Rabu, 04 Desember 2013

Teori Kepribadian





TEORI KEPRIBADIAN
 (Makalah Dasar-dasar Pemahaman Perilaku Individu)





Oleh
Kelompok 6:


1.      Annisa Dwi Oktaviani
2.      Esrawati Silalahi
3.      Nini Apriyani
4.      Novita Dewi Indriyana Sari
5.      Nur Fitriyana Irawati       
6.      Qomarul Hasanah
7.      Vita Dwi Astuti
8.      Yessy Ari Estiani Sutopo








FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
JURUSAN ILMU PENDIDIKAN
PROGRAM STUDI BIMBINGAN KONSELING
UNIVERSITAS LAMPUNG
2012



 
BAB 1
PENDAHULUAN


1.1 Latar Belakang
Setiap orang memiliki kepribadian yang berbeda-beda, dilahirkan dengan ciri khas dan watak berbeda-beda yang menjadikan seseorang itu unik, mempunyai kekuatan dan kelemahan sendiri-sendiri. Dalam kehidupan sehari-hari di lingkungan masyarakat, manusia saling berinteraksi dan menciptakan suatu kebudayaan yang mempengaruhi tingkah laku kebudayaan individu, setiap generasi baru memberikan corak kepribadian baru dari generasi sebelumnya dan bereaksi terhadap lingkungannnya, yang merupakan akibat dari perbedaan kepribadian dalam pemenuhan kebutuhannya. Dalam usaha penyesuaian diri terhadap kebutuhan manusia sedapat mungkin tidak menyimpang dari ketentuan-ketentuan yang berlaku dalam kelompoknya. Pengalaman tersebut sangat mempengaruhi kepribadian tiap individu sehingga menandai terbentuknya suatuindividu.

Kepribadian adalah sesuatu yang unik dan menetap yang didapat dari pengalaman diri yang bermanifestasi menjadi perilaku yang teramati, bersifat konsisten dan sering disebut sebagai sifat, karakter, dan ciri pembawaan. Kepribadian juga bersifat fleksibel dalam beradaptasi dengan lingkungannya,dimana fleksibilitas tersebut biasanya hilang jika terjadi gangguan kepribadian. Yang dimaksud dengan Gangguan Kepribadian adalah bentuk yang sangat rigid dari suatu ciri kepribadian yang teramati dari perilakunya, yang tampak dari sikapnya yang ekstrim dan berlangsung lama. Dikatakan terganggu jika menyebabkan hendaya dalam fungsi sosial dan pekerjaan yang menimbulkan distress bagi individu, yang pada umumnya individu tersebut tidak menyadari perilaku bermasalahnya.

Gangguan kepribadian secara khas sudah dapat diamatisejak masa remaja atau dewasa muda, dan kurang lebih 9%-13% seluruh orangdewasa mengalami gangguan kepribadian. Mereka yang memiliki gangguan kepribadian memiliki beberapa fitur yang berbeda termasuk gangguan psikologis dalam diri, kemampuan untuk memiliki hubungan interpersonal yang sukses,kesesuaian dari jangkauan emosi, cara memahami diri mereka sendiri, orang lain dan dunia dan kesulitan memiliki kontrol impuls yang tepat. Orang dengan gangguan kepribadian tidak merasa cemas tentang perilaku maladaptifnya. Karena mereka tidak secara rutin merasakan sakit dari apa yang dirasakan oleh masyarakat sebagai gejala, mereka sering kali tidak termotivasi untuk melakukan pengobatan dan tidak mempan terhadap pemulihan. Dalam mata kuliah kepribadian ini dibahas tentang teori-teori kepribadian. Teori-teori kepribadian yang akan di jelaskan kembali disini adalah merupakan ringkasan seluruh materi yang pernah disampaikan di kelas mata Kuliah Dasar-dasar pemahaman perilaku individu.

Kepribadian sangat mencerminkan perilaku seseorang. Setiap orang sama seperti kebanyakan atau bahkan semua orang lain, kita bisa tahu apa yang diperbuat seseorang dalamsituasi tertentu berdasarkan pengalaman diri kita sendiri. Kenyataannya, dalam banyak segi,setiap orang adalah unik, khas. Oleh karena itu, kita membutuhkan sejenis kerangka acuanuntuk memahami dan menjelaskan tingkah laku diri sendiri dan orang lain. kita harusmemahami defenisi dari kepribadian itu, bagaimana kepribadan itu terbentuk. Selain itu kitamembutuhkan teori-teori tentang tingkah laku, teori tentang kepribadian agar terbentuk suatukepribadian yang baik. Sehingga gangguan-gangguan yang biasa muncul pada kepribadian setiap individu dapat dihindari.

1.2 Perumusan Masalah
Berdasarkan hasil  diskusi, maka penulis merumuskan masalah sebagai berikut:
1.    Bagaimana teori kepribadian menurut Sigmund Freud ?
2.    Bagaimana teori kepribadian menurut Carl Gustav Jung ?
3.    Bagaimana teori kepribadian menurut Jean Piaget ?
4.   Bagaimana teori kepribadian menurut Allbert Ellis ?
5.    Bagaimana teori kepribadian menurut Bf. Skiner ?
6.   Bagaimana teori kepribadian menurut Abraham Maslow ?
7.    Bagaimana teori kepribadian menurut Carl Rogers ?
8.   Bagaimana teori kepribadian menurut Albert Bandura?
9.   Bagaimana kepribadian sehat itu ?

