribadian
yang akan di jelaskan kembali disini adalah merupakan ringkasan seluruh materi yang
pernah disampaikan di kelas mata Kuliah Dasar-dasar
pemahaman perilaku individu.
Kepribadian sangat mencerminkan
perilaku seseorang. Setiap orang sama seperti kebanyakan atau
bahkan semua orang lain, kita bisa tahu apa yang diperbuat seseorang
dalamsituasi tertentu berdasarkan pengalaman diri kita sendiri. Kenyataannya,
dalam banyak segi,setiap orang adalah unik, khas. Oleh karena itu, kita
membutuhkan sejenis kerangka acuanuntuk memahami dan menjelaskan tingkah laku
diri sendiri dan orang lain. kita harusmemahami defenisi dari kepribadian itu,
bagaimana kepribadan itu terbentuk. Selain itu kitamembutuhkan teori-teori
tentang tingkah laku, teori tentang kepribadian agar terbentuk suatukepribadian
yang baik. Sehingga gangguan-gangguan yang biasa muncul pada kepribadian setiap
individu dapat dihindari.
1.2
Perumusan Masalah
Berdasarkan
hasil diskusi, maka penulis merumuskan
masalah sebagai berikut:
1.
Bagaimana teori kepribadian menurut Sigmund Freud ?
2.
Bagaimana teori kepribadian menurut Carl Gustav Jung ?
3.
Bagaimana teori kepribadian menurut Jean Piaget ?
4.
Bagaimana teori
kepribadian menurut Allbert Ellis ?
5.
Bagaimana teori kepribadian menurut Bf. Skiner ?
6.
Bagaimana teori kepribadian menurut Abraham Maslow ?
7.
Bagaimana teori kepribadian menurut Carl Rogers ?
8.
Bagaimana
teori kepribadian
menurut Albert Bandura?
9.
Bagaimana kepribadian sehat itu ?
1.3Tujuan Penulisan
Tujuan penulisan karya
tulis ini adalah sebagai berikut:
1. Untuk memenuhi salah
satu syarat memperoleh nilai semester pertama,
2. Untuk mengetahui tentang teori kepribadian,
3. Untuk menambah pengetahuan dan wawasan tentang macam-macam teori kepribadian menurut para psikoanalisis.
2. Untuk mengetahui tentang teori kepribadian,
3. Untuk menambah pengetahuan dan wawasan tentang macam-macam teori kepribadian menurut para psikoanalisis.
1.4 Metode Penulisan
Adapun metode yang digunakan dalam penulisan karya tulis ini, adalah sebagai berikut:
Adapun metode yang digunakan dalam penulisan karya tulis ini, adalah sebagai berikut:
Metode Kepustakaan melalui buku panduan Yaitu metode penelitian
dengan mengumpulkan data yang berasal dari beberapa buku yang dianggap sumber itu
relevan dan data ini diambil dari media elektronik yaitu, internet yang
dianggap sumber yang relevan.
1.5Sistematika Penulisan
Kata Pengantar
Daftar Isi
BAB I PENDAHULUAN, meliputi:
1.1 Latar Belakang Masalah
1.2 Perumusan Masalah
1.3 Tujuan Penulisan
1.4 Metode Penulisan
1.5 Sistematika Penulisan
1.2 Perumusan Masalah
1.3 Tujuan Penulisan
1.4 Metode Penulisan
1.5 Sistematika Penulisan
BAB II PEMBAHASAN, meliputi:
2.1 Teori
kepribadian menurut Sigmund Freud
2.2 Teori
kepribadian menurut Carl Gustav Jung
2.3 Teori
kepribadian menurut Jean Piaget
2.4 Teori
kepribadian menurut Allbert Ellis
2.5 Teori
kepribadian menurut Bf. Skiner
2.6 Teori
kepribadian menurut Abraham Maslow
2.7 Teori
kepribadian menurut Carl Rogers
2.8 Teori
kepribadian menurut Albert Bandura
2.9 Kepribadian
Sehat
BAB III PENUTUP, yang
mencakup:
3.1
Kesimpulan
3.2 Saran
DAFTAR PUSTAKA
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 TEORI KEPRIBADIAN MENURUT SIGMUND FREUD
A. INSTING KEHIDUPAN dan INSTING KEMATIAN
Freud berpendapat bahwa seluruh
perilaku manusia didorong oleh nafsu atau instingnyayang merupakan kubutuhan
fisik-biologis yang Freud namakan insting kehidupan. Insting ini mencakup: (a) kehidupan individual, dengan
mendorong seoraang individu memenuhi kebutuhan makanan dan minumnya, dan (b)
kehidupan spesies, dengan mendorongnya untuk melakukan hubungan seks. Energi
motivasional dari insting kehidupan ini berupa “kekuatan” yang mendorong jiwa
kita untuk mencari makan dan lawan jenis yang oleh Freud disebut libido.
Freud mulai menyadari bahwa insting
kehidupan bukan akhir seluruh cerita. Tujuan dari segala gerak dan usaha ini
tetap belum terpenuhi,oleh sebab itu harus terus menerus diusahakan agar terpenuhi. Freud mulai yakin bahwa dibalik dan
disamping isting kehidupan terdapat insting
kematian dan setiap pribadi secara tidak sadar pasti ingin mati.
B. KECEMASAN
Ego merasa terjepit dan terancam, serta
merasa seolah-olah akan lenyap digilas kekuatan-kekuatan tersebut. Perasaan
terjepit dan terancam ini disebut kecemasan (anxiety). Menurut Freud ada tiga jenis kecemasan :
1.
Kecemasan
realistik ini sering disebut rasa takut.
2. Kecemasan moral Kecemasan ini dirasakan
ketika ancaman datang dari luar. Kecemasan moral ini kata lain dari rasa malu,
rasa bersalah atau rasa takut mendapat sanksi.
3. Kecemasan neurotik
Perasaan takut jenis ini muncul akibat rangsangan id.
Neurotik adalah kata latin dari perasaan gugup speri tidak mampu mengendalikan
diri.
C.
CARA-CARA BERTAHAN
(DEFENCE MECHANISM)
Ego berusaha sekuat mungkin menjaga
kestabilan hubungannya dengan realitas, id dan superego. Namun ketika kecemasan
begitu menguasai, ego harus berusaha mempertahankan diri dan secara tidak sadar
dia akaan memblokir seluruh dorongan atau dengan menciutkan dorongan tersebut
menjadi yang lebih dapat diterima dan tidak terlalu mengancam. Cara ini disebut
mekanisme pertahanan ego. Bentuk
– Bentuk Pertahanan meliputi :
1.
Penolakan
Dilakukan dengan
cara memblokir peristiwa yang datang dari luar kesadaran. Cara ini adalah cara
yang paling primitif dan berbahaya, karena tidak ada orang yang selamanya mampu
lari dari kenyataan. Penolakan dapat berkerja sendiri atau, biasanya
dikombinasikan dengan bentuk mekanisme pertahanan lain yang lebih kukuh.
2.
Represi
Disebut dengan
melupakan yang bermotivasi adalah ketidakmampuan untuk mengingat kembali situasi, orang atau peristiwa yang
menakutkan. Mekanisme ini berfungsi secara tidak sadar.
3.
Asketisisme
Mekanisme
pertahanan ego dengan menolak segala kebutuhan,
Contoh penolakan
remaja putri untuk makan banyak (diet)
4.
Isolasi
Mekanisme ini
berjalan dengan cara mengalihkan emosi dari kenangan yang menakutkan.
5.
Penggantian
Mekanisme ini
berjalan dengan cara mengalihkan arah dorongan ke target pengganti. Jika anda
merasa nyaman dengan hasrat dan nafsu yang anda rasakan tapi orang lain yang
akan dijadikan sasaran dan merasa terancam, maka anda dapat mengganti dia
dengan orang lain dengan benda atau orang lain yang dijadikan target simbolik.
6.
Melawan Diri Sendiri
Merupakan bentuk
penggantian paling khusus, dimana seseorang menjadikan dirinya sendiri sebagai
target pengganti. Biasanya diri sendiri dijadikan sebagai target pengganti
untuk melampiaskan rasa benci ketimbang pelampiasan terhadap dorongan-dorongan
positif.
7.
Proyeksi
Penggantian ke
arah luar, mekanisme ini merupakan kebalikan dari melawan diri sendiri.mekanisme ini meliputi kecenderungan
untuk melihat hasrat anda yang tidak bisa diterima oleh orang lain.
8.
Tawuran Altruistik
Bentuk proyeksi
yang awalnya terlihat berlawanan. Disini orang berusaha memenuhi kebutuhannya
semaksimal mungkin, tapi dengan memanfaatkan orang lain.
9.
Pembentukan Reaksi
Disebut dengan
“percaya pada hal yang sebaliknya”. Mekanisme ini mengubah dorongan yang tidak
dapat diterima menjadi kebalikan nya (diterima).
10.
Penghapusan
Mekanisme ini
mencakup ritual “magis” yang bertujuan menhapus pikiran atau perasaan yang
tidak mengenakkan.
11.
Introjeksi
Disebut juga
identifikasi. Mekanisme ini bekerja dengan cara membawa kepribadian orang lain
masuk kedalam diri anda, karena dengan begitu ia dapat menyelesaikan masalah
perasaaan yang mengganggu.
12.
Identifikasi Dengan Penyerang
Bentuk introjeksi
yang terfokus pada pengadopsian, bukan dari segi umum atau positif tapi dari
sisi negatif. Dengan kata lain anda merasa takut dengan seseorang anda akan
menaklukan rasa takut itu dengan pura-pura menjadi orang yang anda takuti.
13.
Regresi
Kembali
kemasa-masa dimana seorang mengalami tekanan psikologis. Perilaku kita menjadi
kekanak-kanakan atau primitif.
14.
Rasionalisasi
Mekanisme
petahanan ego dengan cara memutarbalikan fakta supaya dirinya tidak merasa
terancam.
15.
Sublimasi
Mengubah berbagai
rangsangan yang tidak diterima kedalam
bentuk-bentuk yang bisa diterima secara sosial.
D. TAHAP-TAHAP
PERKEMBANGAN
Tahap perkembangan
menurut Freud dibagi menjadi 2 yaitu tahap perkembangan psikoseksual dan tahap
perkembangan seksual.
1.
Tahap
perkembangan psikoseksual :
a.
Tahap
oral yaitu berlangsung dari usia 0 sampai 18bulan.
Titik kenikmatan terletak pada mulut, dimana aktivitas paling utama adalah
menghisap dan menggigit.
b.
Tahap
anal yaitu yang berlangsung dari usia 18bulan
sampai 3-4 tahun. Titik kenikmatan terletak pada anus. Memegang dan melepaskan
sesuatu adalah aktivitas yang paling dinikmati.
c.
Tahap
phallic yaitu berlangsung antara 3-5, 6-7 tahun.
Titik kenikmatan di tahap ini adalah alat kelamin. Tahap ini seorang anak dapat
membedakan wanita dan pria.
d.
Tahap
laten yaitu berlangsung dari usia 5, atau 7 sampai
usia pubertas ( sekitar usia 12 tahun). Dalam tahap ini freud yakin bahwa rangsangan
seksual ditekan sedemikian rupa demi proses belajar.
e.
Tahap
genital yaitu dimulai pada saat pubertas, ketika
dorongan seksual tertuju sangat jelas terlihat pada diri remaja, khususnya yang
tertuju pada kenikmatan hubungan seksual.
2.
Tahap-tahap
perkembangan seksual :
a.
Karakter
Pengalaman berpengaruh dalam
pembentukan karakter dan kepribadian, pengalaman traumatis yang sangat
berpengaruh. Setiap trauma pasti memiliki dampak yang unik pada diri seseorang.
b.
Terapi
Beberapa garis besar tentang terapi
Freud :
ü Suasana rileks. Klien yang sedang menjalani terapi
harus merasa bebas dan santai untuk mengungkapkan masalahnya.
ü Pembebasan asosiasi. Klien dibebaskan untuk bicara apa saja.
ü Resistensi.
ü Analisis mimpi. Ketika tidur, kita
tidak terlalu mengekang alam bawah sadar dan cenderung melepaskannya dalaam
bentuk simbolik ke alam sadar. Sebagian besar bentuk terapi menggunakan mimpi
yang dialami klien.
ü Parapraksis adalah keceplosan omong,
yang juga sering disebut Freudian sliip. Freud memperhatikan lawakan yang
disampaikan kliennya.
ü Tes proyektif ketika klien diberikan
perintah atau pertanyaan yang membingungkan, dia akan menyelesaikan dengan
pilihan alam bawah sadarnya. Pilihan ini yang akan menjadi tanda bagi terapis.
E.
TRANSFERENSI,
KATARSI, dan INGATAN
a.
Transferensi
terjadi ketika klien mengarahkan perasaannya pada terapis, padahal parasaan ini
seharusnya diarahkan pada orang selain terapis.
b.
Katarsi
adalah luapan emosi secara dramatis dan peristiwa traumatik yang seolah-olah
terungkit kembali.
c.
Ingatan
adalah teringatnya seseorang akan sumber emosinya,akan peristiwa traumatik yang
dialaminya.
2.2
TEORI KEPRIBADIAN
MENURUT CARL GUSTAV JUNG
A.
TIPE KEPRIBADIAN
Carl Gustav Jung yang lahir pada
tanggal 26 Juli 1875 adalah orang yang pertama merumuskan tipe kepribadiaan manusia
dengan istilah ekstrovert (ekstroversi dan
introversi) dan introvert, serta menggambarkan
empat fungsi kepribadian manusia yang disebut dengan fungsi berpikir,
pengindera, intuitif, dan perasa. Pokok kajian Jung sangat khas adalah mengenai
arkhetipe-arkhetipe tiap kejadian.
Dalam
teorinya, Jung
membagi psyce (jiwa) atau struktur kepribadian menjadi tiga bagian, yaitu ego,
alam bawah sadar personal dan alam bawah sadar kilektif dan lain-lain.
a.
Ego
Ego
adalah jiwa sadar yang terdiri dari persepsi-persepsi, ingatan-ingatan,
pikiran-pikiran sadar. Ego melahoirkan perasaan identitas dan kontinuitas
seseorang, dan berada pada kesadaran.
b.
Alam Bawah
Sadar Personal
Alam
bawah sadar personal adalah alam bawah sadar seperti yang dipahami orang
kebanyakan , yaitu yang mencakup kenangan-kenangan yang dapat dibawa ke alam sadar dengan mudah serta kenangan-kenangan yang
ditekan karena alas an-alasan tertentu. Alam bawah sadar personal ini mencakup
segala sesuatu ang tidak disadari secara langsung, tapi bisa diusahakan untuk
disadari.
c.
Alam Bawah
Sadar Kolektif
Alam
bawah sadar kolektif adalah tumpukan
pengalaman kita sebagai species, semacam pengetahuan bersama yang kita miliki
sejak lahir. Akan tetapi, pengalaman ini tidak bisa kita sadari secara
langsung. Ia mempengaruhi segenap pengalaman dan prilaku kita kususnya yang berbentuk
perasaan, tapi hanya dapat diketahui secara tidak langsung melalui
pengaruu-pengaruh yang ia timbulkan. Ketidaksadaran kolektif merupakan pondasi
ras yang diwariskan dalam keseluruhan struktur kepribadian. Di atasnya dibangun
aku, ketidaksadaran pribadi, dan semua hal lain yang diperoleh individu.
Apa yang dipelajari seseorang sebagai hasil dari pengalaman secara substansial
dipengeruhi oleh ketidaksadaran kolektif yang melakukan peran mengarahkan atau
menyeleksi tingkah laku sejak awal kehidupan.
d.
Arkhetipe (pola dasar)
Arkhetipe
adalah suatu bentuk pikiran (ide) universal yang mengandung unsure emosi yang
besar. Arketipe adalah kecenderungan yang tidak dapat dipelajari untuk
mengalami hal-hal tertentu melalui jalan-jalan tertentu. Bentuk pikiran ini
menciptakan gambaran atau visi yang dalam kehidupan normal berkaitan dengan
aspek tertentu dari situasi.
Arketipe-arketipe lain :
ü Arketipe
ibu
Arketipe
ini disimbolkan dengan ibu primordial atau ibu bumi mitologi, dengan hawa atau
Perawan Maria dalam tradisi barat dan dengan symbol-simbol yang tidak terlalu
bersosok manusia, seperti gereja, bangsa, hutan atau laut.
ü Arketipe
ayah
Arketipe ini disimbolkan sebagai sosok
pelindung dan peguasa.
ü Arketipe
anak
ü Arketipe
keluarga
ü Arketipe
binatang
ü Arketipe
penyihir
ü Arketipe
hermaprodit
e.
Persona
Persona
adalah topeng yang dipakai pribadi sebagai respon terhadap tuntutan-tuntutan
kebiasaan dan tradisi masyarakat, serta tuntutan tentang arketipenya sendiri
atau bisa juga bahwa persona itu adalah topeng yang dipakai seseorang ketika
menampilkan diri ke dunia luar. Ia merupakan peranan yag diberikan masyarakat
kepada seseorang yang diharapkan dimainkan dalam hidupnya. Tujuannya adalah
unutk menciptakan kesan tertentu pada orang lain dan seringkali ia melupakan hakikat
kepribadian sesungguhnya. Apabila ego mengidentifikasikan diri dengan persona,
maka individu menjadi lebih sadar akan bagian yang dimainkannya daripada
perasaanya sesungguhnya. Ia menjasi terasing dari dirinya, dan seluruh
kepribadiannya menjadi rata atau berdimensidua. Ia menjadi manusia tiruan
belaka, sekedar pantulan masyarakat, bukan seorang manusia otonom.
f.
Anima dan
Animus
Dalam
masyarakat sekarang, kita masih dapat melihat sisa-sisa harapan tradisional
ini. Kaum wanita biasanya diharapkan agar subur dan tidak terlalu agresif,
sementara kaum pria diharapkan agar kuat dan tidak terlalu peduli dengan
perasaan. Menurut Jung harapan-harapan ini hanya menginginkan kita untuk mau
mengembangkan separuh dari potensi yang ada pada diri kita. Anima adalah sisi
kewanitaan yang hadir dalam alam bawah sadar kolektif pria, sedangkan Animus
adalah sisi kepriaan yang hadir dalam alam bawah sadar wanita. Anima biasanya
dipersonifikasikan sebagai gadis kecil, yang spontan, dan sangat perasa,
sedangkan animus dipersonifikasikan sebagai orang bijak, seorang dukun atau
sekawanan pria.dengan sifat yang cenderung logis, rasionalistik dan
argumentatif.
g.