1.3Tujuan Penulisan
Tujuan penulisan karya tulis ini adalah sebagai berikut:
1. Untuk memenuhi salah satu syarat memperoleh nilai semester pertama,
2. Untuk mengetahui tentang teori kepribadian,
3. Untuk menambah pengetahuan dan wawasan tentang macam-macam teori kepribadian menurut para psikoanalisis.
1.4 Metode Penulisan
Adapun metode yang digunakan dalam penulisan karya tulis ini, adalah sebagai berikut:
Metode Kepustakaan melalui buku panduan Yaitu metode penelitian dengan mengumpulkan data yang berasal dari beberapa buku yang dianggap sumber itu relevan dan data ini diambil dari media elektronik yaitu, internet yang dianggap sumber yang relevan.
1.5Sistematika Penulisan
Kata Pengantar
Daftar Isi
BAB I PENDAHULUAN, meliputi:
1.1 Latar Belakang Masalah
1.2 Perumusan Masalah
1.3 Tujuan Penulisan
1.4 Metode Penulisan
1.5 Sistematika Penulisan
BAB II PEMBAHASAN, meliputi:
2.1 Teori kepribadian menurut Sigmund Freud
2.2 Teori kepribadian menurut Carl Gustav Jung
2.3 Teori kepribadian menurut Jean Piaget
2.4 Teori kepribadian menurut Allbert Ellis
2.5 Teori kepribadian menurut Bf. Skiner
2.6 Teori kepribadian menurut Abraham Maslow
2.7 Teori kepribadian menurut Carl Rogers
2.8 Teori kepribadian menurut Albert Bandura
2.9 Kepribadian Sehat

BAB III PENUTUP, yang mencakup:

3.1 Kesimpulan
3.2 Saran

DAFTAR PUSTAKA

BAB II
PEMBAHASAN


2.1 TEORI KEPRIBADIAN MENURUT SIGMUND FREUD
A.       INSTING KEHIDUPAN dan INSTING KEMATIAN
Freud berpendapat bahwa seluruh perilaku manusia didorong oleh nafsu atau instingnyayang merupakan kubutuhan fisik-biologis yang Freud namakan insting kehidupan. Insting ini mencakup: (a) kehidupan individual, dengan mendorong seoraang individu memenuhi kebutuhan makanan dan minumnya, dan (b) kehidupan spesies, dengan mendorongnya untuk melakukan hubungan seks. Energi motivasional dari insting kehidupan ini berupa “kekuatan” yang mendorong jiwa kita untuk mencari makan dan lawan jenis yang oleh Freud disebut libido.

Freud mulai menyadari bahwa insting kehidupan bukan akhir seluruh cerita. Tujuan dari segala gerak dan usaha ini tetap belum terpenuhi,oleh sebab itu harus terus menerus diusahakan agar terpenuhi. Freud mulai yakin bahwa dibalik dan disamping isting kehidupan terdapat insting kematian dan setiap pribadi secara tidak sadar pasti ingin mati.

B.       KECEMASAN
Ego merasa terjepit dan terancam, serta merasa seolah-olah akan lenyap digilas kekuatan-kekuatan tersebut. Perasaan terjepit dan terancam ini disebut kecemasan (anxiety). Menurut Freud ada tiga jenis kecemasan :
1.   Kecemasan realistik ini sering disebut rasa takut.
2.  Kecemasan moral Kecemasan ini dirasakan ketika ancaman datang dari luar. Kecemasan moral ini kata lain dari rasa malu, rasa bersalah atau rasa takut mendapat sanksi.
3.  Kecemasan neurotik
Perasaan  takut jenis ini muncul akibat rangsangan id. Neurotik adalah kata latin dari perasaan gugup speri tidak mampu mengendalikan diri.
C.        CARA-CARA BERTAHAN (DEFENCE MECHANISM)
Ego berusaha sekuat mungkin menjaga kestabilan hubungannya dengan realitas, id dan superego. Namun ketika kecemasan begitu menguasai, ego harus berusaha mempertahankan diri dan secara tidak sadar dia akaan memblokir seluruh dorongan atau dengan menciutkan dorongan tersebut menjadi yang lebih dapat diterima dan tidak terlalu mengancam. Cara ini disebut mekanisme pertahanan ego. Bentuk – Bentuk Pertahanan meliputi :
1.  Penolakan
Dilakukan dengan cara memblokir peristiwa yang datang dari luar kesadaran. Cara ini adalah cara yang paling primitif dan berbahaya, karena tidak ada orang yang selamanya mampu lari dari kenyataan. Penolakan dapat berkerja sendiri atau, biasanya dikombinasikan dengan bentuk mekanisme pertahanan lain yang lebih kukuh.
2. Represi
Disebut dengan melupakan yang bermotivasi adalah ketidakmampuan untuk mengingat  kembali situasi, orang atau peristiwa yang menakutkan. Mekanisme ini berfungsi secara tidak sadar.
3. Asketisisme
Mekanisme pertahanan ego dengan menolak segala kebutuhan,
Contoh penolakan remaja putri untuk makan banyak (diet)
4. Isolasi
Mekanisme ini berjalan dengan cara mengalihkan emosi dari kenangan yang menakutkan.
5. Penggantian
Mekanisme ini berjalan dengan cara mengalihkan arah dorongan ke target pengganti. Jika anda merasa nyaman dengan hasrat dan nafsu yang anda rasakan tapi orang lain yang akan dijadikan sasaran dan merasa terancam, maka anda dapat mengganti dia dengan orang lain dengan benda atau orang lain yang dijadikan target simbolik.
6. Melawan Diri Sendiri
Merupakan bentuk penggantian paling khusus, dimana seseorang menjadikan dirinya sendiri sebagai target pengganti. Biasanya diri sendiri dijadikan sebagai target pengganti untuk melampiaskan rasa benci ketimbang pelampiasan terhadap dorongan-dorongan positif.
7. Proyeksi
Penggantian ke arah luar, mekanisme ini merupakan kebalikan dari melawan diri  sendiri.mekanisme ini meliputi kecenderungan untuk melihat hasrat anda yang tidak bisa diterima oleh orang lain.
8. Tawuran Altruistik
Bentuk proyeksi yang awalnya terlihat berlawanan. Disini orang berusaha memenuhi kebutuhannya semaksimal mungkin, tapi dengan memanfaatkan orang lain.
9. Pembentukan Reaksi
Disebut dengan “percaya pada hal yang sebaliknya”. Mekanisme ini mengubah dorongan yang tidak dapat diterima menjadi kebalikan nya (diterima).
10. Penghapusan
Mekanisme ini mencakup ritual “magis” yang bertujuan menhapus pikiran atau perasaan yang tidak mengenakkan.
11.  Introjeksi
Disebut juga identifikasi. Mekanisme ini bekerja dengan cara membawa kepribadian orang lain masuk kedalam diri anda, karena dengan begitu ia dapat menyelesaikan masalah perasaaan yang mengganggu.
12. Identifikasi Dengan Penyerang
Bentuk introjeksi yang terfokus pada pengadopsian, bukan dari segi umum atau positif tapi dari sisi negatif. Dengan kata lain anda merasa takut dengan seseorang anda akan menaklukan rasa takut itu dengan pura-pura menjadi orang yang anda takuti.
13. Regresi
Kembali kemasa-masa dimana seorang mengalami tekanan psikologis. Perilaku kita menjadi kekanak-kanakan atau primitif.
14. Rasionalisasi
Mekanisme petahanan ego dengan cara memutarbalikan fakta supaya dirinya tidak merasa terancam.
15. Sublimasi
Mengubah berbagai rangsangan yang tidak diterima  kedalam bentuk-bentuk yang bisa diterima secara sosial.