Bayangan
Arketipe
ini berasal dari masa pra-manusia, ketika manusia masih binatang, ketika
perhatian kita masih tertuju pada soal bagaimana bertahan hidup dan berkembang
biak, dan ketika kita belum memiliki kesadaran diri. arketipe iniadalaj sisi
gelap ego dan tempat bercokolnya sisi jahat manusia. Pada dasarnya bayangan
bersifat amoral-tidak baik, tidak buruk, persis seperti binatang. Namun ketika
ini dilihat dari sudut pandang manusia, dunia binatang akan kelihatan kejam,
tidak manusiawi dan dengan begitu bayangan pun dianggap sebagai sampah yang
jadi bagian diri kita, namun tidak bisa kita singkirkan.
h.
Diri (self)
Diri
adalah tujuan hidup, suatu tujuanyang terus menerus diperjuangkan orang tetapi
yang jarang tercapai. Ia memotivasikan tingkah laku manusia dn
mencarikebulatan, khususnya melalui cara-cara yang disediakan oleh agama.
Pengalaman religius sejati merupakan bentuk pengalaman yang paling dekat dengan
ke diri (self-hood) yang mampu dicapai oleh kebanyakan manusia. Jung menemuka
diri dalam penelitian-penelitian dan observasinya tentang agama Timur, dimana
perjuangan kearah kesatuan dan persatuan dunia melalui praktik ritual keagamaan
seperti Yoga yang jauh lebih maju daripada agama di kalangan Barat.
i.
Sikap
Jung
membedakan dua sikap atau orientasi utama kepribadian, yakni sikap ekstraversi dan sikap
introversi.
ü Ekstrovert adalah
kecenderungan yang mengarahkan kepribadian lebih banyak keluar daripada ke
dalam diri sendiri. Seorang ekstrover memiliki sifat social, lebih banyak
berbuat daripada merenung dan berpikir. Ia juga adalah orang yang penuh
motif-motif yang dikoordinasi oleh kejadian-kejadian eksternal. Jung percaya
bahwa perbedaan tipe kepribadian manusia dimulai sejak kecil. Jung mengatakan bahwa “tanda awal dari perilaku
ekstrover seorang anak adalah kecepatannya dalam beradaptasi dengan lingkungan
dan perhatian yang luar biasa, yang diperankan pada objek-objek, khususnya pada
efek yang diperoleh dari objek-objek itu.
Ketakutannya
pada obje-objek sangat kecil. Ia hidup dan berpindah antara objek-objek
itudengan penuh percaya diri. Karena itu ia bebas bermain dengan mereka dan
belajar dari mereka. Ia sangat berani. Kadang ia mengarah pada sikap ekstrem
sampai pada tahap risiko. Segala sesuatu yang tidak diketahuinya selalu memikat
perhatiannya. Bentuk neurotic yang sering diderita orang ekstrover adalah
hysteria. Hysteria akan semakin besar dan panjang untuk menarik perhatian orang
lain dan untuk menimbulkan kesan yang baik bagi orang lain. Mereka adalah orang
yang suka diperhatikan, suka menganjurkan, berlebihan dipengaruhi orang lain,
suka bercerita, yang kadang mengaburkan kebenaran.
ü Introvert
adalah suatu orientasi kedalam diri sendiri. Secara singkat seorang introvert
adalah orang yang cenderung menarik diri dari kontak social. Minat dan
perhatiannya lebih terfokus pada pikiran dn pengalamannya sendiri. Seorang
introvert cenderung merasa mampu dalam upaya
mencukupi dirinya sendiri, sebaliknya orang ekstrovert membutuhkan orang lain.
Jung menguraikan perilaku introvert
sebagai orang pendiam, menjauhkan diri dari kejadian-kejadian luar, tidak mau
terlibat dengan dunia objektif, tidak senang berada di tengah orang banyak,
merasa kesepian dan kehilangan di tengah orang banyak. Ia melakukan sesuatu
menurut caranya sendiri, menutup diri terhadap pengaruh dunia luar. Ia oran
gyang tidak mudah percaya, kadang menderita perasaan rendah diri, karena itu ia
gampang cemburu dan iri hati. Ia mengahadapi dunia luar dengan suatu system
pertahanan diri yang sistematis dan teliti, tamak sebagai ilmuan, cermat,
berhati-hati, menurut kata hati, sopan santun, dan penuh curiga. Dalam kondisi
kurang normal ia menjadi orang yang pesimis da cemas, karena dunia dan manusia
sekitarnya siap menghancurkannya.
Dunianya adalah suatu pelabuhan yang
aman. Tempat tinggalnya (rumah) adalah yang teraman. Teman pribadinya yang
terbaik. Karena itu tidak mengherankan orang-orang introvert sering tampak
sebagai orang yang cinta diri tinggi, egois, bahkan menderita patologis. Salah
satu tanda introvert pada diri seorang anak adalah reflektif, bijaksana,
tenggang rasa, pemalu, bahkan takut pada objek baru. Sedangkan cirri introvert pada
orang dewasa adalah kecenderungan menilai rendah hal-hal atau orang lain.
B. FUNGSI PSIKOLOGIS KEPRIBADIAN
a. Perasaan
(feeling) adalah fungsi evaluasi, ia adalah nilai benda-benda yang bersifat
positif maupun neatif bagi subjek. Fungsi perasaan memberikan kepada manusia
pengalaman-pengalaman subjektifnya tentang kenikmatan dan rasa sakit, amarah,
ketakutan, kesedihan, kegembiraan dan cinta.
b. Penginderaan
(sensing) berarti memperoleh informasi melalui kepekaan panca indera. Orang
yang peka selalu melihat dan mendengar dan secara umum ingin tahu apa yang
terjadi di dunia luar.
c. Intuisi
(intuiting) adalah semecam penerapan yang cara kerjanya sangat berlainan dengan
proses pencerapan sadar biasa. Ini bersifat irasional atau perceptual, seperti
mengindra.
d. Berpikir
(thinking) berarti penelaahan terhadap informasi atau ide-ide secara rasional dan logis. Jung menyebutnya dengan fungsi rasional,
artinya ia terlibat jauh dalam keputusan-keputusan yang diambil.
ikiran
dan perasaan disebut fungsi rasio karena mereka memakai akal, penilaian,
abstraksi dan generalisasi. Mereka memungkinkan manusia menemukan hukum-hukum
dalam alam semesta. Pendriaan dan intuisi dipandang sebagai fungsi irasional
karena mereka didasarkan pada persepsi tentang hal yang konkret,khusus, dan aksidental.
C.
DINAMIKA
KEPRIBADIAN
Dinamika kepribadian
bersifat rentan terhadap pengaruh-pengaruh dan modifikasi dari luar, ia tidak
akan mencapai keadaan stabil yang sempurna, hanya bisa bersifat stabil
relative.
a. Energi Psikis
Energi psikis merupakan manifestasi
kehidupan, yakni energi organisme sebagai system biologis. Energi psikis lahir
seperti semua energi vital lain, yakni dari proses metabolic tubuh. Energi
psikis tidak dapat diukur atau dirasakan, namun terungkap dalam bentuk
daya-daya actual atau potensial. Keinginan, kemauan, perasaan, perhatian,dan
perjuangan adalah contoh-contoh dari daya actual dalam kepribadian;disposisi,
bakat, kecenderungan, kehendak hati, dan sikap adalah contoh daya potensial.
b. Prinsip Ekuivalensi
Prinsip ekuivalensi menyatakan
bahwa jika energi dikeluarkan unutk menghasilkan suatu kondisi tertentu, maka
jumlah yang akan dikeluarkan itu akan muncul di salah satu tempat lain dalam
sistem.
Prinsip ekuivalensi
menyatakan bahwa jika energi dikeluarkan dari salah satu system, misalnya ego,
maka energi itu akan muncul pada suatu system yang lain, mungkin persona. Atau
jika makin banyak nilai direpresikan ke dalam sisi bayang-bayang kepribadian,
maka nilai itu akan tumbuh kuat dengan mengorbankan stuktur lain dalam
kepribadian.
c. Prinsip Entropi
Prinsip entropi menyatakan
bahwa jika dua benda yang berbeda suhunya bersentuhan maka panas akan mengalir
dari benda yang suhunya lebih panas ke benda yang suhunya leih dingin. Prinsip
entropi yang digunakan Jung unutk menerangkan dinamika kepribadian menyatakan
bahwa distribusi energi dalam psikhe mencari keseimbangan. Misalnya orang yang
terlalu ekstrovert terpaksa mengembangkan bagian introvert dari kodratnya.
Kaidah umum dalam psikologi Jungian adalah setiap perkembangan yang berat sebelah
akan menimbulkan konflik, tegangan, tekanan, sedangkan perkembangan yang
seimbang dari semua unsur kepribadian akan menghasilkan keharmonisan, relaksasi
dan kepuasan.
d. Penggunaan Energi
Seluruh energi psikis
digunakan untuk keperluan kehidupannya, dan untuk pembiakan spesies. Ini
merupakan fungsi instingtif yang dibawa sejak lahir seperti lapar dan seks.
D. PERKEMBANGAN
KEPRIBADIAN
Jung yakin bahwa manusia
tetap berkembang atau berusaha berkembang dari tahap perkembangan yang kurang
sempurna ke tahap perkembangan yang lebih sempurna.
a. Kausalitas versus Teleologi
Menurut pandangan ini,
kepribadian manusia dipahami menurut ke mana ia pergi bukan di mana ia telah
berada. Sebaliknya masa sekarang dapat dijelaskan oleh masa lampau,peristiwa
sekarang adalah hasil akibat atau pengaruh dari keadaan sebelumnya. Masa
sekarang tidak hanya ditentukan oleh masa lampau (kausalitas) tetapi ditentukan
juga oleh masa depan (teleologi).
b. Sinkronisitas
Prinsip itu diterapkan pada
peristiwa-peristiwa yang terjadi pada saat yang sama, tetapi peristiwa itu
tidak disebabkan oleh peristiwa yang lain. Misalnya orang berpikir tentang
seseorang lalu orang itu muncul, atau orang bermimpi tentang sakit atau
kematian sanak keluarganya, kemudian ia mendengar peristiwa itu terjadi
bersamaan dengan mimipinya itu. Jung menunjuk banyak literature tentang
telepati jiwa, kewaskitaan, dan tipe-tipe lain sebagai bukti prinsip
sinkronisitas.
c. Hereditas
Bagi Jung insting alamiah
manusia diwariskan oleh para leluhurnya berkali-kali dan telah melewati
berbagai generasi. Potensi yang diwariskan ini memiliki ragam penglaman yang
sama seperti leluhur dalam bentuk arkhetipe-arkhetipe.
d. Tahap-tahap perkembangan
Dalam tahun-tahun paling
awal, libido disalurkan dalam kegiatan-kegiatan yang diperlukan supaya tetap
hidup. Sebelum usia lima tahun, nilai-nilai seksual mulai tampak dan mencapai
puncakanya selama masa adolesen. Dalam masa muda seseorang dan awal-awal tahun
dewasa, insting kehidupan dasar dan proses vital meningkat. Orang muda adalah
penuh semangat, giat, impulsive, penuh gairah, dan masih banyak tergantung pada
orang lain. Inilah periode kehidupan dimana orang belajar bekerja, kawin dan
mempunyai anak-anak dan menjadi mapan dalam kehidupan masyarakat.
Ketika individu mencapai
usia akhir 30-an atau awal40-an terjadi perubahan nilai yang radikal.
Minat-minat dan segala sesuatu yang dikejar pada masa muda kehilangan nilainya
dan diganti oleh minat-minat baru yang lebih berbudaya dan kurang biologis.
Orang yang berusia setengah baya menjadi lebih introvert dan kurang impulsive.
Kebijaksanaan dan kecerdasan menggantikan gairah fisik dan kejiwaan.
Nilai-nilai individu diterapkan dalam kegiatan social, agama, kenegarawan,
filosofis . Orang menjadi lebih spiritual.
2.3 TEORI
KEPRIBADIAN MENURUT JEAN PIAGET
A. HAKIKAT TEORI JEAN PIAGET
Dengan sedikit bahan – bahan yang
berhasil dikumpulkan dalam penelitian – penelitian awalnya, akhirnya Jean
Piaget berkesempatan menamai bidang yang jadi focus perhatiannya tersebut. Dia
menyabutnya dengan epistemology genetic, yang berarti studi tentang
perkembangan pengetahuan manusia.
Dia mengatakan, umpamanya, bahwa sejak
usia belita, seseorang telah memiliki kemampuan tertentu untuk menghadapi objek
– objek yang ada disekitarnya. Kemampuan ini memang sangat sederhana, yakni
dalam bentuk kemampuan sensor-motorik, namun dengan kemampuan inilah balita
tadi akan mengoksplorasi lingkungannya dan menjadikannya dasar bagi pengetahuan
tentang dunia yang akan dia peroleh kemudian serta akan berubah menjadi kemampuan
– kemampuan yang lebih maju dan rumit. Kemampuan – kemampuan ini disebut Piaget
dengan skema.
Sebagai contoh, seorang anak tentu tahu
bagaimana cara memegang mainannya dam membawa mainan itu ke mulutnya. Dia
dengan mudah dapat membawakan skema ini. Lalu ketika dia bertemu dengan benda
lain dia dengan mudah dapat menerapkan skema “ambil dan bawa ke mulut” tadi
terhadap benda lain tersebut. Inilah yang disebut Piaget dengan asimilasi,
yakni pengasimilasian objek baru kepada skema lama.
Ketika anak tadi bertemu lagi dengan
benda lain dia akan tetap menerapkan skema “ambil dan bawa ke mulut” tadi.
Tentu skema ini tidak akan berlangsung dengan baik, karena bendanya sudah jauh
berbeda. Oleh sebab itu, skema pun harus menyesuaikan diri dengan objek yang baru.
Dalam contoh ini, mungkin “meniup atau mendorong” adalah skema yang lebih cocok
untuk objek yang baru. Inilah yang disebut akomodasi, yakni pengakomodasian
skema lama terhadap objek baru.
Asimilasi dan akomodasi adalah dua bentuk adaptasi, istilah
Piaget yang barangkali mirip dengan apa yang kita sebut dengan pembelajaran.
Akan tetapi, dia mengartikan adaptasi lebih luas dari sekedar proses
pembelajaran. Dia melihatnya sebagai sebuah proses yang benar – benar bersifat
biologis. Setiap makhluk hidup mesti beradaptasi, termauk yang tidak memiliki
system saraf.
Cara kerja asimilasi dan akomodasi sama
seperti gerak bolak – balik pendulum dalam memperluas pemahaman dan kemampuan
kita mengolah dunia sekitar. Menurut Piaget, keduanya bertugas menyeimbangkan
struktur pikiran dengan lingkungan, menciptakan porsi yang sama antara
keduanya. Tahap ini disebut Piaget dengan akuilibrium. Dalam penelitian –
penelitiannya terhadap anak – anak, Piaget mencatat adanya periode dimana
asimilasi lebih dominan, periode dimana akomodasi lebih dominan, dan periode
dimana keduanya mengalami keseimbangan.
B. TAHAP-TAHAP
PERKEMBANGAN KOGNITIF
1. Tahap
Sensor-Motorik
Rentang waktu adalah dari kelahiran
sampai usia dua tahun. Tahap ini berarti seorang bayi yang menggunakan indra
dan kemampuan motoriknya untuk memahami dunia, yang memulai dengan rangsangan –
rangsangan refleksi yang diterima pancainderanya sampai kombinasi kemampuan
sensor-motorik yang lebih kompleks.
Di usia 1 sampai 4 bulan, seorang bayi
mengandalkan tindakan atau gerakan yang dia buat sebagai respon dari tindakan
sebelumnya dengan bentuk yang sama. Misalnya, seorang bayi yang menghisap
jempolnya karena dia merasa nyaman dengan tindakan itu, maka dia melakukannya
terus. Di usia 4 samapi 12 bulan, beralih pada tindakan – tindakan yang
berusaha terlibat dengan lingkungan sekitar. Dia berusaha mempelajari “prosedur
dan cara kerja” sesuatu yang dapat menyenangkan hatinya dan mengusahakan agar
terus bertahan.
Sampai disini, hal lain mulai muncul
kepermukaan. Sebagai contoh, bayi tadi mulai mengerti “tipuan” seperti
permainan ci luk ba, walau dia tahu
bahwa harus ada orang yang memberi tipuan kepadanya. Ini adalah kemampuan untuk
mengingat objek secara permanen, artinya jika kita tidak data melihat sesuatu,
bukan berarti sesuatu hilang.
Di usia 12 sampai 24 bulan anak – anak
mempergunakan reaksi yang masih berisi lingkaran “mempertahankan hal – hal yang
menarik”, tetapi dengan variasi yang relative tetap. Eksperimen aktif (seperti
memukul drum dengan stik) harus dilihat pada waktu memberinya makan, dengan
memberikannya cara baru yang lebih menarik pada saat melemparkan sendok, piring
dan makanan.
Ketika bayi berusia setu setengah tahun
sedang mengalami perkembangan representasi mental, yaitu kemampuan
mempertahankan citraan dalam pikirannya untuk jangka waktu yang lebih lama dari
pada sekedar periode pengalaman langsung ketika mencerap sesuatu yang ada di
depannya.
2. Tahap
Praoperasional
Seorang anak mengalami tahap
pra-oerasional ketika dia nerusia 2 sampai 7 tahun. Dia telah mampu
mempergunakan symbol – symbol atau memiliki pertimbangan yang lebih baik.
Symbol adalah sesuatu yang mempresentasikan sesuatu yang lain. Contoh utama
dari penggunaan symbol ini adalah penggunaan bahasa, dan yang lebih tepat adalah permainan kreatif. Dengn
memanipulasi symbol (penghapus mempresentasikan kue, kertas mempresentasikan
piring, dll) pada dasarnya anak di usia ini sedang berpikir dengan cara yang
belum mampu dilaksanakan anak – anak yang usianya lebih muda, yaitu berpikir
tentang sesuatu yang tidak hadir nyata di depan mata. Jadi, pemahaman tentang
asa lalu dan masa yang akan datang semakin jelas.