D.       TAHAP-TAHAP PERKEMBANGAN
Tahap perkembangan menurut Freud dibagi menjadi 2 yaitu tahap perkembangan psikoseksual dan tahap perkembangan seksual.
1.  Tahap perkembangan psikoseksual :
a.     Tahap oral yaitu berlangsung dari usia 0 sampai 18bulan. Titik kenikmatan terletak pada mulut, dimana aktivitas paling utama adalah menghisap dan menggigit.
b.     Tahap anal yaitu yang berlangsung dari usia 18bulan sampai 3-4 tahun. Titik kenikmatan terletak pada anus. Memegang dan melepaskan sesuatu adalah aktivitas yang paling dinikmati.
c.     Tahap phallic yaitu berlangsung antara 3-5, 6-7 tahun. Titik kenikmatan di tahap ini adalah alat kelamin. Tahap ini seorang anak dapat membedakan wanita dan pria.
d.     Tahap laten yaitu berlangsung dari usia 5, atau 7 sampai usia pubertas ( sekitar usia 12 tahun). Dalam tahap ini freud yakin bahwa rangsangan seksual ditekan sedemikian rupa demi proses belajar.
e.     Tahap genital yaitu dimulai pada saat pubertas, ketika dorongan seksual tertuju sangat jelas terlihat pada diri remaja, khususnya yang tertuju pada kenikmatan hubungan seksual.

2. Tahap-tahap perkembangan seksual :
a.    Karakter
Pengalaman berpengaruh dalam pembentukan karakter dan kepribadian, pengalaman traumatis yang sangat berpengaruh. Setiap trauma pasti memiliki dampak yang unik pada diri  seseorang.


b.     Terapi
Beberapa garis besar tentang terapi Freud :
ü Suasana rileks. Klien yang sedang menjalani terapi harus merasa bebas dan santai untuk mengungkapkan masalahnya.
ü Pembebasan asosiasi. Klien dibebaskan untuk bicara apa saja.
ü Resistensi.
ü Analisis mimpi. Ketika tidur, kita tidak terlalu mengekang alam bawah sadar dan cenderung melepaskannya dalaam bentuk simbolik ke alam sadar. Sebagian besar bentuk terapi menggunakan mimpi yang dialami klien.
ü Parapraksis adalah keceplosan omong, yang juga sering disebut Freudian sliip. Freud memperhatikan lawakan yang disampaikan kliennya.
ü Tes proyektif ketika klien diberikan perintah atau pertanyaan yang membingungkan, dia akan menyelesaikan dengan pilihan alam bawah sadarnya. Pilihan ini yang akan menjadi tanda bagi terapis.

E.        TRANSFERENSI, KATARSI, dan INGATAN
a. Transferensi terjadi ketika klien mengarahkan perasaannya pada terapis, padahal parasaan ini seharusnya diarahkan pada orang selain terapis.
b. Katarsi adalah luapan emosi secara dramatis dan peristiwa traumatik yang seolah-olah terungkit kembali.
c. Ingatan adalah teringatnya seseorang akan sumber emosinya,akan peristiwa traumatik yang dialaminya.

2.2      TEORI KEPRIBADIAN MENURUT CARL GUSTAV JUNG
A.       TIPE KEPRIBADIAN
Carl Gustav Jung yang lahir pada tanggal 26 Juli 1875 adalah orang yang pertama merumuskan tipe kepribadiaan manusia dengan istilah ekstrovert (ekstroversi dan introversi) dan introvert, serta menggambarkan empat fungsi kepribadian manusia yang disebut dengan fungsi berpikir, pengindera, intuitif, dan perasa. Pokok kajian Jung sangat khas adalah mengenai arkhetipe-arkhetipe tiap kejadian.

Dalam teorinya, Jung membagi psyce (jiwa) atau struktur kepribadian menjadi tiga bagian, yaitu ego, alam bawah sadar personal dan alam bawah sadar kilektif  dan lain-lain.
a. Ego
Ego adalah jiwa sadar yang terdiri dari persepsi-persepsi, ingatan-ingatan, pikiran-pikiran sadar. Ego melahoirkan perasaan identitas dan kontinuitas seseorang, dan berada pada kesadaran.
b. Alam Bawah Sadar Personal
Alam bawah sadar personal adalah alam bawah sadar seperti yang dipahami orang kebanyakan , yaitu yang mencakup kenangan-kenangan yang dapat dibawa ke alam sadar  dengan mudah serta kenangan-kenangan yang ditekan karena alas an-alasan tertentu. Alam bawah sadar personal ini mencakup segala sesuatu ang tidak disadari secara langsung, tapi bisa diusahakan untuk disadari.
c. Alam Bawah Sadar Kolektif
Alam bawah sadar kolektif  adalah tumpukan pengalaman kita sebagai species, semacam pengetahuan bersama yang kita miliki sejak lahir. Akan tetapi, pengalaman ini tidak bisa kita sadari secara langsung. Ia mempengaruhi segenap pengalaman dan prilaku kita kususnya yang berbentuk perasaan, tapi hanya dapat diketahui secara tidak langsung melalui pengaruu-pengaruh yang ia timbulkan. Ketidaksadaran kolektif merupakan pondasi ras yang diwariskan dalam keseluruhan struktur kepribadian. Di atasnya dibangun aku, ketidaksadaran pribadi, dan semua hal lain yang diperoleh individu. Apa  yang dipelajari seseorang sebagai hasil dari pengalaman secara substansial dipengeruhi oleh ketidaksadaran kolektif yang melakukan peran mengarahkan atau menyeleksi tingkah laku sejak  awal kehidupan.


d.  Arkhetipe (pola dasar)
Arkhetipe adalah suatu bentuk pikiran (ide) universal yang mengandung unsure emosi yang besar. Arketipe adalah kecenderungan yang tidak dapat dipelajari untuk mengalami hal-hal tertentu melalui jalan-jalan tertentu. Bentuk pikiran ini menciptakan gambaran atau visi yang dalam kehidupan normal berkaitan dengan aspek tertentu dari situasi.
Arketipe-arketipe lain :
ü Arketipe ibu
Arketipe ini disimbolkan dengan ibu primordial atau ibu bumi mitologi, dengan hawa atau Perawan Maria dalam tradisi barat dan dengan symbol-simbol yang tidak terlalu bersosok manusia, seperti gereja, bangsa, hutan atau laut.
ü Arketipe ayah
Arketipe ini disimbolkan sebagai sosok pelindung dan peguasa.
ü Arketipe anak
ü Arketipe keluarga
ü Arketipe binatang
ü Arketipe penyihir
ü Arketipe hermaprodit
e. Persona
Persona adalah topeng yang dipakai pribadi sebagai respon terhadap tuntutan-tuntutan kebiasaan dan tradisi masyarakat, serta tuntutan tentang arketipenya sendiri atau bisa juga bahwa persona itu adalah topeng yang dipakai seseorang ketika menampilkan diri ke dunia luar. Ia merupakan peranan yag diberikan masyarakat kepada seseorang yang diharapkan dimainkan dalam hidupnya. Tujuannya adalah unutk menciptakan kesan tertentu pada orang lain dan seringkali ia melupakan hakikat kepribadian sesungguhnya. Apabila ego mengidentifikasikan diri dengan persona, maka individu menjadi lebih sadar akan bagian yang dimainkannya daripada perasaanya sesungguhnya. Ia menjasi terasing dari dirinya, dan seluruh kepribadiannya menjadi rata atau berdimensidua. Ia menjadi manusia tiruan belaka, sekedar pantulan masyarakat, bukan seorang manusia otonom.
f.  Anima dan Animus
Dalam masyarakat sekarang, kita masih dapat melihat sisa-sisa harapan tradisional ini. Kaum wanita biasanya diharapkan agar subur dan tidak terlalu agresif, sementara kaum pria diharapkan agar kuat dan tidak terlalu peduli dengan perasaan. Menurut Jung harapan-harapan ini hanya menginginkan kita untuk mau mengembangkan separuh dari potensi yang ada pada diri kita. Anima adalah sisi kewanitaan yang hadir dalam alam bawah sadar kolektif pria, sedangkan Animus adalah sisi kepriaan yang hadir dalam alam bawah sadar wanita. Anima biasanya dipersonifikasikan sebagai gadis kecil, yang spontan, dan sangat perasa, sedangkan animus dipersonifikasikan sebagai orang bijak, seorang dukun atau sekawanan pria.dengan sifat yang cenderung logis, rasionalistik dan argumentatif. 
g. Bayangan
Arketipe ini berasal dari masa pra-manusia, ketika manusia masih binatang, ketika perhatian kita masih tertuju pada soal bagaimana bertahan hidup dan berkembang biak, dan ketika kita belum memiliki kesadaran diri. arketipe iniadalaj sisi gelap ego dan tempat bercokolnya sisi jahat manusia. Pada dasarnya bayangan bersifat amoral-tidak baik, tidak buruk, persis seperti binatang. Namun ketika ini dilihat dari sudut pandang manusia, dunia binatang akan kelihatan kejam, tidak manusiawi dan dengan begitu bayangan pun dianggap sebagai sampah yang jadi bagian diri kita, namun tidak bisa kita singkirkan.
h. Diri (self)
Diri adalah tujuan hidup, suatu tujuanyang terus menerus diperjuangkan orang tetapi yang jarang tercapai. Ia memotivasikan tingkah laku manusia dn mencarikebulatan, khususnya melalui cara-cara yang disediakan oleh agama. Pengalaman religius sejati merupakan bentuk pengalaman yang paling dekat dengan ke diri (self-hood) yang mampu dicapai oleh kebanyakan manusia. Jung menemuka diri dalam penelitian-penelitian dan observasinya tentang agama Timur, dimana perjuangan kearah kesatuan dan persatuan dunia melalui praktik ritual keagamaan seperti Yoga yang jauh lebih maju daripada agama di kalangan Barat.
i.  Sikap
Jung membedakan dua sikap atau orientasi utama kepribadian, yakni sikap ekstraversi dan sikap introversi.
ü Ekstrovert adalah kecenderungan yang mengarahkan kepribadian lebih banyak keluar daripada ke dalam diri sendiri. Seorang ekstrover memiliki sifat social, lebih banyak berbuat daripada merenung dan berpikir. Ia juga adalah orang yang penuh motif-motif yang dikoordinasi oleh kejadian-kejadian eksternal. Jung percaya bahwa perbedaan tipe kepribadian manusia dimulai sejak kecil. Jung mengatakan bahwa “tanda awal dari perilaku ekstrover seorang anak adalah kecepatannya dalam beradaptasi dengan lingkungan dan perhatian yang luar biasa, yang diperankan pada objek-objek, khususnya pada efek yang diperoleh dari objek-objek itu. 

Ketakutannya pada obje-objek sangat kecil. Ia hidup dan berpindah antara objek-objek itudengan penuh percaya diri. Karena itu ia bebas bermain dengan mereka dan belajar dari mereka. Ia sangat berani. Kadang ia mengarah pada sikap ekstrem sampai pada tahap risiko. Segala sesuatu yang tidak diketahuinya selalu memikat perhatiannya. Bentuk neurotic yang sering diderita orang ekstrover adalah hysteria. Hysteria akan semakin besar dan panjang untuk menarik perhatian orang lain dan untuk menimbulkan kesan yang baik bagi orang lain. Mereka adalah orang yang suka diperhatikan, suka menganjurkan, berlebihan dipengaruhi orang lain, suka bercerita, yang kadang mengaburkan kebenaran.

ü Introvert adalah suatu orientasi kedalam diri sendiri. Secara singkat seorang introvert adalah orang yang cenderung menarik diri dari kontak social. Minat dan perhatiannya lebih terfokus pada pikiran dn pengalamannya sendiri. Seorang introvert cenderung merasa mampu dalam upaya mencukupi dirinya sendiri, sebaliknya orang ekstrovert membutuhkan orang lain.