Sebagai
contoh, jika seorang anak menangis karena ibunya pergi, kita akan menghibur
dengan berkata, “Ibu sebentar lagi asti pulang”, dan dia akan berhenti
menangis. Atau jika kita bertanya tentang pengalaman buruknya, “Ingat ketika
kamu jatuh kemarin?”, dengan serta merta wajahnya akan berubah sedih. Dapat
diketahui dari tahap ini anak – anak bersifat sangat egosentris, artinya dia cenderung hanya
melihat sesuatu dari sudut pandangnya
sendiri.
Penyelidikan
Piaget terhada fenomena ini disebut the
mountains study. Dia menyuruh seorang anak duduk didepan gunung – gunungan
dan dia sendiri duduk disisi yang berlawanan dengan anak itu. Anak – anak yang
usianya lebih muda akan menggambar gunung berdasarkan sudut pandang dia
sendiri, sementara anak yang lebih tua akan menggambarrnya sesuai perintah. Ketika berhadapan dengan masalah atau
berkomunikasi, anak – anak yang lebih muda hanya terpaku pada satu topic.
Contohnya jika kia meyuguhkan 5 butir kelereng hitam dan 3 kelereng putih dan
bertanya, “Apakah sekarang jumlah kelereng lebih banyak atau kelereng hitam
yang lebih banyak”. Mereka akan menjawab kelereng hitam lebih banyak.
Contoh
yang paling terkenal dari tahap pra-operasional adalah apa yang disebut Piaget
sebagai ketidakmampuan anak – anak
mempertahankan ingatan tentang jumlah beenda cair. Disaat ini, seorang
anak akan berusaha mengembangkan kemampuan untuk mengilangkan egosentrinya agar
bisa memasuki tahap berikutnya.
3. Tahap Operasi
Konkret
Tahap ini terjadi ketika anak berusia 7
sampai 11 tahun. Ditahap ini, seorang anak tidak hanya menggunakan symbol –
symbol dalam kerangka presentasi, tapi juga mamp memanipulasikannya berdasarkan
logika serta menjalankan prinsip – prinsip terssebut dalam konteks situasi
konkret. Tahap ini dimulai dengan apa yang disebut Piaget dengan progressive
decentering.
Saat
berusia 6 sampai 7 tahun, sebagian besar anak telah memiliki kemampuan untuk
mempertahankan ingatan tentang ukuran, panjang atau jumlah benda cair,
maksudnya gagasan bahwa satu kuantitas akan tetap sama walaupun penampakan
luarnya terlihat berubah.
Diusia
7 sampai 8 tahun, seorang anak akan mengembangkan kemampuan untuk
mempertahankan ingatan tentang substansi. Jika saya mengambil tanah liat yang
berbentuk bola kemudian memencetnya jadi pipih atau dipecah – pecah menjadi 8
bola yang lebih kecil, dia pasti tahu bahwa itusemua masih tanah liat yang sama
bahkan ketika tanah liat itu dibentuk apapun. Ini diebut proses keterbalikan.
Diusia
9 atau 10 tahun, kemampuan terakhir dalam mempertahankan ingatan mulai diasah,
yaitu ingatan tentang ruang. Disamping itu, dalam tahap ini seorang anak juga
belajar melakukan pemilahan (classification) dan pengurutan (seriation).
Pengurutan adalah menempatkan sesuatu dalam sebuah susunan dan urutan. Ditahap
ini, anak – anak tidak lagi memiliki kendala dalam melaksanakan tugas karena
aritmatika sebenarnya tidak lain adalah proses pengklasifikasian dan
pengurutan. Dengan begitu, anak sudah siap dibekali dengan pendidikan formal.
4. Tahap Operasi
Formal
Anak – anak yang berada dalam tahap
operasi konkret masih mengalami kesulitan menerapkan kemamuan logika yang baru
dikuasai terhadap peristiwa – peristiwa yang tidak konkret atau abstrak.
Andaikata seorang ibu berkata pada anak balitanya, “Sayang, seharusnya kau
tidak mencubiti tubuh temanmu. Bagaimana perasaanmu kalau seseorang berbuat
seert itu padamu?” Mungkin dia akan menjawab ibunya dengan mengatakan, “Aku
tidak punya tubuh besar seperti dia” Pelajaran sesederhana ini pun masih
terlalu abstrak bagi anak – anak yang masih pada tahap operasi konkret, karena
terlalu bersifat hipotesis bagi tahap pemikirannya.
Meskipun demikian, kita jangan terlalu
gegabah menyalahkan hasil pengelolaan operasi konkret dari seorang anak, karena orang dewasa pun terkadang kebingungan
juga ketika berhadapan dengan sesuatu yang bersifat hipotesis.
Ketika
menginjak usia 12 tahun dan seterusnya kita telah memasuki tahap operasi
formal. Ditahap ini kita semakin memiliki kemampuan untuk seperti orang dewasa.
Tahap ini mencakup kematangan prinsip – prinsip logika dan menggunakannya untuk
menyelesaikan persoalan – persoalan abstrak, yang sring disebut dengan pemikiran
hipotetik. Contoh
anak – anak yang masih berada ditahap operasi konkret belum bisa
menyelesaikannya yaitu dalam permainan kartu yang salah satu sisinya berisi
huruf dan satunya lagi berisi angka diberlakukan peraturan: “Jika sebuah kartu
berisi huruf vocal, maka angka yang ada disisi lainnya adalah bilangan
genap."
Seperti
inilah cara kerja tahap operasi formal yang memungkinkan seseorang menyelidiki
sebuah masalah dengan seksama dan sistematis. Tanyalah seorang remaja berusia
16 tahun tentang bagaimana caranya agar sebuah pendulum bergerak lebih cepat
atau lebih lambat. Dia mungkin mengusulkan langkah – langkah yang harus
ditempuh untuk menjawab pertanyaan tersebut seperti berikut ini:
Pertama, kita lihat seberapa cepat gerakannya
jika gantungannya lebih panjang dan bandulannya lebih ringan. Lalu kita coba
dengan gantungan yang panjang dan bandulannya lebih berat. Selanjutnya kita
coba pula dengan gantungan yang lebih pendek dan bandulan yang lebih ringan.
Terakhir, kita coba dengan gantungan yang pendek dan bandulan yang berat.
Eksperiment ini akan memberitahu dia bahwa
gantungan yang pendek akan menyebabkan gerakan menjadi lebih cepat, sebaliknya
gantungan yang panjang akan memperlambat gerakan pendulum, dan itu berarti
berat pendulum tidak punya pengaruh pada kecepatan geraknya.
Di
usia remaja, orang mulaibelajar mengelompokkan berbagai kemungkinan dalam empat
cara berbeda yaitu:
· Dengan konjungsi:
“A dan B pasti
mengakibatkan hasil yang berbeda”. (Misalnya panjang gantungan dan berat
pendulum).
· Dengan disjungsi:
“Kalau tidak ini,
pasti itu”. (Misalnya, jika tidak panjang gantungan ,pasti berat pendulum yang
mempengaruhi cepat geraknya).
· Dengan implikasi:
“Jika ini terjadi,
maka itu juga terjadi”. (Ini berkaitan dengan pembentukan hipotesis).
· Dengan inkompatibilitas
(ketidaksebandingan):
“Ketika ini
terjadi, maka itu tidak akan terjadi”. (Ini berkaitan dengan embatasan
hipotesis).
Di
puncak semua itu, dia kemudiaan bisa menerapkan prinsip – prinsip tadi , yaitu
level pengelompokkan yang lebih tinggi. Jika kita dihadapkan pada satu
proposisi, misalnya “Yang tadi penyebabnya adalah panjang gantungan atau bisa
pula berat bandulan”, kita dapat menyelesaikan proposisi ini dengan empat cara
berbeda pula, yaitu:
a. Identitas: dengan membiarkan apa
adanya. “Yang menjadi penyebabnya adalah panjang gantungan atau berat
bandulannya”.
b. Negasi: dengan menegasi komponen
proposisi itu dan menukar kata “atau” dengan “dan” atau sebaliknya. “Yang
menjadi penyebabnya bukan panjang gantungan dan bukan pula berat bandulannya”.
c. Resiprositas (hubungan timbal balik):
dengan menegasi komponen dan teta mempertahankan kata “dan” dan “atau”. “Yang
menjadi penyebabnya bukan berat bandulan atau yang menjadi penyebabnya bukan panjang
gantungan”.
d. Korelativitas (keterkaitan): komponen
proosisi tidak dinegasi, akan tetapi kata “atau” ditukar dengan “dan” atau
sebaliknya. :Yang menjadi penyebabnya adalah berat bandulan dan panjang
gantungan”.
Orang
dengan operasi formal yang berkembang baik dan memahami bahwa korelasi dari hal
yang timbal – balik sebenarnya adalah negasi bahwa; hubungan timbal – baik dari
korelasi; bahwa negasi dari korelasi adalah hubungan timbal – balik; dann
negasi dari korelasi yang timbale balik adalah identitas.
Mungkin
hal ini telah kita alami, akan tetapi tahap operasi formal belum tentu dilewati
setiap orang. Ada diantara kita yang tidak menerapkan operasi ini. Bahkan ada
kebudayaan tertentu yang tidak mengembangkannya sama sekali atau tidak
menganggapnya begitu penting. Penalaran abstrak sama sekali bukan sesuatu yang
universal.
2.4 TEORI
KEPRIBADIAN MENURUT ALBERT ELLIS
A. HAKIKAT TEORI ALBERT ELLIS
Teori Albert Ellis dapat dilihat dari buku
pertamanya tentang REBT (Rational Emotive Behavioral Therapy) yang berjudul How to Live With a Neurotic tahun
1957.REBT dimulai dengan ABCDE yang artinya A adalah activating experiences
atau pengalaman-pengalaman pemicu,seperti kesulitan-kesulitan
keluarga,kendala-kendala pekerjaan,trauma-trauma masa kecil dan hal-hal lain
yang kita anggap sebagai ketidakbahagiaan.B adalah beliefs,yaitu
keyakinan-keyakinan,terutama yang bersifat irasional dan merusak diri yang
merupakan sumber ketidakbahagiaan kita.C adalah conse-quence,yaitu
konsekuensi-konsekuensi berupa gejala neurotik dan emosi-emosi negatif seperti
panik,dendam,dan amarah karena depresi yang bersumber dari keyakinan-keyakinan
kita yang keliru.Walaupun pemicunya adalah pengalaman-pengalaman nyata dan
memang benar-benar menyebabkan penderitaan,namun sesungguhnya keyakinan
irasional kitalah yang memperumit dan memperbesar persoalan.Dan D adalah
dispute,yaitu harus melawan keyakinan-keyakinan irasional.E adalah effects
yaitu menikmati dampak-dampak psikologis positif dari keyakinan-keyakinan
rasional.
Sebagai
contoh,”orang depresi merasa sedih dan kesepian karena dia keliru berpikir
bahwa dirinya tidak pantas dan merasa tersingkir”. Padahal,penampilan
orang depresi sama saja dengan orang yang tidak mengalami depresi.Jadi,seorang
terapis harus membuktikan pada orang yang depresi ini bahwa dirinya juga
memilki kemampuan dan bisa meraih kesuksesan-kesuksesan hidup serta berupaya
meruntuhkan keyakinan akan ketidakmampuan yang ada di dalam dirinya.Tugas
seorang terapis bukanlah menyerang perasaan sedih dan kesepian yang dialami
orang depresi,melainkan menyerang keyakinan mereka yang negatif terhadap diri
sendiri.
Ada beberapa jenis “pikiran-pikiran yang
keliru” yang biasanya diterapkan orang, diantaranya:
1.Mengabaikan
hal-hal yang positif.
2.Terpaku
pada yang negatif,dan akhirnya.
3.Terlalu
cepat menggeneralisasi.
B. DUA BELAS IRASIONAL yang MENYEBABKAN
NEUROSIS
Dua
belas irasional yang menyebabkan dan memperparah neurosis.
1. Ide bahwa setiap orang dewasa pasti merasa ingin dicintai orang lain atas segala yang dia lakukan bukannya gagasan yang memefokuskan perhatian pada apa yang dia lakukan demi mencapai tujuan-tujuan praktis demi kepentingan orang lain,atau gagasan untuk mencintai orang lain ketimbang selalu menuntut cinta dari orang lain.
1. Ide bahwa setiap orang dewasa pasti merasa ingin dicintai orang lain atas segala yang dia lakukan bukannya gagasan yang memefokuskan perhatian pada apa yang dia lakukan demi mencapai tujuan-tujuan praktis demi kepentingan orang lain,atau gagasan untuk mencintai orang lain ketimbang selalu menuntut cinta dari orang lain.
2. Ide bahwa ada
tindakan-tindakan tertentu yang jelek dan merusak, dan pelakunya mesti dikecam karena
tidak tahu malu-bukannya gagasan bahwa tindakan-tindakan tertentu ada yang merugikan diri sendiri atau
anti-sosial.dan pelakunya pastilah tidak punya pertimbangan yang sehat, masa bodoh atau neurotik dan
mereka ini seharusnya dibantu mengubah diri. Buruknya tindakan seseorang
belum tentu meneyebabkanya menjadi individu yang tidak berguna.
3. Ide bahwa “dunia akan
kiamat” kalau segala sesuatunya tidak berjalan sesuai rencana-bukanya gagasan
bahwa walaupun sesuatu berjalan tidak sesuai keinginan,namun akan lebih baik
kalau kita berusaha menubah atau
mengatur kondisi buruk tersebut sedemikian rupa sehingga setelah itu
besar kemungkinan kita akan berhasil mengatasi segala kesulitan.Kalaupun
kemungkinan itu tidak ada,kita pun lebih baik bersabar menerima kenyataan dan
tetap berusaha mencari jalan
keluar.
4. Ide bahwa hal-hal yang
membuat manusia menderita pasti datang dari luar dan ditimpakan pada diri kita oleh orang lain-bukannya gagasan
bahwa sikap neurotik itu disebabkan oleh pandangan-pandangan kita sendiri
akibat kondisi yang tidak menguntungkan di sekeliling kita.
5. Ide kalau satu hal sangat
menakutkan atau berbahaya,maka kita seharusnya sangat terobsesi dengan hal
itu-bukannya gagasan bahwa kita seharusnya dengan tabah menghadapi keadaan itu dan
memandangnya sebgai bukan akhir dari segala-galanya.
6. Ide bahwa lebih mudah
menghindar dari kesulitanhidup dan tanggung jawab ketimbang, berusaha menghadapi dan
menaklukannya-bukannya berpegang pada gagasan bahwa jalan yang mudah pada akhirnya akan
menyusahkan diri sendiri.
7. Ide bahwa kita membutuhkan
sesuatu yang lebih kuat atau lebih besar dari diri kita sendiri yang dapat dijadikan
pegangan-bukannya gagasan bahwa lebih baik bepikir dan bertindak sesuai kehendak
sendiri dengan apa pun risikonya.
8. Ide bahwa ketika harus
selalu punya kemampuan dan kecerdasan serta selalu berhasil mengelolanya dengan
baik-bukannya gagasan bahwa lebih baik bertindak sesuai dengan kemampuan
ketimbang hanya punya keinginan melakukan hal terbaik dan tidak mau menerima kenyataan
bahwa diri kita adalah makhluknyang tidak sempurna dan pasti melakukan
kesalahan.
9. Ide bahwa ketika satu
peristiwa,peristiwa tersebut pasti berbekas dan memengaruhi kehidupan kita
selamanya-bukannya gagasan bahwa apa yng terjadi di masa lalu mesti dijadikan
pelajaran buat hari ini dan masa yang akan datang,serta tidak terlalu terpaku
pada peristiwa yang lalu.
10. Ide bahwa kita harus
mengatur sesuatu dengan baik-sebagai pengganti dari gagasan bahwa dunia ini
penuh dengan kemungkinan-kemungkinan tak terduga dan kita tetap bisa menjalani kehidupan
dengan segala kemungkinan ini.
11. Ide bahwa kebahagiaan bisa dicapai dengan bakat alami yang ada dalam diri seseorang sejak lahir dan kebahagiaan itu ditujukan untuk diri sendiri-bukannya gagasan bahwa keinginan kita untuk bahagia ditentukan oleh kemauan kita mencapai tujuan secara kreatif atau selalu berusaha memproyeksikan usaha mencapai kebahagiaan itu keluar.
11. Ide bahwa kebahagiaan bisa dicapai dengan bakat alami yang ada dalam diri seseorang sejak lahir dan kebahagiaan itu ditujukan untuk diri sendiri-bukannya gagasan bahwa keinginan kita untuk bahagia ditentukan oleh kemauan kita mencapai tujuan secara kreatif atau selalu berusaha memproyeksikan usaha mencapai kebahagiaan itu keluar.
12. Ide bahwa kita pada akhirnya
tidak dapat menguasai perasaan sendiri dan perasaan kecewa terhadap sesuatu
pasti tidak bisa dielakkan-bukannya gagasan bahwa kita sebenarnya mampu mengontrol
perasaan-perasaan buruk jika kita mampu mengubah pengandaian-pengandaian yang menyebabkan lahirnya
perasaan-perasaan buruk itu. (Diambil
dari the Essence of Rational Emotive Behavior Therapy karangan Albert
Ellis,Ph.D,1994). Secara ringkas,Ellis
mengatakan bahwa ada tiga keyakinan-keyakinan irasional:
1.”Saya
harus punya kemampuan sempurna,atau saya akan jadi orang yang tidak yang
berguna”.
2.”Orang
lain harus memahami dan memepertimbangkan saya,atau mereka akn menderita”.
3.”Kenyataan
harus memberi kebahagiaan pada saya,atau saya akan binasa”.
Para
terapis harus menggunakan kemampuannya unuk menentang keyakinan-keyakinan semacam
ini.Akan lebih baik lagi kalau dia mampu mengarahkan kliennya mencari argumen
untuk membantah keyakinan irasional yang telah dipegangnya selama ini.
C. KERELAAN MENERIMA
DIRI SEDIRI
Ellis
berulang kali menegaskan
bahwa betapa pentingnya “kerelaan menerima diri-sendiri”.Dia mengatakan ,dalam
REBT,tidak seorang pun yang akan disalahkan,dilecehkan,apalagi dihukum atas
keyakinan atau tindakan mereka yang keliru. Kita harus menerima diri
sebagaimana adanya,
menerima sebagaimana apa yang kita capai dan hasilkan.
menerima sebagaimana apa yang kita capai dan hasilkan.