Jung menguraikan perilaku introvert sebagai orang pendiam, menjauhkan diri dari kejadian-kejadian luar, tidak mau terlibat dengan dunia objektif, tidak senang berada di tengah orang banyak, merasa kesepian dan kehilangan di tengah orang banyak. Ia melakukan sesuatu menurut caranya sendiri, menutup diri terhadap pengaruh dunia luar. Ia oran gyang tidak mudah percaya, kadang menderita perasaan rendah diri, karena itu ia gampang cemburu dan iri hati. Ia mengahadapi dunia luar dengan suatu system pertahanan diri yang sistematis dan teliti, tamak sebagai ilmuan, cermat, berhati-hati, menurut kata hati, sopan santun, dan penuh curiga. Dalam kondisi kurang normal ia menjadi orang yang pesimis da cemas, karena dunia dan manusia sekitarnya siap menghancurkannya.

Dunianya adalah suatu pelabuhan yang aman. Tempat tinggalnya (rumah) adalah yang teraman. Teman pribadinya yang terbaik. Karena itu tidak mengherankan orang-orang introvert sering tampak sebagai orang yang cinta diri tinggi, egois, bahkan menderita patologis. Salah satu tanda introvert pada diri seorang anak  adalah reflektif, bijaksana, tenggang rasa, pemalu, bahkan takut pada objek baru. Sedangkan cirri introvert pada orang dewasa adalah kecenderungan menilai rendah hal-hal atau orang lain.

B.       FUNGSI PSIKOLOGIS KEPRIBADIAN
a. Perasaan (feeling) adalah fungsi evaluasi, ia adalah nilai benda-benda yang bersifat positif maupun neatif bagi subjek. Fungsi perasaan memberikan kepada manusia pengalaman-pengalaman subjektifnya tentang kenikmatan dan rasa sakit, amarah, ketakutan, kesedihan, kegembiraan dan cinta.
b.  Penginderaan (sensing) berarti memperoleh informasi melalui kepekaan panca indera. Orang yang peka selalu melihat dan mendengar dan secara umum ingin tahu apa yang terjadi di dunia luar.
c.  Intuisi (intuiting) adalah semecam penerapan yang cara kerjanya sangat berlainan dengan proses pencerapan sadar biasa. Ini bersifat irasional atau perceptual, seperti mengindra.
d. Berpikir (thinking) berarti penelaahan terhadap informasi atau ide-ide  secara rasional dan logis.  Jung menyebutnya dengan fungsi rasional, artinya ia terlibat jauh dalam keputusan-keputusan yang diambil.
ikiran dan perasaan disebut fungsi rasio karena mereka memakai akal, penilaian, abstraksi dan generalisasi. Mereka memungkinkan manusia menemukan hukum-hukum dalam alam semesta. Pendriaan dan intuisi dipandang sebagai fungsi irasional karena mereka didasarkan pada persepsi tentang hal yang konkret,khusus, dan aksidental.

C.         DINAMIKA KEPRIBADIAN
Dinamika kepribadian bersifat rentan terhadap pengaruh-pengaruh dan modifikasi dari luar, ia tidak akan mencapai keadaan stabil yang sempurna, hanya bisa bersifat stabil relative.
a. Energi Psikis
Energi psikis merupakan manifestasi kehidupan, yakni energi organisme sebagai system biologis. Energi psikis lahir seperti semua energi vital lain, yakni dari proses metabolic tubuh. Energi psikis tidak dapat diukur atau dirasakan, namun terungkap dalam bentuk daya-daya actual atau potensial. Keinginan, kemauan, perasaan, perhatian,dan perjuangan adalah contoh-contoh dari daya actual dalam kepribadian;disposisi, bakat, kecenderungan, kehendak hati, dan sikap adalah contoh daya potensial.
b. Prinsip Ekuivalensi
Prinsip ekuivalensi menyatakan bahwa jika energi dikeluarkan unutk menghasilkan suatu kondisi tertentu, maka jumlah yang akan dikeluarkan itu akan muncul di salah satu tempat lain dalam sistem.
Prinsip ekuivalensi menyatakan bahwa jika energi dikeluarkan dari salah satu system, misalnya ego, maka energi itu akan muncul pada suatu system yang lain, mungkin persona. Atau jika makin banyak nilai direpresikan ke dalam sisi bayang-bayang kepribadian, maka nilai itu akan tumbuh kuat dengan mengorbankan stuktur lain dalam kepribadian.
c. Prinsip Entropi
Prinsip entropi menyatakan bahwa jika dua benda yang berbeda suhunya bersentuhan maka panas akan mengalir dari benda yang suhunya lebih panas ke benda yang suhunya leih dingin. Prinsip entropi yang digunakan Jung unutk menerangkan dinamika kepribadian menyatakan bahwa distribusi energi dalam psikhe mencari keseimbangan. Misalnya orang yang terlalu ekstrovert terpaksa mengembangkan bagian introvert dari kodratnya. Kaidah umum dalam psikologi Jungian adalah setiap perkembangan yang berat sebelah akan menimbulkan konflik, tegangan, tekanan, sedangkan perkembangan yang seimbang dari semua unsur kepribadian akan menghasilkan keharmonisan, relaksasi dan kepuasan.
d. Penggunaan Energi
Seluruh energi psikis digunakan untuk keperluan kehidupannya, dan untuk pembiakan spesies. Ini merupakan fungsi instingtif yang dibawa sejak lahir seperti lapar dan seks.