Salah
satu pendekatan yang ditawarkan Ellis untuk para terapis adalah mengetahui
nilai tersembunyi dalam diri klien sebagai seorang manusia.Nilai manusia hanya
bisa muncul ketika manusia itu mau menjalani hidup.Ellis berpendapat bahwa
evaluasi diri yang keterlaluan akan meneyebabkan depresi dan represi ,sehingga
orang akan mengingkari perubahan.Yang harus dilakukan manusia demi kesehatan
jiwanya adalah berhenti menilai-nilai diri sendiri.
Artinya, pendekatan apapun yang
menempatkan tanggung jawab ke pundak diri individual beserta keyakinan yang dipegangnya lebih mirip
dengan pendekatan REBT-nya Ellis ini.
2.5 TEORI KEPRIBADIAN MENURUT B. F. SKINNER
A. TEORI KEPRIBADIAN BEHAVIORALISTIK MENURUT PANDANGAN SKINNER
a. Asumsi Dasar Behavioristik
Skinner bekerja dengan tiga asumsi dasar, dimana
asumsi pertama dan kedua pada dasarnya menjadi psikologi pada umumnya, bahkan
menjadi asumsi semua pendekatan ilmiah:
1. Tingkah laku itu mengikuti hukum tertentu (Behavior
is lawful). Ilmu adalah usaha untuk menemukan keteraturan, menunjukkan
bahwa peristiwa tertentu berhubungan secara teratur dengan peristiwa lain.
(Alwisol,2005:400).
Tingkah laku
merupakan hasil pengaruh timbal balik dari variable-variabel tertentu yang
dapat diidentifikasikan, yang sepenuhnya menentukan tingkah laku. Tingkah laku
individu seluruhnya merupakan hasil dari dunia objektif.
(A.Supratiknya,1993:317-318).
Asumsi bahwa
seluruh tingkah laku berjalan menurut hukum jelas mengandung implikasi tentang
kemungkinan mengontrol tingkah laku. Skinner tidak banyak tertarik pada
aspek-aspek tingkah laku yang sangat sukar berubah, misalnya aspek-aspek
tingkah laku yang terutama dikuasai oleh warisan hereditas.
(A.Supratiknya,1993:320).
2. Tingkah laku dapat diramalkan (Behavior can be
predicted). Ilmu bukan hanya menjelaskan tetapi juga meramalkan. Bukan
hanya mengenai peristiwa masa lalu tetapi juga masa yang akan datang. Teori
yang berdaya guna adalah yang memungkinkan dapat dilakukannya prediksi mengenai
tingkah laku yang akan datang dan menguji prediksi itu. (Alwisol,2005: 400).
3. Tingkah laku dapat dikontrol (Behavior can be
controlled). Ilmu dapat melakukan antisipasi dan menentukan/membentuk
tingkah laku seseorang. Skinner bukan hanya ingin tau bagaimana terjadinya tingkah
laku, tetapi Skinner sangat berkeinginan memanipulasinya..
(Alwisol,2005:400-401).
Skinner menganggap kemampuan memanipulasi kehidupan
dan tingkah laku manusia-keberhasilan mengontrol kejadian atau tingkah laku
manusia merupakan bukti kebenaran suatu teori. Lebih penting lagi tingkah laku
manusia harus dikontrol karena Skinner yakin manusia telah merusak dunia yang
di tinggalkannya dengan memakai ilmu dan teknologi dalam memecahkan masalahnya.
Skinner memahami dan mengontrol tingkah laku memakai
teknik analisis fungsional tingkah laku (functional analysis of behavior):
suatu analisis tingkah laku dalam bentuk hubungan sebab akibat, bagaimana suatu
respon timbul mengikuti stimulus atau kondisi tertentu. Menurutnya analisis
fungsional akan menyingkap bahwa penyebab terjadinya tingkah laku sebagaian
besar berada di event antesedennya atau berada di lingkungan. Skinner yakin
bahwa tingkah laku dapat diterangkan dan dikontrolkan semata-mata dengan
memanipulasi lingkungan dimana organisme yang bertingkah laku itu
berada.(Alwisol,2005:401)
b. Struktur Kepribadian Behavioristik
Skinner adalah tokoh yang tidak tertarik dengan
struktural dari kepribadian. Menurutnya, mungkin dapat diperoleh ilusi yang
menjelaskan dan memprediksi tingkah laku berdasarkan faktor-faktor tetap dalam
kepribadian, tetapi tingkah laku hanya dapat diubah dan dikontrol dengan
mengubah lingkungan. Jadi Skinner lebih tertarik dengan aspek yang diubah-ubah
dari kepribadian alih-alih aspek struktur yang tetap. (Alwisol,2005:402).
Skinner memusatkan diri pada tingkah laku yang dapat
diubah. Karena itu, ia kurang tertarik pada ciri-ciri tingkah laku yang
tampaknya relative tetap. Prediksi dan penjelasan bisa dicapai lewat
pengetahuan tentang aspek-aspek kepribadian yang bersifat tetap dan dapat
diubah. Tetapi kontrol hanya bisa dicapai lewat modifikasi; kontrol
mengimplikasikan bahwa lingkungan dapat diubah untuk menghasilkan pola-pola
tingkah laku yang berbeda. Akan tetapi Skinner tidak pernah menyatakan bahwa
semua faktor yang menentukan tingkah laku ada dalam lingkungan.
Skinner juga mengakui bahwa sejumlah tingkah laku
memiliki dasar genetik semata-mata, sehingga pengalaman tidak akan berpengaruh
terhadap tingkah laku itu. Skinner melihat persamaan antara dasar hereditas
atau bawaan dan dasar lingkungan dari tingkah laku, Skinner mengemukakan bahwa
proses evolusi membentuk tingkah laku spesies yang bersifat bawaan sama seperti
tingkah laku-tingkah laku individu yang dipelajari dibentuk oleh lingkungan.
(A.Supratiknya,1993:326-327).
Unsur kepribadian yang dipandang Skinner relative
tetap adalah tingkah laku itu sendiri. Ada dua klasifikasi tipe tingkah laku:
(Alwisol;2005:402)
a. Tingkah laku responden (respondent behavior);
respon yang dihasilkan organisme untuk menjawab stimulus yang secara spesifik
berhubungan dengan respon itu. Respon reflex termasuk dalam komponen ini,
seperti mengeluarkan air liur ketika melihat makanan, mengelak dari pukulan
dengan menundukkan kepala, merasa takut waktu ditanya guru, atau merasa malu
waktu dipuji.
b. Tingkah laku operan (operant behavior); respon
yang dimunculkan organisme tanpa adanya stimulus spesifik yang langsung memaksa
terjadinya respon itu. Terjadi proses pengikatan stimulus baru dengan respon
baru.
Dalam memformulasi sistem tingakah laku, Skinner
membedakan dua tipe respons tingkah laku, yakni responden dan operan. Dalam
arti singkatnya, tingkah laku responden adalah suatu respons yang spesifik yang
ditimbulkan oleh stimulus yang dikenal, dan stimulus itu selalu mendahui
respon. Contoh tingkah laku respoden itu anatara lain menggigil karena
kedinginan, stimulus udara dingin, sedangkan responnya adalah menggigil. Pada
tingakah laku responden juga bisa dilihat bahwa stimulus yang sama akan
menimbulkan respons yang sama pada semua organisme dari species yang sama,
serta tingkah laku responden itu biasanya menyertakan refles-refleks yang
melibatkan sistem otonom.
Skinner tidak yakin bahwa porsi utama dari tingkah
laku manusia terdiri dari refles-refleks sederhana ataupun respons-respons yang
diperoleh melalui pengkondisian klasik. Sebaliknya Skinner yakin bahwa tingkah
laku manusia itu sebagian besar terdiri dari respon-respon kategori kedua,
yakni tingkah laku operan. Tingkah laku operan menurut Skinner diperoleh
melalui pengkondisian operan atau instrumental, ditentukan oleh kejadian yang
mengikiti respons. Artinya dalam tingkah laku operan konsekuensi atau hasil
dari tingkah laku akan menentukan kecenderungan organisme untuk mengulang
ataupun menghentikan tingkah lakunya itu dimasa yang akan datang. Jika hasil
yang diperoleh oraganisme melalui tingkah lakunya itu positif, maka organisme
akan mengulang ataupun mempertahankan tingkah lakunya itu. Sebaliknya jika
hasil dari tingkah laku itu negative, maka tingkah laku tersebut oleh
oraganisme akan dihentikan atau tidak diulang. Untuk memperjelas
pemahaman mengenai tingkah laku operan, kita bisa mengambil contoh dari
kehidupan sehari-hari berupa pengkondisian operan dari tingkah laku atau
respons menangis pada anak kecil.
Konsep perkuatan yang digunakan dalam pengkondisian
operan ini menduduki peranan kunci dalam teori Skinner. Skinner mengemukakan
bahwa ia menemukan kemungkinan menggunakan jadwal-jadwal perkuatan tidak tetap
secara kebetulan, yakni sebagai hasil dari penyelesaian kesulitan praktis yang
dihadapinya. Jadwal perkuatan semacam ini, yang disebut perkuatan sinambung,
bisa digunakan pada permulaan pengkondisian operan. (E.koswara,1991:78-83)
Menurut Skinner variabilitas intensita tingkah laku
itu dapat dikembalikan kepada variable lingkungan. Konsep motivasi yang
menjelaskan variabilitas tingkah laku dalam situasi yang konstan bukan fungsi
dari keadaan energi, tujuan, dan jenis penyebab semacamnya.
c. Dinamika Kepribadian Behavioristik
1.
Kepribadian dan Belajar
Kepedulian utama dari Skinner adalah mengenai
perubahan tingkah laku. Jadi hakikat teori Skinner adalah teori belajar,
bagaimana individu menjadi memiliki tingkah laku baru, menjadi lebih terampil,
menjadi lebih tahu. Kehidupan terus-menerus dihadapkan dengan situasi eksternal
yang baru, dan organisme harus belajar merespon situasi baru itu memakai respon
lama atau memakai respon yang baru dipelajari. Dia yakin bahwa kepribadian
dapat difahami dengan mempertimbangkan pertimbangan tingkah laku dalam
hubungannya yang terus menerus dengan lingkungannya.
Cara efektif untuk mengubah dan mengontrol tingkah
laku adalah dengan melakukan penguatan, suatu strategi kegiatan yang membuat
tingkah laku tertentu berpeluang untuk terjadi atau sebaliknya pada masa yang
akan datang. Konsep dasarnya sangat sederhana yakni bahwa semua tingkah laku
dapat dikontrol oleh konsekuensi tingkah laku itu. (Alwisol,2005:403).
2.
Generalisasi dan Deskriminasi Stimulus
Generalisasi stimulus adalah proses timbulnya respon
dari stimulus yang mirip dengan stimulus yang mestinya menimbulkan respon itu.
Sedangkan diskriminasi stimulus adalah kemampuan untuk membedakan stimulus,
sehingga stimulus itu tidak diberi respon, walaupun mirip dengan stimulus yang
diberi penguat. Generalalisasi dan diskriminasi sangat penting sebagai sarana
belajar, karena kalau keduanya tidak ada, orang tidak belajar sama sekali. Kita
selalu belajar dari permulaan, dan kita terus menerus akan belajar tingkah laku
baru kalau tidak ada generalisasi, karena tidak ada orang yang dapat berada
dalam situasi yang sama persis dan melakukan respon yang sama persis pula.
Menurut Skinner, generalisasi stimulus itu memiliki
arti penting bagi integritas tingkah laku individu. Tanpa adanya generalisasi
stimulus, tingkah laku individu akan terbatas dan tidak terintegritas,
yang menyebabkan individu tersebut harus selalu mengulang-ulang
pembelajarannya, bagaiman bertingkah laku secar layak. Disamping generalisasi
stimulus, menurut Skinner individu mengembangkan tingkah laku adaptif atau
penyesuaian diri melalui kemampuan membedakan atau diskriminasi stimulus.
Deskriminasi stimulus merupakan kebalikan dari generalisasi stimulus, yakni
suatu proses belajar bagaimana merespons secara tepat terhadap berbagai
stimulus yang berbeda. Menurut Skinner, kemampuan mendiskriminasikan stimulus
itu pada setiap orang tidaklah sama. (E.Koswara,1991: 94-95)
3.
Tingkah Laku Kontrol Diri
Prinsip dasar pendekatan Skinner adalah: Tingkah laku
disebabkan dan dipengaruhi oleh variable eksternal. Tidak ada sesuatu dalam
diri manusia, tidak ada bentuk kegiatan internal, yang mempengaruhi tingkah
laku. Namun betapapun kuatnya stimulus dan penguat eksternal, manusia masih
dapat mengubahnya memakai proses kontrol diri. Pengertian kontrol diri ini
bukan mengontrol kekuatan dalam diri, tetapi bagaimana diri mengontrol
variable-variabel luar yang menentukan tingkah laku. Tingkah laku tetap
ditentukan oleh variable luar, namun dengan cara kontrol diri berikut, pengaruh
variable itu dapat diperbaiki-diatur atau dikontrol.
d. Pendekatan Psikologi Skinner dalam Teori Kepribadian
Behavioristik
Skinner menegaskan bahwa teori-teori tentang tingkah
laku manusia sering memberikan ketentraman yang keliru kepada para ahli
psikologi mengenai pengetahuan mereka bilamana dalam kenyataannya mereka tidak
memahami kaitan antara tingkah laku yang muncul dengan peristiwa yang terjadi
(antesenden-antesenden) dilingkungannya. Dalam pembahasan ini, Skinner akan
dihadirkan sebagai seorang tokoh psikologi pengembang teori, dengan pendekatan
pembelajaran behavioristik sebagai ciri yang utama: (E.Koswara,1991:72-77)
1. Tentang Otonomi Manusia
Skinner amat menentang anggapan mengenai adanya “agen
internal” dalam diri manusia yang menjadikan manusia menjadi otonom atau
kemandirian dalam bertingkah laku. Keberadaan “manusia otonom” itu tergantung
pada pengetahuan kita, dan dengan sendirinya akan kehilangan status dan tidak
diperlukan lagi apabila kita telah mengetahui banyak tentang tingkah laku.
Menurut Skinner kita tidak perlu mencoba untuk menemukan apa itu kepribadian,
keadaan jiwa, perasaan, sifat-sifat, rencana, tujuan, sasaran, atau
prasyarat-prasyarat lain dari manusia otonom dalam rangka memperoleh pemahaman
mengenai tingkah laku manusia.
Menurut Skinner, manusia adalah kotak tertutup, dan
seluruh variable yang mengantarai tingkah laku dan outpu-output tingkah laku
harus dikesampingkan dari penyelidikan psikologi. Menurut Skinner penguraian
yang memadai bisa dilakukan tanpa bantuan sejumlah konstruk selain
kaitan-kaitan fungsional antara stimulus-stimulus dan respons-respons tingkah
laku yang secara terbuka diungkapkan oleh individu. Menurut Skinner
kejadian-kejadian internal merupakan bagian yang bisa diterima dalam psikologi
sejauh kejadian-kejadian internal itu bisa dieksternalisasi dan diukur secara
objektif.
2. Penolakan Atas Penguraian
Fisiologis-Genetik
Penolakan Skinner atas penguraian atau
konsepsi-konsepsi fisiologis-genetik dari tingkah laku itu sebagian besar
berlandaskan alasan bahwa penguraian semacam itu tidak memungkinkan kontrol
tingkah laku. Menurut Skinner, bisa dilihat bahwa sejumlah aspek tingkah laku
berkaitan dengan waktu kelahiran, tipe tubuh, atau konstitusi genetik , fakta
tersebut terbatas kegunaannya. Keterangan fisiologis-genetik itu boleh jadi
membantu kita dalam analisis eksperimental atau pengendalian praktis, sebab
kondisi fisiologis-genetik itu tidak bisa dimanipulasi. Jadi Skinner tidak
menolak adanya unsur fisiologis-genetik (kebutuhan dan keturunan) dalam tingkah
laku, melainkan mengabaikannya disebabkan unsur-unsur tersebut tidak bisa
dimanipulasi atau dikendalikan dalam eksperimen.
3. Psikologi Sebagai Ilmu
Pengetahuan Tingkah Laku
Dalam pendekatannya terhadap studi tentang manusia,
Skinner beranggapan bahwa seluruh tingkah laku ditentukan oleh aturan-aturan,
bisa diramalkan, dan bisa dibawa kedalam kontrol lingkungan atau bisa
dikendalikan. Dengan tegas Skinner menolak anggapan bahwa manusia adalah
makhluk yang bebas berkehendak, atau anggapan bahwa tingkah laku bisa muncul
tanpa sebab. Manusia dengan sistem-sistemnya, adalah mesin yang rumit. Bagi
Skinner, ilmu pengetahuan tentang tingkah laku manusia, yakni psikologi, pada
dasarnya tidak berada dengan ilmu pengetahuan lainnya yang berorientasi kepada
data. Tujuan ilmu-ilmu pengetahuan itu sama, yakni meramalkan dan mengendalikan
fenomena yang dipelajari (dalam psikologi Skinner, fenomena yang dipelajari
adalah tingkah laku yang nampak).
Dengan pendekatan behavioristiknya, Skinner
mempertahankan analisis fungsional atas tingkah laku organisme. Dengan analisis
fungsional, seorang ahli didorong untuk membentuk kaitan yang pasti, nyata, dan
dapat diperinci anatara tingkah laku organisme yang dapat diamati (respons) dan
kondisi-kondisi lingkungan (stimulus) yang menentukan atau mengendalikannya.
(E.Koswara,1991:75-77)
4. Kepribadian Menurut
Perspektif Behaviorisme
Sebagaimana telah kita ketahui, Skinner tidak menerima
gagasan mengenai kepribadian (personality) atau diri (self) sebagai pendorong
atau pengarah tingkah laku. Skinner menyebutkan gagasan semacam itu sebagai
sisa dari animisme primitive. Dari perspektif bahaviorisme Skinner, studi
tentang kepribadian melibatkan pengujian yang sistematis dan pasti atas sejarah
hidup atau pengalaman belajar dan latar belakang genetik atau faktor bawaan
yang khas dari individu. Menurut Skinner individu adalah organisme yang
memperoleh perbendaharaan tingkah laku melalui belajar. Selanjutnya bagi
Skinner studi tentang kepribadian itu ditujukan kepada penemuan pola yang khas
dari kaitan antara tingkah laku organisme dan konsekuensi-konsekuensi yang
diperkuatnya. (E.Koswara,1991:77)
5. Perkembangan Kepribadian Behavioristik
Sebagian besar teori Skinner adalah tentang perubahan
tingkah laku, belajar, dan modifikasi tingkah laku, karena itu dapat dikatakan
bahwa teorinya yang paling relevan dengan perkembangan kepribadian. Bersama
dengan banyak teoritikus, Skinner yakin bahwa pemahaman tentang kepribadian
akan tumbuh dari tinjauan tentang perkembangan tingkah laku manusia dalam
interaksinya yang terus menerus dengan lingkungan. Konsep kunci dalam sistem
Skinner adalah prinsip perkuatan, maka pandangan Skinner seringkali disebut
teori perkuatan operan. (E.Koswara,1991:331).
Konsep perkembangan kepribadian dalam pengertian
menuju kemasakan, realisasi diri, transendensi dan unitas kepribadian tidak
diterima Skinner. Memang ada kemasakan fisik, yang membuat orang menjadi
berubah, lebih peka dalam menerima stimulus dan lebih tangkas dan tanggap dalam
merespon. Urutan kemasakan fungsi fisik yang bersifat universal sesungguhnya
memungkinkan penyusunan periodesasi perkembangan kepribadian, namun tidak
dilakukan Skinner karena dia memandang pengaruh eksternal lebih dominan dalam
membentuk tingkah laku. Peran lingkungan yang dominan dalam perkembangan oraganisme,
digambarkan secara ekstrim oleh Watson sebagai pakar behavioris.
(Alwisol,2005:413-414).
Keistimewaan kelompok respon ini menyebabkan Skinner
memakai istilah “operan”. Operan adalah respon yang beroperasi pada lingkungan
dan mengubahnya. Perubahan dalam lingkungan selanjutnya mempengaruhi terjadinya
respon tersebut pada kesempatan berikutnya. Skinner menyatakan dengan penuh
keyakinan bahwa kepribadian tidak lain adalah kumpulan pola tingkah laku,
Skinner yakin kita dapat memprediksikan, mengontrol, dan menjelaskan
perkembangan-perkembangan ini dengan melihat bagaimana prinsip perkuatan mampu
menjelaskan tingkah laku individu pada saat ini sebagai akibat dari perkuatan
tahap respon-responnya dimasa lalu. Jadwal perkuatan juga dapat dibentuk dengan
mengabaikan faktor waktu dan banyaknya hadiah yang diperoleh itu semata-mata
tergantung pada tingkah lakunya sendiri. (Ferster dan Skinner,1957;
Skinner,1969).
Skinner yakin bahwa pemerkuat-pemerkuat terkondisi
atau pemerkuat-pemerkuat sekunder sangat penting untuk mengontrol tingkah laku
manusia. Perkuatan terkondisi merupakan suatu konsep eksplanatorik atau
penjelasan yang sangat bisa diandalkan. Jadi, pengertian tentang perkuatan
terkondisi adalah penting dalam sistem Skinner, dan seperti akan kita liat
bahwa Skinner menggunakannya secara efektif untuk menjelaskan dipertahankan
atau terpelihara banyak respon yang terjadi sebagai bagian dari tingkah laku
sosial kita.
Pengertian tentang Generalisasi stimulus juga penting
dalam sistem Skinner, sebagaimana pengertian itu penting dalam semua teori
kepribadian yang berasal dari belajar. Skinner tidak merumuskan generalisasi
stimulus maupun deskriminasi stimulus dalam arti proses perseptual atau proses
internal lainnya. Skinner merumuskan masing-masing konsep itu sebagai
hasil-hasil pengukuran respon dalam situasi eksperimental yang dikontrol secara
cermat. Kebanyakan aspek kepribadian muncul dalam suatu konteks sosial, dan
tingkah laku sosial merupakan ciri penting tingkah laku manusia pada umumnya.
Satu-satunya ciri tingkah laku sosial adalah fakta bahwa Skinner melibatkan
interaksi antara dua orang atau lebih. Selain itu, tingkah laku sosial tidak
dipandang berbeda dari tingkah laku lainya, sebab Skinner yakin bahwa
prinsip-prinsip yang menentukan perkembangan tingkah laku dalam suatu
lingkungan yang terdiri dari benda-benda hidup.
(A.Supratiknya,1993:331-345).
B. APLIKASI TEORI BEHAVIORAL
a. Tingkah Laku Abnormal
Skinner berpendapat bahwa tingkah laku abnormal
berkembang dengan prinsip yang sama dengan perkembangan tingkah laku normal.
Konsep implus id yang tertekan, krisis identitas, konflik ego-superego adalah
penjelasan yang menghayal. Kelainan tingkah laku itu adalah kegagalan belajar
memebuat seperangkat respon yang tepat. Kegagalan belajar itu dapat berupa:
(Alwisol,2005:415-416).
1.
Kekurangan
tingkah laku (behavior deficit); tidak memiliki respertoir respon yang
dikehendaki karena miskin reinforsemen.
2.
Kesalahan
penguatan (schedule reinforcement error); pilihan responnya tepat,
tetapi reinforsemen diterima secara tidak benar sehingga organisme cenderung
memakai respon yang tidak dikehendaki.
3.
Kesalahan
memahami stimulus (failure in discriminating stimulus); sering terjadi
pada penderita skizoprenik dan psikotik lainnya, yaitu orang gagal memilah tanda-tanda
yang ada pada stimulus, sehingga stimulus yang benar dihubungkan dengan hukuman
dan yang salah dihubungkan dengan reinforsemen. Alibatnya akan terjadi
pembentukan tingkah laku yang tidak dikehendaki.
4.
Merespon secara
salah (inapropiate set of response); terkait dengan ketidak mampuan mengenali
penanda spesifik suatu stimulus, orang akhirnya mengembangkan respon yang salah
karena justru respon itu yang mendapat reinforsemen.
C. PENGONDISIAN OPERAN
Skinner membedakan dua tipe respons tingkah laku,
yakni responden dan operan. Dalam arti singkatnya, tingkah laku responden
adalah suatu respons yang spesifik yang ditimbulkan oleh stimulus yang dikenal,
dan stimulus itu selalu mendahului respons. Tingkah laku responden yang tarafnya lebih tinggi, dimiliki
oleh individu melalui belajar dan bisa dikondisikan.
1. Mencatat tingkah laku operant
Skinner beranggapan bahwa hukum-hukum fungsional dari
tingkah laku paling baik dikembangkan dengan memusatkan pada faktor-faktor yang
meningkatkan dan atau mengurangi probabilitas kemunculan respons dilain waktu
dari pada menciptakan stimulus spesifik yang memacu respons.
Dalam pengondisian operant, tingkah laku organisme
perlu diukur dan dicatat begitu tingkah laku itu muncul. Karena sumber data
psikologi yang paling berarti adalah tingkatan merespon dari organisme (jumlah
respon yang dihasilkan dari waktu tertentu).
Pengondisian operan ini memungkinkan peneliti bisa
menguji atau memeriksa bagaimana variabel-variabel (penguatan atau hukuman)
mengetahui tingkah laku operan dalam periode yang diperpanjang.
2. Jadwal perkuatan
Inti dari pengondisian operan menunjukkan bahwa
tingkah laku yang diberi penguatan akan cenderung diulang. Sebaliknya, tingkah
laku yang tidak diberi penguatan (dihukum) akan cenderung dihentikan oleh
organisme.
Selanjutnya, yang dimaksud dengan jadwal perkuatan itu
sendiri adalah aturan yang menentukan dalam keadaan bagaimana atau kapan
perkuatan-perkuatan akan disampaikan
Dalam system Skinner, terdapat beberapa jadwal
perkuatan yang bebeda, yang kesemuanya bisa dikategorikan menurut dua dimensi
dasar, yaitu :
a. Perkuatan
yang diberikan hanya setelah organisme melalui interval waktu (disebut jadwal
perkuatan interval).
b. Perkuatan
yang diberikan hanya setelah organisme menunjukkan sebuah respons (disebut jadwaL perkuatan perimbangan)
3. Tingkah laku takhyul
Pengondisian operan ini diantarai oleh kausal-temporal
antara tingkah laku organisme dan konsekuensi-konsekuensi yang dihasilkannya.
Tetapi sering terjadi kaitan antara respons dan hasil yang mengikutinya muncul
semata-mata karena kebetulan. Tingkah laku yang disandarkan pada hubungan
respon perkuatan kebetulan itu disebut juga tingkah laku takhyul. Menurut
Skinner, tingkah laku takhyul akan muncul dalam keadaan individu percaya bahwa
tingkah laku tertentu yang diungkapkannya merupakan penyebab dari kejadian yang
telah dan akan dialaminya.
Skinner juga mengemukakan bahwa tingkah laku takhyul
itu tidak hanya merupakan hasil dari pengalaman pribadi atau kisah pengondisian
individual, melainkan banyak diantaranya yang berasal dari pengalaman bersama
dan turun-temurun dari satu generasi ke generasi berikutnya.
4. Shaping
Shaping adalah pembentukan suatu respons melalui
pemberian perkuatan atas respons-respons lain yang mengarah atau mendekati
respons yang ingin dibentuk itu. Dengan demikian, peneliti bisa mpemperpendek
waktu yang bisa diperlukan untuk mengondisikan respons, dan bisa juga
meningkatkan rentang dari tungkah laku operan yang tidak bisa dicapai melalui
pengondisian standar yang kaku.
5. Pemerkuat sekunder
Skinner berpendapat bahwa pemerkuat itu terdiri dari
dua jenis, yakni pemerkuat primer dan pemerkuat sekunder. Pemerkuat primer
(pemerkuat tak berkondisi) adalah kejadian atau objek yang memiliki sifat
memperkuat secara inheren. Sedangkan pemerkuat sekunder adalah hal, kejadian
atau objek yang memiliki nilai pemerkuat respons melalui kaitan yang erat
dengan pemerkuat primer berdasarkan pengalaman pengondisian atas proses belajar
pada organisme. Perubahan kecil dalam prosedur standar pengondisian operan
menunjukkan bagaimana stimulus netral bisa memperoleh daya atau nilai
pemeerkuat bagi suatu tingkah laku. Halm yang paling penting bagi pemerkuat
sekunder adalah kecenderungannya untuk digeneralisasikan apabila dipasangkan
dengan lebih dari satu pemerkuat primer.
Skinner menyatakan bahwa pemerkuat sekunder memang
memiliki daya yang besar bagi pembentukan dan pengendalian tingkah laku.
Tetapi, karena masing-masing individu mempunya pengalaman yang berbeda, maka
nilai pemerkuat sekunder itu belum tentu sama bagi semua orang.
6. Penggunaan stimulus aversif
Stimulus aversif adalah stimulus yang tidak
menyenangkan, tidak dihiraukan dan selalu dihindari oleh organisme. Skinner
menyebutkan bahwa ada dua metode yang berbeda sehubungan dengan penggunaan
stimulus aversif ini, yakni pemberian hukuman (punishment) dan perkuatan
negatif
7. Generalisasi dan diskriminasi
stimulus.
Generaslisasi stimulus adalah kecenderungan untuk
terulang atau meluasnya tingkah laku yang diperkuat dari satu situasi stimulus
ke dalam situasi stimulus yang lain. Sedangkan yang dimaksud dengan
diskriminasi stimulus adalah suatu proses belajar bagaimana merespons secara
tepat terhadap berbagai stimulus yang berbeda.
D. PENERAPAN DUNIA SEBAGAI KOTAK SKINNER
1. Teknologi tingkah laku
Menurut Skinner, seluruh masalah utama yang dihadapi
dunia modern dewasa ini adalah menyangkut tingkah laku manusia. Yang mana
masalah tersebut tidak akan bisa teratasi jika hanya mengandalkan fisika atau
kimia. Yang dibutuhkan justru teknologi tingkah laku. Dengan kata lain, untuk
memahami tingkah laku manusia kita harus melihat faktor-faktor penyebab yang
sesungguhnya, yaitu faktor lingkungan.
Skinner beranggapan bahwa sifat-sifat atau
gambaran-gambaran dari manusia otonom yang paling menghambat atas terbentuknya
teknologi tingkah laku adalah “kebebasan dan kemuliaan:
2. Kebebasan
Menurut Skinner manusia dan kemanusiaan tidak akan
sepenuhnya lepas dari kendali lingkungan, melainkan hanya lepas dari
pengendali-pengendali tertentu. Untuk memperbaiki keadaan manusia, manusia itu
sendiri harus menghentikan usaha pencarian kebabasan yang sia-sia, dan
memusatkan perhatian ilmiah kepada perubahan drastis dari struktur-struktur
sosial.
3. Kemuliaan
Konsep mengenai kemuliaan manusia (human dignity)
adalah menyangkut penghormatan dan pemeliharaan martabat manusia. Menurut Freud
penganut konsep tersebut menentang kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi
tingkah laku, sebab mereka dihambat oleh ilusi mengenai kemuliaan dan tanggung
jawab manusia otonom itu. Oleh karena itu konsep kemuliaan menghambat kemajuan
manusia. Dan jika kita ingin membangun konsep dunia versi skinner, konsep
kemuliaan harus dibuang bersama konsep kebebasan.
4. Hukuman
Skinner menentang hukuman tidak hanya karena hukuman
itu berasal dari konsep yang keliru mengenai tingkah laku manusia. Tetapi juga
hukuman itu bersifat tidak efektif. Selain itu, menurut Skinner bahwa salah
satu tugas utama kita adalah membuat kehidupan kurang dari hukuman dengan
merancang masyarakat yang tidak perlu menggunakan hukuman sebagai pengendali
tingkah laku para anggotanya.
5. Alternatif dari Hukuman
Skinner menyatakan bahwa alternatif-alternatif
lain dari hukuman itu tidak efektif. Selain itu alternatif lain dari hukuman
dipraktekkan secara kaku. Alternatif-alternatif itu menurut Skinner antara lain
permissiveness, bimbingan dan metode “mengubah pikiran”. Permissiveness atau
kebijakan membiarkan adalah cara yang tidak efektif disebabkan kebijakan
semacam ini meninggalkan aspek-aspek lain dari pengendalian lingkungan.
6. Nilai-nilai
Menurut Skinner, memutuskan atau menilai suatu hal
sebagai baik atau buruk mengandung arti mengklasifikasikan suatu hal tersebut
ke dalam rangka efek-efek memperkuatnya. Tegasnya, sesuatu yang baik adalah
sesuatu yang memperkuat secara positif. Sedangkan sesuatu itu dikatakan buruk
apabila memperkuat secara negatif. Sasaran umum yang dimaksud Skinner dalam hal
ini adalah untuk menciptakan masyarakat yang seimbang. Dimana masing-masing
orang diperkuat atau memperoleh perkuatan secara maksimal.
7. Evolusi Kebudayaan
Penciptaan utopia behaviorisme menuntut pemahaman
mengenai bagaimana kebudayaan-kebudayaan atau lingkungan-lingkungan sosial
berkembang. Menurut Skinner, peranan teknologi tingkah laku dalam pemeliharaan
kelangsungan kebudayaan itu adalah membantu percepatan evolusi kebudayaan.
8. Perancangan kebudayaan
Skinner mangajukan gagasan tentang perancangan
kebudayaan menurut prinsip behaviorisme. Menurut Skinner, kebudayaan mirip
dengan kotak eksperimen yang sering ia gunakan dalam penyelidikan tingkah laku.
Karena pada keduanya terdapat keniscayaan-keniscayaan dari perkuatan. Skinner
juga beranggapan bahwa, rancangan kebudayaan ilmiah itu hanyalah satu cara dari
kita untuk memelihara kelangsungan kebudayaan dan kehidupan kita sendiri.
Kebudayaan kita, yang telah menghasilkan ilmu pengetahuan dan teknologi perlu
menyelamatkan dan diselamatkan pengelolanya melalui tindakan-tindakan yang
efektif.
9. Penghapusan konsep manusia
otonom.
Skinner menegaskan perlunya penghapusan konsep manusia
otonom, karena keberadaan manusia otonom berikut atribut-atribut mentalnya
sangan kabur, menurut Skinner, pada gilirannya konsep manusia otonom itu
setahap demi setahap harus dihapuskan dan digantikan oleh konsep dan upaya
pengendalian tingkah laku.
2.6 TEORI
KEPRIBADIAN MENURUT ABRAHAM MASLOW
A.
HAKIKAT TEORI KEPRIBADIAN ABRAHAM MASLOW
Para ahli psikologi
humanistik mempunyai perhatian terhadap isu-isu penting tentang eksistensi
manusia, seperti : cinta, kreativitas, kesendirian dan perkembangan diri.
Mereka tidak meyakini bahwa manusia dapat mempelajari sesuatu tentang kondisi
manusia melalui penelitian terhadap binatang. Para ahli humanistik memiliki
pandangan yang optimistik terhadap hakikat manusia (Yusuf
Syamsu, 2007:142). Mereka meyakini bahwa :
1. Manusia
memiliki dorongan bawaan untuk mengembangkan diri.
2. Manusia
memiliki kebebasan untuk merancang atau mengembangkan tingkah lakunya, dalam
hal ini manusia bukan pion yang diatur sepenuhnya oleh lingkungan.
3. Manusia
adalah makhluk rasional dan sadar, tidak dikuasai oleh ketidaksadaran,
kebutuhan irrasional dan konflik.
Karena pembahasan mengenai
teori kepribadian humanistik menurut Maslow (Koeswara, E.1991:115), maka ajaran
dasar psikologi yang akan dibahas antara lain :
1. Individu
sebagai keseluruhan yang integral.
Salah satu aspek yang
fundamental dari psikologi humanistik adalah ajarannya bahwa manusia atau
individu harus dipelajari sebagai keseluruhan yang integral, khas, dan
terorganisasi. Maslow merasa bahwa para ahli psikologi di masa lalu maupun
sekarang terlalu banyak membuang waktu untuk menganalisa kejadian-kejadian
atau tingkah laku secara terpisah dan mengabaikan aspek-aspek dasar dari
pribadi menyeluruh.
2. Ketidak
relevanan penyelidikan dengan hewan.