D.       PERKEMBANGAN KEPRIBADIAN
Jung yakin bahwa manusia tetap berkembang atau berusaha berkembang dari tahap perkembangan yang kurang sempurna ke tahap perkembangan yang lebih sempurna.
a. Kausalitas versus Teleologi
Menurut pandangan ini, kepribadian manusia dipahami menurut ke mana ia pergi bukan di mana ia telah berada. Sebaliknya masa sekarang dapat dijelaskan oleh masa lampau,peristiwa sekarang adalah hasil akibat atau pengaruh dari keadaan sebelumnya. Masa sekarang tidak hanya ditentukan oleh masa lampau (kausalitas) tetapi ditentukan juga oleh masa depan (teleologi).
b. Sinkronisitas
Prinsip itu diterapkan pada peristiwa-peristiwa yang terjadi pada saat yang sama, tetapi peristiwa itu tidak disebabkan oleh peristiwa yang lain. Misalnya orang berpikir tentang seseorang lalu orang itu muncul, atau orang bermimpi tentang sakit atau kematian sanak keluarganya, kemudian ia mendengar peristiwa itu terjadi bersamaan dengan mimipinya itu. Jung menunjuk banyak literature tentang telepati jiwa, kewaskitaan, dan tipe-tipe lain sebagai bukti prinsip sinkronisitas.
c. Hereditas
Bagi Jung insting alamiah manusia diwariskan oleh para leluhurnya berkali-kali dan telah melewati berbagai generasi. Potensi yang diwariskan ini memiliki ragam penglaman yang sama seperti leluhur dalam bentuk arkhetipe-arkhetipe.
d. Tahap-tahap perkembangan
Dalam tahun-tahun paling awal, libido disalurkan dalam kegiatan-kegiatan yang diperlukan supaya tetap hidup. Sebelum usia lima tahun, nilai-nilai seksual mulai tampak dan mencapai puncakanya selama masa adolesen. Dalam masa muda seseorang dan awal-awal tahun dewasa, insting kehidupan dasar dan proses vital meningkat. Orang muda adalah penuh semangat, giat, impulsive, penuh gairah, dan masih banyak tergantung pada orang lain. Inilah periode kehidupan dimana orang belajar bekerja, kawin dan mempunyai anak-anak dan menjadi mapan dalam kehidupan masyarakat.

Ketika individu mencapai usia akhir 30-an atau awal40-an terjadi perubahan nilai yang radikal. Minat-minat dan segala sesuatu yang dikejar pada masa muda kehilangan nilainya dan diganti oleh minat-minat baru yang lebih berbudaya dan kurang biologis. Orang yang berusia setengah baya menjadi lebih introvert dan kurang impulsive. Kebijaksanaan dan kecerdasan menggantikan gairah fisik dan kejiwaan. Nilai-nilai individu diterapkan dalam kegiatan social, agama, kenegarawan, filosofis . Orang menjadi lebih spiritual.


2.3 TEORI KEPRIBADIAN MENURUT JEAN PIAGET
A. HAKIKAT TEORI JEAN PIAGET
Dengan sedikit bahan – bahan yang berhasil dikumpulkan dalam penelitian – penelitian awalnya, akhirnya Jean Piaget berkesempatan menamai bidang yang jadi focus perhatiannya tersebut. Dia menyabutnya dengan epistemology genetic, yang berarti studi tentang perkembangan pengetahuan manusia.

Dia mengatakan, umpamanya, bahwa sejak usia belita, seseorang telah memiliki kemampuan tertentu untuk menghadapi objek – objek yang ada disekitarnya. Kemampuan ini memang sangat sederhana, yakni dalam bentuk kemampuan sensor-motorik, namun dengan kemampuan inilah balita tadi akan mengoksplorasi lingkungannya dan menjadikannya dasar bagi pengetahuan tentang dunia yang akan dia peroleh kemudian serta akan berubah menjadi kemampuan – kemampuan yang lebih maju dan rumit. Kemampuan – kemampuan ini disebut Piaget dengan skema.

Sebagai contoh, seorang anak tentu tahu bagaimana cara memegang mainannya dam membawa mainan itu ke mulutnya. Dia dengan mudah dapat membawakan skema ini. Lalu ketika dia bertemu dengan benda lain dia dengan mudah dapat menerapkan skema “ambil dan bawa ke mulut” tadi terhadap benda lain tersebut. Inilah yang disebut Piaget dengan asimilasi, yakni pengasimilasian objek baru kepada skema lama.

Ketika anak tadi bertemu lagi dengan benda lain dia akan tetap menerapkan skema “ambil dan bawa ke mulut” tadi. Tentu skema ini tidak akan berlangsung dengan baik, karena bendanya sudah jauh berbeda. Oleh sebab itu, skema pun harus menyesuaikan diri dengan objek yang baru. Dalam contoh ini, mungkin “meniup atau mendorong” adalah skema yang lebih cocok untuk objek yang baru. Inilah yang disebut akomodasi, yakni pengakomodasian skema lama terhadap objek baru.
Asimilasi dan akomodasi adalah dua bentuk adaptasi, istilah Piaget yang barangkali mirip dengan apa yang kita sebut dengan pembelajaran. Akan tetapi, dia mengartikan adaptasi lebih luas dari sekedar proses pembelajaran. Dia melihatnya sebagai sebuah proses yang benar – benar bersifat biologis. Setiap makhluk hidup mesti beradaptasi, termauk yang tidak memiliki system saraf.

Cara kerja asimilasi dan akomodasi sama seperti gerak bolak – balik pendulum dalam memperluas pemahaman dan kemampuan kita mengolah dunia sekitar. Menurut Piaget, keduanya bertugas menyeimbangkan struktur pikiran dengan lingkungan, menciptakan porsi yang sama antara keduanya. Tahap ini disebut Piaget dengan akuilibrium. Dalam penelitian – penelitiannya terhadap anak – anak, Piaget mencatat adanya periode dimana asimilasi lebih dominan, periode dimana akomodasi lebih dominan, dan periode dimana keduanya mengalami keseimbangan.

B. TAHAP-TAHAP PERKEMBANGAN KOGNITIF
1. Tahap Sensor-Motorik
Rentang waktu adalah dari kelahiran sampai usia dua tahun. Tahap ini berarti seorang bayi yang menggunakan indra dan kemampuan motoriknya untuk memahami dunia, yang memulai dengan rangsangan – rangsangan refleksi yang diterima pancainderanya sampai kombinasi kemampuan sensor-motorik yang lebih kompleks.

Di usia 1 sampai 4 bulan, seorang bayi mengandalkan tindakan atau gerakan yang dia buat sebagai respon dari tindakan sebelumnya dengan bentuk yang sama. Misalnya, seorang bayi yang menghisap jempolnya karena dia merasa nyaman dengan tindakan itu, maka dia melakukannya terus. Di usia 4 samapi 12 bulan, beralih pada tindakan – tindakan yang berusaha terlibat dengan lingkungan sekitar. Dia berusaha mempelajari “prosedur dan cara kerja” sesuatu yang dapat menyenangkan hatinya dan mengusahakan agar terus bertahan.
Sampai disini, hal lain mulai muncul kepermukaan. Sebagai contoh, bayi tadi mulai mengerti “tipuan” seperti permainan ci luk ba, walau dia tahu bahwa harus ada orang yang memberi tipuan kepadanya. Ini adalah kemampuan untuk mengingat objek secara permanen, artinya jika kita tidak data melihat sesuatu, bukan berarti sesuatu hilang.