Para jurubicara psikologi
humanistik mengingatkan tentang adanya perbedaan yang mendasar antara tingkah
laku manusia dengan tingkah laku hewan. Bagi mereka manusia lebih dari sekedar
hewan. Ini bertentangan dengan behaviorisme yang mengandalkan penyelidikan
tingkah laku hewan dalam memahami tingkah laku manusia. Maslow dan para
teoritis kepribadian humanistik umumnya memandang manusia sebagai makhluk yang
berbeda dengan hewan apapun. Maslow juga menegaskan bahwa penyelidikan dengan
hewan tidak relevan bagi upaya memahami tingkah laku karena hal itu mengabaikan
ciri-ciri yang khas pada manusia seperti adanya gagasan-gagasan, nilai-nilai,
rasa malu, cinta, semangat, humor, rasa seni, kecemburuan dan sebagainya yang
dengan kesemua ciri yang dimilikinya itu manusia bisa menciptakan pengetahuan,
puisi, musik, dan pekerjaan-pekerjaan khas manusia lain-lainnya.
3. Pembawaan
baik manusia.
Teori Freud secara implisit
menganggap bahwa manusia pada dasarnya memiliki karakter jahat. Impuls-impuls
manusia, apabila tidak dikendalikan, akan menjuruskan manusia kepada
pembinasaan sesamanya, dan juga penghancuran dirinya sendiri. Sementara
pandangan ini belum jelas ketetapannya, Freud menurut Maslow hanya memiliki
sedikit kepercayaan tentang kemuliaan manusia, dan berspekulasi secara pesimis
tentang nasib manusia. Sebaliknya, psikologi humanistic memiliki anggapan bahwa
manusia itu pada dasarnya adalah baik atau tepatnya netral. Menurut prespektif
humanistik kekuatan jahat atau merusak yang ada pada manusia itu adalah hasil
dari lingkungan yang buruk dan bukan merupakan bawaan.
4. Potensi
kreatif manusia.
Mengutamakan kreativitas
manusia merupakan salah satu prinsip yang penting dari psikologi humanistik.
Maslow dari studinya atas sejumlah orang tertentu, menemukan bahwa pada orang-orang
yang ditelitinya itu terdapat satu cirri yang umum, yakni kreatif. Dari itu
Maslow menyimpulkan bahwa potensi kreatif merupakan potensi yang umum yang ada
pada manusia. Maslow yakin bahwa jika setiap manusia mempunyai atau menghuni
lingkungan yang menunjang setiap orang dengan kreativitasnya maka akan mampu
mengungkapkan segenap potensi yang dimilikinya. Dan pada saat yang sama Maslow
mengingatkan bahwa untuk menjadi kreatif orang itu tidak perlu memiliki bakat
atau kemampuan khusus. Menurut Maslow kreativitas itu tidak lain adalah
kekuatan yang mengarahka manusia kepada pengekspresian yang ada pada dirinya.
5. Penekanan
pada kesehatan psikologis.
Maslow secara konsisten
beranggapan bahwa tidak ada satupun pendekatan psikologis yang mempelajari
manusia yang bertumpu pada fungsi-fungsi manusia berikut cara dan tujuan
hidupnya yang sehat. Dalam hal ini Maslow terutama mengkritik Freud yang
menurutnya terlalu mengutamakan studi atas orang-orang yang tidak sehat. Dengan
tegas Maslow menyebut teori psikoanalisa ortodoks sebagai teori yang berat
sebelah dan kurang komperhensif karena hanya berlandaskan pada bagian yang
abnormal dari tingkah laku manusia. Maslow juga merasa bahwa psikologi terlalu
menekankan pada sisi negative manusia dan mengabaikan kekuatan atau sifat-sifat
yang positif. Maslow yakin bahwa kita tidak akan bisa memahami gangguan mental
sebelum kita memahami kesehatan mental. Karena itu Maslow mendesakkan perlunya
studi atas orang-orang yang berjiwa sehat sebagai landasan bagi pengembangan
psikologi yang universal.
B.
HIERARKI KEBUTUHAN MASLLOW
Maslow (Koeswara E,
1991:118) melukiskan manusia merupakan makhluk yang tidak pernah sepenuhnya merasakan
kepuasan. Bagi manusia, kepuasan itu sifatnya sementara. Jika suatu kebutuhan
telah terpuaskan, maka kebutuhan-kebutuhan yang lain akan muncul dan menuntut
pemuasan, begitu seterusnya. Itulah yang dimaksud kepuasan sementara menurut
Maslow. Dan berdasarkan ciri yang demikian, Maslow mengajukan gagasan bahwa
kebutuhan yang ada pada manusia adalah merupakan bawaan tersusun menurut
tingkatan atau bertingkat.
Konsep maslow tentang
hierarki kebutuhan bahwa kebutuhan yang lebih rendah tingkatnya harus dipuaskan
atau minimal terpenuhi secara relatif sebelum kebutuhan yang lebih tinggi
tingkatnya menjadi motivator tindakan. Lima kebutuhan yang membentuk hierarki
kebutuhan ini merupakan kebutuhan-kebutuhan konatif, artinya bercirikan daya
juang atau motivasi. Kebutuhan ini sering disebut dengan kebutuhan-kebutuhan
dasar, dapat disusun dalam sebuah hierarki atau tangga jenjang, dimana setiap
anak tangga selalu mengarah pada anak tangga yang ada di atasnya, mencerminkan
adanya dorongan menuju kebutuhan di tingkatan lebih tinggi sekaligus menjadi
syarat utama untuk bisa bertahan hidup lebih jauh.
Menurut Maslow (Koeswara E,
1991:119) kebutuhan manusia itu ada lima tingkatan yaitu :
1. Kebutuhan-kebutuhan fisiologis.
Kebutuhan-kebutuhan
fisiologis adalah sekumpulan kebutuhan dasar yang paling mendesak pemuasannya
karena berkaitan langsung dengan pemeliharaan biologis dan kelangsungan hidup.
Kebutuhan-kebutuhan dasar fisiologis itu antara lain kebutuhan akan makanan,
air, udara, aktif, istirahat, keseimbangan temperature, seks dan kebutuhan akan
stimulasi sensoris. Karena merupakan kebutuhan yang paling mendesak maka
kebutuhan-kebutuhan fisiologis akan paling didahulukan pemuasannya oleh
individu.
2. Kebutuhan akan rasa aman.
Apabila kebutuhan
fisiologis individu telah terpuaskan maka dalam diri individu akan muncul satu
kebutuhan lain sebagai kebutuhan yang dominan dan menuntut pemuasan, yakni
kebutuhan akan rasa aman. Yang dimaksud Maslow dengan kebutuhan akan rasa aman
ini adalah sesuatu kebutuhan yang mendorong individu untuk memperoleh
ketentraman, kepastian dan keteraturan dari keadaan lingkungan. Maslow
mengemukakan bahwa kebutuhan akan rasa aman ini sangat nyata dan bisa diamati
pada bayi, anak-anak, remaja, dewasa maupun orang tua karena ketidakberdayaan
mereka.
3. Kebutuhan akan rasa cinta dan memiliki.
Kebutuhan akan rasa cinta
dan memiliki ini adalah suatu kebutuhan yang mendorong individu untuk
mengadakan hubungan afektif atau ikatan emosional dengan individu lain, baik
dengan sesama jenis maupun dengan lawan jenis, di lingkungan keluarga maupun
lingkungan di masyarakat. Bagi individu-individu keanggotaan dalam anggota
kelompok sering menjadi tujuan yang dominan dan mereka bisa menderita kesepian,
terasing dan tak berdaya apabila keluarga, teman dan pasangan hidup atau pacar
meninggalkannya.
4. Kebutuhan akan rasa harga diri.
Kebutuhan keempat yaitu
kebutuhan akan rasa harga diri oleh Maslow dibagi menjadi dua bagian yakni yang
pertama adalah penghormatan atau penghargaan dari diri sendiri, dan bagian yang
kedua adalah penghargaan dari orang lain. Bagian pertama mencakup hasrat untuk
memperoleh kompetensi, rasa percaya diri, kekuatan pribadi, kemadirian, dan
kebebasan. Individu ingin mengetahui yakin bahwa dirinya berharga serta mampu
mengatasi segala tantangan dalam hidupnya. Adapun bagian kedua meliputi antara
lain prestasi. Dalam hal ini individu butuh penghargaan atas apa-apa yang
dilakukannya.
5. Kebutuhan akan aktualisasi diri.
Kebutuhan untuk
mengungkapkan diri atau aktualisasi diri merupakan kebutuhan manusia yang
paling tinggi dalam teori Maslow. Kebutuhan ini akan muncul setelah
kebutuhan-kebutuhan yang ada di bawahnya telah terpenuhi atau terpuaskan dengan
baik. Maslow menandai kebutuhan aka aktualisasi diri sebagai hasrat indivdu
untuk menjadi orang yang sesuai dengan keinginan dan potensi yang dimilikinya.
Atau hasrat individu untuk menyempurnakan dirinya melalui pengungkapan segenap
potensi yang dimilikinya. Siapapun yang sudah mencapai tingkat aktualisasi diri
berarti menjadi manusia seutuhnya, sanggup memenuhi kebutuhan-kebutuhan yang
bagi orang lain hanya terlihat samar-samar atau bahkan tidak pernah dilihatnya
sama sekali. Sebagai tambahan bagi lima kebutuhan konatif ini, Maslow (Jess
Feist & Gregory Jess Feist, 2008 : 247) juga mengidentifikasikan tiga
kebutuhan dari kategori yang lain yaitu: kebutuhan estetis, kebutuhan kognitif,
dan kebutuhan neurotik.
6. Kebutuhan estetis
Tidak seperti kebutuhan
konatif, kebutuhan estetis tidak bersifat universal, karena hanya segelintir
orang disetiap budaya termotivasi oleh kebutuhan akan keindahan dan
pengalaman-pangalaman yang menyenangkan secara estetis. Orang dengan
kebutuhan estetis kuat menginginkan lingkungan sekeliling yang indah dan
teratur, dan jika kebutuhan-kebutuhan ini tidak terpenuhi, mereka akan menjadi
sakit karena kebutuhan konatifnya terhambat.
7. Kebutuhan kognitif
Sebagian besar orang
memiliki keinginan-keinginan untuk mengetahui sesuatu, memecahkan misteri,
memahami sesuatu, dan ingin menyelidiki sesuatu. Maslow (1970) menyebut
keinginan-keinginan ini dengan sebutan kebutuhan kognitif. Maslow (1968, 1970),
percaya bahwa pribadi yang sehat ingin tahu lebih banyak, berteori sesuatu,
menguji hipotesis, memecahkan misteri atau menemukan bagaimana sesuatu bekerja
hanya demi kepuasan mengetahui itu saja.
8. Kebutuhan Neurotik
Khusus kebutuhan-kebutuhan
neurotik, dia mengarah hanya kepada stagnasi dan patologi tertentu ( Maslow,1976).
Menurut devinisinya kebutuhan neorotik bersifat non produktif. Kebutuhan ini
hanya mendesakkan terus menerus gaya hidup tidak sehat dan tanpa nilai dalam
perjuangan mereka untuk aktualisasi diri.
2.7 TEORI KEPRIBADIAN MENURUT CARL ROGERS
A. HAKIKAT TEORI CARL ROGERS
Teori Rogers sangat bersifat klinis,
karena didasarkan pada pengalaman bertahun-tahun bagaimana seharusnya seseorang
terapis menghadapi kliennya. Di titik ini, teorinya sangat mirip dengan
teoretikus-teoretikus seperti Freud, Anna Freud, dan lain sebagainya. Kesamaan
dengan Freud juga terletak pada kekayaan dan kedalaman teori yang dia tawarkan,
dipikirkan dengan matang, dengan logika yang sangat ketat dan dengan cangkupan
yang sangat luas.
Akan tetapi Rogers berbeda dari Freud
karena dia menganggap manusia pada hakikatnya baik atau sehat, tidak jahat atau
sakit. Dengan kata lain, dia memandang kesehatan mental sebagai proses
perkembangan hidup alamiah, sementara penyakit jiwa, kejahatan dan persoalan-persoalan
kemanusiaan lainnya, sebagai penyimpangan dari kecenderungan alam. Perbedaan
lainnya adalah teorinya relative lebih sederhana ketimbang teori Freud.
Perbedaan terakhir ini terjadi karena
teori Rogers lebih elegan. Bangunan teorinya di dasarkan pada satu “daya hidup”
yang dia sebut kecenderungan aktualisasi. Ini dapat diartikan sebagai motivasi
yang menyatu pada setiap diri mahluk hidup yang bertujuan mengembangkan seluruh
potensi-potensinya sebaik mungkin. Di sini kita bukan hanya bicara tentang
bagaimana bertahan hidup. Rogers yakin bahwa seluruh mahluk pasti ingin berbuat
atau memperoleh yang terbaik keberadaannya. Jika mereka gagal memperolehnya,
bukan berarti mereka tidak memiliki hasrat.
Dari dorongan tunggal inilah Rogers menurunkan
keinginan atau dorongan-dorongan yang dibicrakan para teoretikus kepribadian
lain. Dia bertanya kenapa kita memerlukan udara, air, dan makanan? Kenapa kita
selalu berusaha mendapatkan rasa aman, cinta, dan perasaan mampu? Kenapa kita
berusaha menemukan obat-obatan baru, menemukan sumber-sumber energi baru atau
menciptakan karya seni yang baru? Menurutnya, karena itu semua adalah keinginan
dan usaha itu merupakan hakikat alamiah kita sebagai mahluk hidup untuk
mengusahakan yang terbaik untuk diri kita.
Di sini, kita harus ingat bahwa Rogers
memakai istilah tersebut untuk setiap jenis mahluk, berbeda dengan Maslow yang
hanya memakai istilah tersebut untuk mahluk hidup saja. Di antara contoh-contoh
yang dia kemukakan adalah karang yang tumbuh di dasar laut dan jamur. Tidakkah
menakjubkan rumput liar dapat tumbuh di pinggir jalan, atau lumut yang bisa
menembus dinding tembok, atau binatang tertentu yang bisa hidup di tengah gurun
atau kutub utara?
Rogers juga menerapkan gagasannya ini
ke dalam sebuah ekosistem dengan mengatakan bahwa ekosistem tertentu, seperti
hutan dengan aneka ragam isinya, memiliki potensi aktualisasi yang lebih besar
ketimbang ekosistem yang lebih sederhana, seperti lading jagung atau sepetak
tanah. Jika seekor serangga tidak dapat hidup di hutan, maka pasti ada mahluk
lain yang mampu beradaptasi dengan kondisi hutan tersebut. Sebaliknya, jika
jagung yang ada di sebuah lading terserang hama mematikan atau kemarau panjang,
yang tersisa kemudian hanyalah tanah kering berdebu. Hal yang sama juga terjadi
pada diri kita masing-masing, jika kita hidup sebagaimana layaknya, kepribadian
kita akan berkembang sedemikian rupa, seperti layaknya hutan tadi, dan mampu
fleksibel dalam menghadap berbagai macam tantangan hidup.
Karena itulah manusia menciptakan
masyarakat dan kebudayaan guna mengaktulisasikan potensi-potensi yang mereka
miliki. Di dalam dan demi diri sendiri, masyarakat tidaklah menjadi persoalan
bagi diri kita pribadi. Setiap orang pada hakikatnya adalah mahluk social. Akan
tetapi, ketika kita menciptakan kebudayaan, dia berkembang dan memiliki
kehidupan sendiri. Kebudayaan tidak akan selalu selaras dengan aspek alamiah
manusia, bahkan di dalam dirinya, kebudayaan dapat saja berlawanan dengan
kecenderungan alamiah kita. Jika dalam pembenturan kebudayaan yang menghalangi
aktualisasi diri kita dapat dimusnahkan, kita pun dengan sendirinya juga akan
ikut punah bersamanya.
Hal ini hendaknya jangan disalah
pahami, secara intrinsik, kebudayaan dan masyarakat tidaklah jahat dan
negative. keberadaannya bagaikan bulu-bulu indah dari burung-burung yang
ditemukan di Papua New Guinea dan Irian.
Bulu-bulu indah yang dimiliki burung jantan dapat mengalihkan perhatian
binatang buas dari burung betina dan anak-anaknya. Seleksi alam telah mengarahkan
burung-burung ini untuk semakin memperbaiki dan memperbaharui bentuk bulunya,
hingga dalam perkembangannya ada burung yang justru tidak lagi dapat terbang.
Sampai di sini, warna-warna yang menarik perhatian tidak lagi dapat melindungi
spesies mereka. Inilah yang menyebabkan kita selalu menggali dan memperbaharui
masyarakat, kebudayaan dan teknologi, karena itu semua dapat membantu kita
bertahan dan berkembang biak, walaupun pada saat yang sama juga bisa
menghancurkan kita.
B.
RINCIAN TEORI CARL
ROGERS
Rogers memandang bahwa setiap mahluk
hidup tahu apa yang terbaik baginya. Evolusi telah melengkapi kita dengan
pancaindera, selera dan kemampuan untuk memilih apa yang kita butuhkan. Saat
kita lapar, kita akan mencari makanan, bukan sembarang makanan, tapi makanan
yang rasanya enak. Makanan yang rasanya tidak enak biasanya membawa penyakit.
Sedangkan apa yang enak dan apa yang tidak enak telah ditunjukkan dengan baik
oleh proses evolusi kita. Inilah yang disebut Rogers dengan proses penilaian
Organismik.
Di antara berbagai hal yang kita nilai
berdasarkan insting adalah perhatian positif. Yang dimaksud rogers dengan
istilah ini adalah perasaan-perasaan seperti cinta, senang, atensi, kepedulian,
dan lain sebagainya. Bayi misalnya, tentu sangat memerlukan cinta dan
perhatian.
Hal ini yang kita kenali secara
instingtif, dan ini hanya dimiliki manusia, adalah perasaan positif terhadap
diri sendiri. Yaitu kehormatan, rasa bangga, citraan yang baik pada diri
sendiri, dan lain sebagainya. Kita memperoleh perhatian positif terhadap diri
sendiri ini dengan merasakan perhatian positif yang diberikan orang lain kepada
kita selama masa-masa pertumbuhan. Tanpa adanya perhatian terhadp diri sendiri
ini, kita akan merasa kecil, tak berdaya dan tak berguna, dan sekali lagi kita
akan gagal menjadi apa yang seharusnya.
Sama seperti Maslow, Rogers percaya
jika dibirkan hidup di habitatnya, binatang pasti akan memakan dan meminum apa
yang baik menurutnya dan dan dalam proporsi yang seimbang. Bayi juga begitu,
dia menginginkan dan menyukai apa yang mereka butuhkan. Akan tetapi, kadang
kita harus pula menciptakan lingkungan yang berbeda dari apa yang kita tinggali
selama ini. Di lingkungan baru ini berbagai bahan makanan, seperti gula,
tepung, mentega, cokelat, dan lain-lain tidak dikenal oleh nenek moyang kita
dulu. Bahan-bahan makanan ini memiliki rasa yang sesuai dengan penilaian
organismik kita, akan tetapi tidak bisa dijadikan sebagai lat aktualisasi kita.
Selama ribuan tahun, manusia mungkin terbiasa dan puas dengan rasa kol ketimbang
potongan keju, akan tetapi masa itu sudah terlalu jauh bagi kita saat ini.
Masyarakat juga mengajarkan pada kita
untuk selalu berada dalam syarat-syarat yang diperlukan. Dalam masa
pertumbuhan, orangtua, guru, teman, dan lain-lain hanya mau mengabulkan
keinginan kita jika kita mampu menunjukkan bahwa kita “baik dan patuh”. Mereka
memberikannya bukan karena kita memang memerlukannya. Kita baru boleh minum es
jika kita sudah selesai mengerjakan PR. Kita boleh makan permen atau cokelat
setelah buah-buah selesai kita makan. Dan yang paling penting sekali, kita akan
memperoleh cinta dan kasih sayang jika kita memperlihatkan rasa “patuh”.
Perhatian positif yang tertuju pada “syarat-syarat”
ini disebut Rogers dengan perhatian positif kondisional. Karena kita memang
memerlukan perhatian positif, maka syarat-syarat ini sangat penting dan kita
selalu berusaha untuk terkait padanya, bukan karena penilaian organismik atau
kecenderungan aktualisasi yang ada dalam diri kita, akan tetapi karena
masyarakat, terlepas apakah kita memang memiliki kepentingan terhadapnya atau
tidak. Seorang anak yang “patuh” belum tentu seorang anak yang bahagia atau
memiliki kesehatan mental yang baik.
Seiring dengan pertambahan usia,
“syarat-syarat” ini kemudian mengarahkan kita pada perhatian positif terhadap
syarat-syarat yang diinginkan diri sendiri. Kita mulai menilai diri sendiri
dengan memakai standar-standar yang diberikan orang lain kepada kita, bukannya
kita berusaha sekuat tenaga mengaktualisasikan potensi-potensi yang kita
miliki. Karena standar-standar ini dibuat tanpa mempertimbangkan keanekaan diri
individual, bahkan kita sering tidak pernah merasa sepakat dengan
standar-standar tersebut. Kita jadinya tidak mampu menegaskan rasa harga diri
kita secara pribadi.
a.
Ketidaksebidangan (Incongruity)
Aspek keberadaan anda yang didasarkan
pada kecenderungan aktualisasi, yang mengikuti penilaian organismik, kebutuhan
dan penerimaan akan pertimbangan positif dan pertimbangan terhadap diri sendiri
disebut Rogers dengan Diri Riil (Real Self). Diri Riil ini adalah “Anda”
sebagaimana adanya jika segala sesuatunya berjalan dengan baik.
Di lain pihak, karena keinginan
masyarakat, hal itu sering tidak selaras dengan kecenderungan aktualisasi kita,
dan didesak hidup dengan syarat-syarat kepatuhan yang berada di luar penilaian
organismik kita sendiri, serta hanya menerima pertimbangan positif yang
kondisional dan pertimbangan terhadap diri sendiri, maka diri kita akan
berkembang menjadi Diri Ideal (Ideal Self). Apa yang dimaksud Rogers dengan
ideal di sini adalah sesuatu yang tidak riil, sesuatu yang tidak akan pernah
dicapai, standar-standar yang tidak akan pernah kita penuhi.
Jurang yang memisahkan antara Diri Riil
dengan Diri Ideal, antara “Saya sebagai adanya” dengan “Saya sebagaimana yang
seharusnya” disebut ketidaksebidangan. Semakin lebar jarak antara keduanya,
semakin besar pula ketidaksebidangan ini. Semakin besar ketidaksebidangan ini,
semakin besar pula tekanan dan penderitaan yang dirasakan. Ketidaksebidangan
inilah yang sesungguhnya disebut Rogers sebagai Neurosis, yaitu ketidakselarasan
dengan diri sendiri.
b.
Pertahanan
Jika anda berada dalam situasi dimana
terjadi ketidaksebidangan antara citra anda dan pengalaman nyata anda tentang
diri anda sendiri (Antara Diri Ideal dengan Diri Riil), maka anda pada waktu
itu sedang berada dalam situasi terancam. Sebagi contoh, jika anda dididik
untuk tidak merasa patuh seandaianya tidak memperoleh nilai A dalam ujian, dan
anda memang bukan siswa yang pintar, maka ujian atau segala macam tes lainnya
akan membawa ketidakebidangan itu ke permukaan, anda akanmerasa ujian sangat
menyiksa dan menakutkan.
Menjelang situasi yang mengancam itu,
anda akan merasa cemas. Kecemasan adalah tanda yang memberitahukan bahwa ada
kesulitan-kesulitan yang akan dihadapi dalam situasi berikutnya, bahwa anda
harus menghidari situasi tersebut. Salah satu cara menghindarinya tentu saja
melarikan diri sejauh mungkin. Namun masalahnya, cara ini tidak bisa dilakukan
dalam kehidupan nyata. Anda kemudian melarikan diri bukan dengan tubuh kasar,
akan tetapi secara psikologis dengan menggunakan pertahanan-pertahanan.
Gagasan Rogers tentang pertahanan
sangat mirip dengan apa yang dikemukakan Freud, hanya saja Rogers melihatnya
berdasarkan persepsi. jadi, dia menganggap memori dan rangsangan-rangsangan
kenangan sebagai persepsi. dia hanya mengemukakan dua macam cara bertahan,
yaitu pengingkaran dan distorsi perseptual.
c. Pengingkaran di sini hampir sama dengan
pengingkaran dalam sistem Freudian. Anda memblokir situasi yang mengancam
secara bersamaan. Contohnya adalah orang yang tidak pernah mau mengikuti ujian
atau tidak pernah memberitahukan nilai yang diperolehnya. Dengan cara ini, dia
tidak perlu mencemaskan nilai buruk (setidaknya untuk sementara). Pengingkaran
menurut Rogers ini juga mencangkup apa yang disebut Freud dengan represi. Jika
anda berusaha menyingkirkan kenangan buruk atau rangsangan yang akan memancing
kenangan itu muncul dari kesadaran anda (anda menolak untuk mengingatnya),
berarti anda sedang berusaha menghindari situasi yang mengancam.
Sementara Distorsi Perseptual adalah
penafsiran kembali sebuah situasi sedemikian rupa sehingga tidak lagi dirasakan
terlalu mengancam. Ini mirip dengan apa yang disebut Freud sebagai
Rasionalisasi. Seorang siswa yang merasa terancam oleh ujian dan nilainya
mungkin, misalnya, akan menuduh cara mengajar gurunya sangat jelek, memberikan
soal-soal yang tidak sesuai, sikapnya yang buruk, dan lain sebagainya. Cara
mengajar yang buruk, soal-soal yang tidak sesuai, dan sikapnya yang buruk hanya
akan membuat pendistorsian ini bekerja dengan baik. Jika memang ini jadi sebab,
wajar saja jika nilai yang diperoleh buruk. Distorsi perseptual ini juga sangat
bersifat perseptual. Contohnya, ketika seseorang salah membaca nilai ujiannya
dan yakin telah memperoleh nilai yang lebih baik.
Bagi orang yang mengalami neurotik
ringan (sebagian kita memang mengalaminya dalam kehidupan sehari-hari), setiap
kali menggunakan mekanisme pertahanan, dia semakin memperlebar jurang yang
memisahkan antara Diri Riil dengan Diri Ideal. Mereka akan mengalami
ketidaksebidangan yang lebih luas, dan merasa semakin terancam. Kecemasan pun
terasa semakin menjadi-jadi dan akhirnya akan melakukan berbagai macam cara
bertahan. Akhirnya dia tidak akan mampu keluar dari lingkaran setan ini.
Rogers juga menjelaskan Psikosis.
Psikosis terjadi ketika pertahanan yang dilakukan seseorang runtuh dan merasa
dirinya hancur berkeping-keping. Akibatnya, perilakunya menghadapi persoalan
ini menjadi tidak konsisten. Kita menyebutnya dengan “Keterpecahan Psikotik”,
periode di mana orang berprilaku aneh-aneh. Kata-kata yang keluar dari mulutnya
tidak nyambung. Emosinya sering tidak
tertata. Dia juga tidak mampu membedakan antara diri dengan yang bukan diri,
dan menjadi tidak punya arah dan pasif.
C.
TERAPI
Carl Rogers terkenal dengan
kostribusinya terhadap metode terapi. Terapi yang dia praktikkan memiliki dua
nama yang sama-sama dia pakai. Awalnya dia menyebut metodenya dengan non-direktif,
sebab dia berpendapat seorang terapis tidak seharusnya tidak mengarahkan
kliennya, akan tetapi membebaskan klien mengarahkan sendiri kemana terapi akan
berujung. Semakin banyak pengalaman yang dia peroleh selama terapi, seorang
terapis akan semakin menyadari bahwa dia masih tetap memiliki pengaruh pada
kliennya justru karena dia sama sekali tidak mengarahkannya. Dengan kata lain,
klien harus melihat terapis sebagai pembimbingnya, dan tetap akan merasakan hal
ini walaupun si terapis tidak berusaha membimbing dan mengarahkannya.
Kemuadian Rogers mengganti istilah ini
dengan metode yang terpusat pada klien.
Dia tetap menganggap klienlah yang seharusnya menyatakan apa yang salah pada
dirinya, berusaha memperbaikinya sendiri, dan menentukan kesimpulan apa yang
dihasilkan proses terapi, terapi ini akan tetap “terpusat pada klien” meskipun
dia menyadari betul pengaruh terapis terhadap dirinya. Sayangnya, sebagian
besar terapis merasa istilah ini mempermalukan profesi mereka: “Bukankah para
terapis itu “terpusat pada klien”?”
Saat ini, walaupun istilah non-direktif
dan terpusat pada klien ini masih digunakan, akan tetapi orang lebih sering
menyebutnya dengan istilah terapi Rogerian. Salah satu ungkapan yang dipakai
Rogers dalam menggambarkan bagaimana cara kerja metode terapinya ini adalah
“Berusahalah mendorong dan mendukung, jangan mencoba merekonstruksi”, dan dia
juga mencontohkan dengan proses belajar mengendarai sepeda. Ketika anda
membantu anak anda belajar mengendarai sepeda, anda tidak cukup mengajarinya
hanya dengan memberitahunya “cara-cara cepat mengendarai sepeda”. Mereka harus
mencobanya langsung dan anda pun tidak akan bisa terus-menerus memeganginya.
Lalu datanglah saat dimana anda tidak perlu lagi memeganginya. Jika anak belum
tahu caranya, dia mungkin akan jatuh dan mencobanya lagi. Akan tetapi jika anda
pegangi terus, karena takut ia akan terluka, dia tidak akan pernah belajar
bagaimana mengendarai sepedah.
Hal yang sama juga berlaku dalam
terapi. Jika ketidaktergantungan (otonomi, kebebasan yang bertanggung jawab)
yang ingin anda tumbuhkan dalam diri klien anda, mereka tidak akan
memperolehnya jika mereka tetap bergantung pada anda sebagai terapis. Mereka
perlu mencoba mewujudkan pendapat dan keinginan mereka sendiri di dalam
kehidupan nyata di luar ruang terapi. Pendekatan terapi yang otoriter awalnya
memang kelihatan sangat ampuh, tapi metode ini hanya menghasilkan
pribadi-pribadi yang tergantung pada
orang lain.
Satu-satunya teknik yang dikemukakan
Rogers untuk menjalankan metode tersebut adalah Refleksi. Refleksi adalah
pemantulan komunikasi perasaan. Jika klien berkata “saya merasa tidak berguna”,
maka si terapis bisa memantulkan hal ini kembali pada klien dengan berkata
“kalau begitu hidup telah mengecewakanmu?” Dengan cara ini, si terapis
sesungguhnya menunjukkan pada kliennya bahwa dia mendengarkan dengan sungguh-sungguh
dan berusaha memahami peasaan si klien.
Seorang terapis yang baik juga harus
membiarkan kliennya mengetahui apa yang sesungguhnya yang dia utarakan. Orang
yang mengalami tekanan sering mengucapkan sesuatu yang bukan maksudnya. Dia
mengatakan hanya karena dia merasa lebih baik jika dikatakan saja. Misalnya, seorang wanita pernah
mendatangi saya dan langsung berkata “saya benci laki-laki” lalu saya
merefleksikan (memantulkan kembali) apa
yang dia katakan ini dengan berwujud “anda benci laki-laki?” ternyata kemudian
dia menjawab “ya, tapi nanti dulu sebenarnya tidak juga”, karena ayah dan
saudara laki-laki saya masih kucintai”. Bahkan walaupun orang-orang ini dia
benci, namun kadar kebenciannya tidak tidak sebesar rasa bencinya terhadap
laki-laki lain. Pada akhirnya, dia pun menyadari bahwa dia sebenarnya tidak
percaya pada sebagian laki-laki dan hanya takut kalau-kalau dikecewakan lagi
oleh laki-laki sebagaimana dia pernah dikecewakan oleh laki-laki yang dia kenal
sebelumnya.
Namun begitu, teknik refleksi ini harus
digunakan hati-hati. Kebanyakan terapis pemula menggunakannya tanpa menggunakan
pertimbangan pikiran atau perasaan. Lalu mereka mengira kliennya tidak pernah
bisa paham dan akhirnya refleksi ini hanya akan melahirkan stereotype terapi
Rogerian, sepertinya halnya seks dan ibu yang jadi stereotype dalam terapi
Freudian. Refleksi hendaknya benar-benar datang dari dalam hati, dia harus
murni dan kongruen.
Inilah yang akan membawa kita pada
syarat-syarat seorang terapis menurut Rogers. Menurut Rogers, agar seseorang
dapat menjadi terapis yang efektif, setidaknya dia harus memiliki tiga kualitas
khusus:
1.
Kongruen
: kejujuran dan ketulusan dengan klien.
2.
Empati : kemampuan merasakan apa yang dirasakan klien.
3.
Respek :
menerima klien apa adanya dan memberikan perhatian positif tak bersyarat
kepadanya.
Rogers menganggap katiganya adalah
syarat “mutlak dan sudah lebih dari cukup”. Seandainya seorang terapis sudah
memperlihatkan tiga kemampuan ini, kliennya akan berubah, walau tidak ada
teknik khusus yang dia gunakan. Sebaliknya, jika terapis tidak memiliki ketiga
kemampuan ini, perubahan yang akan dicapai kliennya sangat minim, tidak peduli
berapa banyak teknik yang dia terapkan.
Memang apa yang ditawarkan Rogers tidak
banyak, tapi dia sangat menekankan agar tiga kemampuan tadi dipakai dalam
terapi. Dengan kata lain, ketika seorang terapis meninggalkan ruangan, dia
tetaplah manusia sebagaimana orang lain.
2.8 TEORI
KEPRIBADIAN MENURUT ALBERT BANDURA
A. HAKIKAT TEORI MENURUT ALBERT BANDURA
Karena behaviorisme lebih menekankan
metode experimental, maka yang jadi pusat perhatiannya adalah variabel-variabel
yang dapat diamati, diukur dan dimanipulasi, serta menghindari apun yang
bersifat subjektif, mental dan tidak bisa diamati secara empirik atau mental.
Dalam metode experimental, yang jadi prosedur standar adalah bagaimana
memanipulasi suatu variabel. Dari proses inilah teori kepribadian menyatakan
bahwa lingkungan tempat seseorang pasti membentuk dan mempengaruhi perilakunya.
Namun, Bandura menganggap proses tadi
terlalu sederhana untuk kasus yang diselidikinya (kenakalan remaja). Oleh
karena itu dia memutuskan untuk menambahinya dengan rumusan baru. Menurutnya,
lingkungan memang membentuk perilaku namun perilaku juga membentuk lingkungan. Dia
menyebut konsep ini dengan determinisme resiprokal, yaitu dunia dan perilaku
seseorang itu saling mempengaruhi.
Dia tidak berhenti sampai disitu saja.
Dia kemudian juga memendang kepribadian sebagai hasil interaksi dari 3 hal,
yaitu lingkungan, perilaku, dan proses psikologi seseorang. Proses psikologis
ini berisi kemampuan kita untuk menyenangkan berbagai citra dalam pikiran dan
bahasa kita. Pada saat dia memperkenalkan perumpamaan, secara khusus dia tidak
lagi dikatakan sebagai behavioris murni, dan mulai beralih menjadi kognitivis.
Bahkan ada sebagian kalangan yang berpendapat dialah yang menjadi bapak aliran
kognitivisme.
Dengan menambahkan perumpamaan dan
bahasa ke dalam 3 hal yang membentuk perilaku tadi, memungkinkan Bandura
mengeluarkan teori yang lebih efektif tentang 2 hal yang menurut orang selama
ini membentuk perilaku manusia: pembelajaran observasional (modeling) dan
regulasi diri. Teorinya ini lebih efektif dibanding teori yang di kemukakan B.F
Skinner.
a.
Pembelajaran Observasional
Di antara sekian banyak penelitian yang
di lakukan Bandura, salah satu rangkaian penelitiannya yang paling penting
adalah The Bobo Doll Studies. Dia
membuat film tentang salah satu murid perempuannya yang selalu merusak boneka
bobonya. Boneka bobo adalah boneka yang berisi angin dengan pemberat di bagian
bawahnya. Kalau boneka ini dipotong maka bagian atas tubuhnya akan bergoyang ke
depan dan belakang, sementara bagian bawahnya tetap berada pada tempat semula.
Muridnya tadi selalu memukuli boneka
tersebut, berteriak, dan mencaci makinya. Dia menendang, menduduki, memukulnya
dengan kayu, sambil terus memakinya. Bandura kemudian mempertontonkan filmnya
ini kepada murid TK yang tentu menyukai adegan film tersebut. Setelah itu,
murid TK dipersilahkan memeinkan permainan yang ada di film tersebut. Mereka
bermain di dalam ruangan yang lengkap dengan boneka bobo baru, perhitungan
kecil, dan sebagainya.
Apa yang anda perkirakan mungkin sama
dengan yang ada dalam kepala para peneliti. Hampir semua anak-anak di TK itu,
menyiksa boneka bobo tadi. Mereka memukulinya dan memaki-makinya. Dengan kata
lain, mereka meniru gadis muda yang mereka tonton dalam film tadi.