Di usia 12 sampai 24 bulan anak – anak mempergunakan reaksi yang masih berisi lingkaran “mempertahankan hal – hal yang menarik”, tetapi dengan variasi yang relative tetap. Eksperimen aktif (seperti memukul drum dengan stik) harus dilihat pada waktu memberinya makan, dengan memberikannya cara baru yang lebih menarik pada saat melemparkan sendok, piring dan makanan.

Ketika bayi berusia setu setengah tahun sedang mengalami perkembangan representasi mental, yaitu kemampuan mempertahankan citraan dalam pikirannya untuk jangka waktu yang lebih lama dari pada sekedar periode pengalaman langsung ketika mencerap sesuatu yang ada di depannya.

2.  Tahap Praoperasional
Seorang anak mengalami tahap pra-oerasional ketika dia nerusia 2 sampai 7 tahun. Dia telah mampu mempergunakan symbol – symbol atau memiliki pertimbangan yang lebih baik. Symbol adalah sesuatu yang mempresentasikan sesuatu yang lain. Contoh utama dari penggunaan symbol ini adalah penggunaan bahasa, dan yang lebih tepat adalah permainan kreatif. Dengn memanipulasi symbol (penghapus mempresentasikan kue, kertas mempresentasikan piring, dll) pada dasarnya anak di usia ini sedang berpikir dengan cara yang belum mampu dilaksanakan anak – anak yang usianya lebih muda, yaitu berpikir tentang sesuatu yang tidak hadir nyata di depan mata. Jadi, pemahaman tentang asa lalu dan masa yang akan datang semakin jelas.

Sebagai contoh, jika seorang anak menangis karena ibunya pergi, kita akan menghibur dengan berkata, “Ibu sebentar lagi asti pulang”, dan dia akan berhenti menangis. Atau jika kita bertanya tentang pengalaman buruknya, “Ingat ketika kamu jatuh kemarin?”, dengan serta merta wajahnya akan berubah sedih. Dapat diketahui dari tahap ini anak – anak bersifat sangat egosentris, artinya dia cenderung hanya melihat  sesuatu dari sudut pandangnya sendiri.

Penyelidikan Piaget terhada fenomena ini disebut the mountains study. Dia menyuruh seorang anak duduk didepan gunung – gunungan dan dia sendiri duduk disisi yang berlawanan dengan anak itu. Anak – anak yang usianya lebih muda akan menggambar gunung berdasarkan sudut pandang dia sendiri, sementara anak yang lebih tua akan menggambarrnya sesuai perintah. Ketika berhadapan dengan masalah atau berkomunikasi, anak – anak yang lebih muda hanya terpaku pada satu topic. Contohnya jika kia meyuguhkan 5 butir kelereng hitam dan 3 kelereng putih dan bertanya, “Apakah sekarang jumlah kelereng lebih banyak atau kelereng hitam yang lebih banyak”. Mereka akan menjawab kelereng hitam lebih banyak.

Contoh yang paling terkenal dari tahap pra-operasional adalah apa yang disebut Piaget sebagai ketidakmampuan anak – anak  mempertahankan ingatan tentang jumlah beenda cair. Disaat ini, seorang anak akan berusaha mengembangkan kemampuan untuk mengilangkan egosentrinya agar bisa memasuki tahap berikutnya.

3.  Tahap Operasi Konkret
Tahap ini terjadi ketika anak berusia 7 sampai 11 tahun. Ditahap ini, seorang anak tidak hanya menggunakan symbol – symbol dalam kerangka presentasi, tapi juga mamp memanipulasikannya berdasarkan logika serta menjalankan prinsip – prinsip terssebut dalam konteks situasi konkret. Tahap ini dimulai dengan apa yang disebut Piaget dengan progressive decentering.

Saat berusia 6 sampai 7 tahun, sebagian besar anak telah memiliki kemampuan untuk mempertahankan ingatan tentang ukuran, panjang atau jumlah benda cair, maksudnya gagasan bahwa satu kuantitas akan tetap sama walaupun penampakan luarnya terlihat berubah.

Diusia 7 sampai 8 tahun, seorang anak akan mengembangkan kemampuan untuk mempertahankan ingatan tentang substansi. Jika saya mengambil tanah liat yang berbentuk bola kemudian memencetnya jadi pipih atau dipecah – pecah menjadi 8 bola yang lebih kecil, dia pasti tahu bahwa itusemua masih tanah liat yang sama bahkan ketika tanah liat itu dibentuk apapun. Ini diebut proses keterbalikan.

Diusia 9 atau 10 tahun, kemampuan terakhir dalam mempertahankan ingatan mulai diasah, yaitu ingatan tentang ruang. Disamping itu, dalam tahap ini seorang anak juga belajar melakukan pemilahan (classification) dan pengurutan (seriation). Pengurutan adalah menempatkan sesuatu dalam sebuah susunan dan urutan. Ditahap ini, anak – anak tidak lagi memiliki kendala dalam melaksanakan tugas karena aritmatika sebenarnya tidak lain adalah proses pengklasifikasian dan pengurutan. Dengan begitu, anak sudah siap dibekali dengan pendidikan formal.

4.  Tahap Operasi Formal
Anak – anak yang berada dalam tahap operasi konkret masih mengalami kesulitan menerapkan kemamuan logika yang baru dikuasai terhadap peristiwa – peristiwa yang tidak konkret atau abstrak. Andaikata seorang ibu berkata pada anak balitanya, “Sayang, seharusnya kau tidak mencubiti tubuh temanmu. Bagaimana perasaanmu kalau seseorang berbuat seert itu padamu?” Mungkin dia akan menjawab ibunya dengan mengatakan, “Aku tidak punya tubuh besar seperti dia” Pelajaran sesederhana ini pun masih terlalu abstrak bagi anak – anak yang masih pada tahap operasi konkret, karena terlalu bersifat hipotesis bagi tahap pemikirannya.