Awalnya, kejadian ini tidak tampak
sebagai hasil penelitian yang berharga, tapi ingat anak-anak di TK tadi
mengubah perilaku mereka tanpa terlebihdahulu mempertimbangkan apa akibat dari
perilaku baru yang mereka tiru. Walaupun menurut orangtua, guru, atau peneliti
anak-anak biasa, perubahanperilaku ini bukanlah hal yang luar biasa, namun bagi
peneliti behavioristik, perubahan ini tidak selaras dengan teori proses belajar
yang selama ini ada. Dia menyebut fenomena tadi dengan pembelajaran
observasional atau modeling (teori pembelajaran sosial).
Bandura melakukan berbagai variasi
penelitian. Pihak yang jadi model diberi imbalan atau hukuman dengan berbagai
cara, sementara anak-anak yang meniru model juga diberi berbagai imbalan. Model
diusahakan semakin kurang atraktif atau tidak terlalu prestisius. Bahkan ketika
ada kritik yang mengatakan bahwa jelas saja anak-anak akan meniru penyiksaan
boneka bobo tadi, karena boneka bobo ini memang dimaksudkan untuk itu, dia pun
kemudian membuat film tentang seseorang yang menggigit dan memukuli badut asli.
Ketika anak-anak selesai menonton film ini dan dipesilahkan masuk ke ke ruangan
lain dimana telah tersedia badut asli, mereka langsung menendang dan
memukulinya.
Berdasarkan variasi penelitian ini,
Bandura akhirnya menetapkan beberapa tahapan terjadinya proses modeling.
1.
Atensi
atau perhatian
Ketika kita
mempelajari sesuatu, kita harus memperhatikannya dengan seksama. Sebaliknya,
semakin banyak hal yang menggangu kita maka proses belajat akan semakin lambat.
Misal: ketika mengantuk,grogi,sakit,gugup, kita akan tidak akan bisa belajar
dengan baik.
2. Retensi atau ingatan
Kita harus mampu mengingat
apa yang kita perhatikan. Di tahap inilah perumpamaan dan bahasa akan bermain.
Kita menyimpan apasaja yang dilakukan
modek yang kita lihat dalam bentuk citraan mental atau deskripsi verbal. Keika
semua tersimpan, kita bisa memanggil kembali citraan atau deskripsi tadi
sehingga kita dapat memproduksinya dengan pikiran kita sendiri.
3. Reproduksi
Di tahap ini kita
perlu duduk dan berhayal. Kita harus menterjemahkan citraan dan deskripsi tadi
dalam perilaku aktual. Kita harus mampu mempunyai kemampuan mereproduksi
perilaku dahulu. Contoh, ketika kita menonton bola walau seharian tetap saja
kita tidak akan bisa meniru teknik-teknik dalam sepak bola, tapi jika kita
adalah pemain bola kita akan apat mengingat teknik-teknik pemain bola yang
lebih cakap daripada kita.
4. Motivasi
Ketika kita
memiliki motivasi, maka kita akan mempunyai dorongan-dorokan yang akan
mendukung aktivitas kita.
Jenis motivasi
menurut Bandura:
a) Dorongan masa lalu, yaitu
dorongan-dorongan yang dimaksud behavioris tradisional
b) Dorongan yang dijanjikan (insentif)
yang bisa kita bayangkan.
c) Dorongan-dorongan yang kentara, seperti
melihat atau teringat model yang patut ditiru.
Selain itu, ada juga motivasi negatif, yaitu yang memberi alasan anda
tidak meniru, yaitu:
a) Hukuman yang pernah diterima
b) Hukuman yang dijanjikan (ancaman)
c) Hukuman yang kentara
b.
Regulasi Diri
Regulasi diri atau kemampuan mengontrol
diri sendiri merupakan salah satu dari sekian penggerak utama kepribadian
manusia.
Tiga tahap dalam proses regulasi:
1.
Pengamatan
diri
Kita melihat diri dan perilaku kkita
kemudian mengawsinya.
2. Penilaian
Kita membandingkan diri kita dengan
ukuran standar
3. Respon diri
Memberi respon terhadap hasil dari
perbandingan diri kita dengan ukuran standar tertentu.
Konsep yang paling penting dalm
psikologi yang dapat dipahami dari sudut pandang regulasi adalah konsep diri
(harga diri). Ketika kita merasa bahwa hidup kita telah sesuai dengan standar
yang kita tetapkan, maka kita telah memperoleh penghargaan itu.
Penghukuman diri menurut bandura dapat
membawa masalah. 3 hal yang muncul akibat penghukuman diri adalah:
1.
Kompensasi
2. Ketdakaktifan
3. Palarian
B. TERAPI
1.
Terapi kontrol diri
Gagasan yang
tercakup dalam konsep regulasi diri yang diaplikasikan dalam bentuk terapi. Terapi ini cenderung berhasil pada
persoalan yang sederhana, seperti merokok. Cara dalam terapi ini:
a) Grafik-grafik behavioral
Pengamatan diri mengharuskan kita terus
mengawasi perilaku kita, baik sebelum maupun sesudah berubah. Cara ini mencakup
hal sederhana seperti, menghitung berapa banyak batang rokok yang dihabiskan
dalam sehari, sampai ke hal-hal yang lebih rumit, seperti membuat catatan
perilaku sehari-hari. Dengan cara ini anda akan dapat membantu anda untuk
membawa anda ke tanda-tanda yang bisa diasosiasi dengan perilaku tertentu,
seperti anda pasti merokok setelah makan atau setelah minum kopi atau saat
mengobrol,dsb.
b) Perencanaan lingkungan
Jadikan patokan salah satu catatan
perilaku anda, kemudian, anda dapat mengubah lingkungan anda, misal menghindari
faktor-faktor yang akan membawa kita pada
perilaku jelek, seperti menyingkirkan asbak, tdak lagi minum kopi,dll.
c) Perjanjian diri
Anda harus berani membuat janji dengan
diri anda. Ketika perbuatan buruk tersebut dapat diubah atau dihapus maka anda
harus memberi imbalan pada diri anda. Begitupun sebaliknya ketika gagal.
2.
Terapi modeling
Ini adalah terapi
Bandura yang paling terenal. Teori ini adalah jika anda bergaul dengan orang
yang mengalami gangguan psikologis dengan tujuan bisa mengamati bagaimana cara
orang tersebut menghadapi persoalan yang telah dialami, maka anda belajar
dengan memposisikan orang tadi menjadi model.
2.9 KEPRIBADIAN SEHAT
A.
Kepribadian yang sehat menurut Maslow
Maslow (Yusuf Syamsu,
2007:161) berpendapat bahwa seseorang akan memiliki kepribadian yang sehat,
apabila dia telah mampu untuk mengaktualisasikan dirinya secara penuh (self-actualizing person). Dia
mengemukakan teori motivasi bagi self-actualizing
person dengan nama metamotivation,
meta-needs, B-motivation atau being values (kebutuhan untuk
berkembang). Seseorang yang telah mampu mengaktualisasikan dirinya dirinya
tidak termotivasi untuk mengejar sesuatu (tujuan) yang khusus, mereduksi
ketegangan, atau memuaskan suatu kekurangan. Mereka secara menyeluruh tujuannya
akan memperkaya, memperluas kehidupannya dan mengurangi ketegangan melalui
bermacam-macam pengalaman yang menantang. Dia berusaha untuk mengembangkan
potensinya secara maksimal, dengan memperhatikan lingkungannya. Dia juga berada
dalam keadaan yang menjadi baik yaitu spontan, alami, dan senang
mengekspresikan potensinya secara penuh.
Sementara motivasi bagi
orang yang tidak mampu mengaktualisasikan dirinya, dia namai D-motivation atau deficiency. Tipe motivasi ini
cenderung mengejar hal yang khusus untuk memenuhi kekurangan dalam dirinya,
seperti mencari makanan untuk memenuhi rasa lapar. Ini berarti bahwa kebutuhan
khusus (lapar) untuk tujuan yang khusus (makanan) menghasilkan motivasi untuk
memperoleh sesuatu dirasakannya kurang (mencari makanan). Motif ini tidak hanya
berhubungan dengan kebutuhan fisiologis, tetapi juga rasa aman, cinta kasih,
dan penghargaan.
Terkait dengan metaneeds, Maslow selanjutnya
mengatakan bahwa kegagalan dalam memuaskan akan berdampak kurang baik individu,
sebab dapat menggagalkan pemuasan kebutuhan yang lainnya, dan juga melahirkan
metapatologi yang dapat merintangi perkembangannya. Metapalogi merintangi self-actualizers untuk
mengekspresikan, menggunakan, memenuhi potensinya, merasa tidak berdaya, dan
depresi. Individu tidak mampu mengidentifikasi sumber penyebab khusus dari
masalah yang dihadapinya dan usaha untuk mengatasinya.
B.
Kepribadian yang sehat menurut Carl Rogers
Seperti
halnya Maslow, Rogers juga tertarik menjelaskan seperti apakah pribadi yang
sehat itu. Istilah yang dipakai adalah kepribadian yang berfungsi baik, yang mencangkup
kualitas-kualitas berikut ini:
1.Terbuka
terhadap pengalaman. Kualitas ini adalah kebalikan dari sikap bertahan. Orang
yang memiliki kualitas ini memiliki persepsi yang akurat tentang pengalamannya
tentang dunia, termasuk perasaannya sendiri. Perasaan merupakan bagian
terpenting dari keterbukaan karena akan menunjukkan penilaian organismik. Jika
anda tidak bisa terbuka terhadap perasaan sendiri, anda pun tidak akan bisa
membuka diri untuk aktualisasi. Tentu bagian tersulit di sini adalah membedakan
perasan riil dari kecemasan-kecemasan yang disebabkan oleh syarat-syarat
kepatuhan.
2.Kehidupan eksistensial. Yaitu kehidupan
di sini dan sekarang. Rogers, yang sangat ingin menyatu dengan realitas,
menegaskan bahwa kita tidak hidup di masa lalu atau masa yang akan datang, yang
pertama telah berlalu, sementara yang kedua belum terjadi. Masa sekarang adalah
satu-satunya realitas yang kita miliki. Ini bukan berarti kita tidak seharusnya
mengenang atau belajar dari masa lalu. Bukan pula berarti kita tidak bisa
merencanakan atau bahkan berangan-angan tentang masa yang akan datang. Di sini
yang dimaksud Rogers adalah kita seharusnya memandang sesuatu sebagaimana
adanya, kenangan dan angan-angan adalah sesuatu yang kita alami di sini dan
sekarang.
3.Keyakianan organismik. Kita harus
membiarkan diri kita dituntun oleh proses penilaian organismik. Kita harus
yakin pada diri sendiri, malukan apa yang menurut kita benar, wajar dan
alamiah. Saya yakin anda sepakat dengan saya bahwa inilah poin teori Rogers
mengundang perdebatan. Memang orang mengatakan, lakukanlah apa yang menurutmu
wajar dan alamiah, jika anda seorang yang sadis, maka sakitilah orang yang
lain, jika anda seorang yang masokis, maka sakitilah diri sendiri, jika narkoba
dapat membuat anda senang, maka pakailah; jika anda sedang depresi, maka
bunuhlah diri anda. Tentu saja ini bukan nasihat yang baik. Kejadian di era
60-an dan 70-an adalah dampak buruk dari sikap seperti ini. Tapi anda harus
ingat bahwa yang menurut Rogers harus
dipercayai adalah diri anda yang sebenarnya, dan anda hanya bisa mengenali apa
yang dikatakan diri anda yang sebenarnya jika anda bisa terbuka dengan
pengalaman dan hidup secara eksistensial. Dengan kata lain, keyakinan
organismik mengendalikan adanya keterkaitan anda dengan kecenderungan
aktualisasi.
4.Kebebasan eksistensial. Rogers
menganggap persoalan apakah manusia bebas atau tidak sebagai sesuatu yang tidak
relevan. Kita merasa memiliki kebebasan seolah-olah kita benar-benar
memilikinya. Ini bukan pula berarti kita bebas melakukan apapun. Kita
dikelilingi oleh alam semesta yang membatasi. Saya tidak akan bisa terbang
seperti superman walau telah mengepakkan tangan secepat mungkin. Artinya, kita
hanya bisa merasa bebas jika ada pilihan yang ditawarkan pada kita. Rogers
mengatakan bahwa hanya orang yang kepribadiannya berfungsi dengan baiklah yang
dapat merasakan kebebasan dan bertanggung jawab atas apa yang jadi pilihannya.
5.Kreativitas. Jika anda merasa bebas dan
bertanggung jawab, anda baru bisa bertindak menurut kewajaran dan dapat
berpartisipasi dalam kehidupan. Orang yang kepribadiannya berfungsi baik,
selalu terikat dengan aktualisasi, dengan sendirinya merasa bertanggung jawab
untuk ikut serta dalam aktualisasi orang lain, termaksuk kehidupan itu sendiri.
Hal ini dapat dilakukan melalui ilmu pengetahuan atau seni, melalui kepedulian
sosial atau tugas sebagai orangtua, bahkan hanya dengan melakukan yang terbaik
sesuai dengan kemampuannya. Kreativitas yang dimaksud Rogers di sini sangat
mirip dengan apa yang disebut Erikson dengan generativitas.
Jadi menurut kami
kepribadian sehat adalah:
a.
Mandiri dalam berfikir dan bertindak, yaitu memiliki
sifat mandiri dalam cara berfikir, dan bertindak, mampu mengambil keputusan,
mengarahkan dan mengembangkan diri serta menyesuaikan diri dengan norma yang
berlaku di lingkungannya.
b.
Mampu menjalin relasi sosial yang sehat dengan sesamanya,
yaitu mau
berpartsipasi aktif dalam kegiatan sosial dan memiliki sikap bersahabat dalam
berhubungan dengan orang lain.
c.
Dapat menerima dan melaksanakan tanggungjawab yang
dipercayakan, yaitu dia mempunyai keyakinan terhadap
kemampuannya untuk mengatasi masalah-masalah kehidupan yang dihadapinya.
d.
Dapat mengendalikan emosi merasa nyaman dengan emosinya, dapat
menghadapi situasi frustrasi, depresi, atau stress secara positif atau
konstruktif , tidak destruktif (merusak).
e.
Mampu menilai diri sendiri secara realisitik, yaitu
mampu menilai diri apa adanya tentang kelebihan dan kekurangannya, secara
fisik, pengetahuan, keterampilan serta mampu menerima diri sendiri dan orang lain sebagaimana
apa adanya.
f.
Mampu menilai situasi secara realistik, yaitu dapat
menghadapi situasi atau kondisi kehidupan yang dialaminya secara realistik dan
mau menerima secara wajar, tidak mengharapkan kondisi kehidupan itu sebagai sesuatu
yang sempurna.
g.
Mampu menilai prestasi yang diperoleh secara
realistik, yaitu dapat menilai keberhasilan yang diperolehnya dan meraksinya
secara rasional, tidak menjadi sombong, angkuh atau mengalami superiority
complex, apabila memperoleh prestasi yang tinggi atau kesuksesan hidup. Jika
mengalami kegagalan, dia tidak mereaksinya dengan frustrasi, tetapi dengan
sikap optimistik.
h.
Berorientasi tujuan, yaitu dapat merumuskan
tujuan-tujuan dalam setiap aktivitas dan kehidupannya berdasarkan pertimbangan
secara matang (rasional), tidak atas dasar paksaan dari luar, dan berupaya
mencapai tujuan dengan cara mengembangkan kepribadian (wawasan), pengetahuan
dan keterampilan.
i.
Berorientasi keluar (ekstrovert), yaitu bersifat
respek, empati terhadap orang lain, memiliki kepedulian terhadap situasi atau
masalah-masalah lingkungannya dan bersifat fleksibel dalam berfikir, menghargai
dan menilai orang lain seperti dirinya, merasa nyaman dan terbuka terhadap
orang lain, tidak membiarkan dirinya dimanfaatkan untuk menjadi korban orang
lain dan mengorbankan orang lain, karena kekecewaan dirinya.
j.
Memiliki filsafat hidup, yaitu mengarahkan hidupnya
berdasarkan filsafat hidup yang berakar dari keyakinan agama yang dianutnya.
k.
Berbahagia, yaitu situasi kehidupannya diwarnai kebahagiaan,
yang didukung oleh faktor-faktor achievement
(prestasi), acceptance
(penerimaan), dan affection
(kasih sayang).
BAB III
KESIMPULAN
3.1 Kesimpulan
Teori
humanistik berkembang sekitar tahun 1950-an sebagai teori yang menentang
teori-teori psikoanalisis dan behavioristik. Serangan humanistik terhadap dua
teori ini adalah bahwa kedua-duanya bersifat “dehumanizing” (melecehkan
nilai-nilai manusia). Teori humanistic dipandang sebagai “third force”
(kekuatan ketiga) dalam psikologi, dan merupakan alternative dari kedua
kekuatan yang dewasa ini dominan (psikoanalisis dan behavioristik). Kekuatan
yang ketiga ini dinamakan humanistic karena memiliki minat yang eksklusif
terhadap tingkah laku manusia.
Humanistik
dapat diartikan sebagai “orientasi teoritis yang menekankan kualitas manusia
yang unik, khususnya terkait dengan free will (kemauan bebas) dan potensi untuk
mengembangkan dirinya”. Misalnya, teori kepribadian humanistik ini diajarkan
oleh beberapa ahli di antaranya adalah Carl Rogers yang membagi aspek-aspek
kepribadian menjadi dua yaitu organisme dan self. Menurut Maslow kepribadian
manusia itu ditandai dengan terpenuhinya lima kebutuhan manusia yaitu :
kebutuhan fisiologis, kebutuhan rasa aman, kebutuhan mencintai dan memiliki,
kebutuhan penghargaan dan kebutuhan aktualisasi diri.
3.2
Saran
Setelah
mempelajari teori kepribadian humanistic ini, diharapkan agar supaya mahasiswa
dapan mengetahui dan memahami masalah-masalah yang kami bahas dalam makalah
ini. Seperti kebutuhan-kebutuhan manusia dan kepribadian humanistik menurut
beberapa ahli. Tidak hanya memahami, sebagai seorang calon konselor hendaknya
mampu menerapkan atau mengaplikasikan dalam proses kehidupan pribadi konselor
serta pada kliennya.
DAFTAR PUSTAKA
Boerre George. 2009.
Personality Theoris, Yogyakarta: Prismasophie
Tidak ada komentar:
Posting Komentar