Meskipun demikian, kita jangan terlalu gegabah menyalahkan hasil pengelolaan operasi konkret dari seorang anak,  karena orang dewasa pun terkadang kebingungan juga ketika berhadapan dengan sesuatu yang bersifat hipotesis.

Ketika menginjak usia 12 tahun dan seterusnya kita telah memasuki tahap operasi formal. Ditahap ini kita semakin memiliki kemampuan untuk seperti orang dewasa. Tahap ini mencakup kematangan prinsip – prinsip logika dan menggunakannya untuk menyelesaikan persoalan – persoalan abstrak, yang sring disebut dengan pemikiran hipotetik. Contoh anak – anak yang masih berada ditahap operasi konkret belum bisa menyelesaikannya yaitu dalam permainan kartu yang salah satu sisinya berisi huruf dan satunya lagi berisi angka diberlakukan peraturan: “Jika sebuah kartu berisi huruf vocal, maka angka yang ada disisi lainnya adalah bilangan genap."

Seperti inilah cara kerja tahap operasi formal yang memungkinkan seseorang menyelidiki sebuah masalah dengan seksama dan sistematis. Tanyalah seorang remaja berusia 16 tahun tentang bagaimana caranya agar sebuah pendulum bergerak lebih cepat atau lebih lambat. Dia mungkin mengusulkan langkah – langkah yang harus ditempuh untuk menjawab pertanyaan tersebut seperti berikut ini:
Pertama, kita lihat seberapa cepat gerakannya jika gantungannya lebih panjang dan bandulannya lebih ringan. Lalu kita coba dengan gantungan yang panjang dan bandulannya lebih berat. Selanjutnya kita coba pula dengan gantungan yang lebih pendek dan bandulan yang lebih ringan. Terakhir, kita coba dengan gantungan yang pendek dan bandulan yang berat.

Eksperiment ini akan memberitahu dia bahwa gantungan yang pendek akan menyebabkan gerakan menjadi lebih cepat, sebaliknya gantungan yang panjang akan memperlambat gerakan pendulum, dan itu berarti berat pendulum tidak punya pengaruh pada kecepatan geraknya.


Di usia remaja, orang mulaibelajar mengelompokkan berbagai kemungkinan dalam empat cara berbeda yaitu:
·  Dengan konjungsi:
“A dan B pasti mengakibatkan hasil yang berbeda”. (Misalnya panjang gantungan dan berat pendulum).
·  Dengan disjungsi:
“Kalau tidak ini, pasti itu”. (Misalnya, jika tidak panjang gantungan ,pasti berat pendulum yang mempengaruhi cepat geraknya).
·  Dengan implikasi:
“Jika ini terjadi, maka itu juga terjadi”. (Ini berkaitan dengan pembentukan hipotesis).
·  Dengan inkompatibilitas (ketidaksebandingan):
“Ketika ini terjadi, maka itu tidak akan terjadi”. (Ini berkaitan dengan embatasan hipotesis).

Di puncak semua itu, dia kemudiaan bisa menerapkan prinsip – prinsip tadi , yaitu level pengelompokkan yang lebih tinggi. Jika kita dihadapkan pada satu proposisi, misalnya “Yang tadi penyebabnya adalah panjang gantungan atau bisa pula berat bandulan”, kita dapat menyelesaikan proposisi ini dengan empat cara berbeda pula, yaitu:
a. Identitas: dengan membiarkan apa adanya. “Yang menjadi penyebabnya adalah panjang gantungan atau berat bandulannya”.
b.  Negasi: dengan menegasi komponen proposisi itu dan menukar kata “atau” dengan “dan” atau sebaliknya. “Yang menjadi penyebabnya bukan panjang gantungan dan bukan pula berat bandulannya”.
c.  Resiprositas (hubungan timbal balik): dengan menegasi komponen dan teta mempertahankan kata “dan” dan “atau”. “Yang menjadi penyebabnya bukan berat bandulan atau yang menjadi penyebabnya bukan panjang gantungan”.
d. Korelativitas (keterkaitan): komponen proosisi tidak dinegasi, akan tetapi kata “atau” ditukar dengan “dan” atau sebaliknya. :Yang menjadi penyebabnya adalah berat bandulan dan panjang gantungan”.

Orang dengan operasi formal yang berkembang baik dan memahami bahwa korelasi dari hal yang timbal – balik sebenarnya adalah negasi bahwa; hubungan timbal – baik dari korelasi; bahwa negasi dari korelasi adalah hubungan timbal – balik; dann negasi dari korelasi yang timbale balik adalah identitas.

Mungkin hal ini telah kita alami, akan tetapi tahap operasi formal belum tentu dilewati setiap orang. Ada diantara kita yang tidak menerapkan operasi ini. Bahkan ada kebudayaan tertentu yang tidak mengembangkannya sama sekali atau tidak menganggapnya begitu penting. Penalaran abstrak sama sekali bukan sesuatu yang universal.

2.4  TEORI KEPRIBADIAN MENURUT ALBERT ELLIS
A.    HAKIKAT TEORI ALBERT ELLIS
 Teori Albert Ellis dapat dilihat dari buku pertamanya tentang REBT (Rational Emotive Behavioral Therapy) yang berjudul How to Live With a Neurotic tahun 1957.REBT dimulai dengan ABCDE yang artinya A adalah activating experiences atau pengalaman-pengalaman pemicu,seperti kesulitan-kesulitan keluarga,kendala-kendala pekerjaan,trauma-trauma masa kecil dan hal-hal lain yang kita anggap sebagai ketidakbahagiaan.B adalah beliefs,yaitu keyakinan-keyakinan,terutama yang bersifat irasional dan merusak diri yang merupakan sumber ketidakbahagiaan kita.C adalah conse-quence,yaitu konsekuensi-konsekuensi berupa gejala neurotik dan emosi-emosi negatif seperti panik,dendam,dan amarah karena depresi yang bersumber dari keyakinan-keyakinan kita yang keliru.Walaupun pemicunya adalah pengalaman-pengalaman nyata dan memang benar-benar menyebabkan penderitaan,namun sesungguhnya keyakinan irasional kitalah yang memperumit dan memperbesar persoalan.Dan D adalah dispute,yaitu harus melawan keyakinan-keyakinan irasional.E adalah effects yaitu menikmati dampak-dampak psikologis positif dari keyakinan-keyakinan rasional.

Sebagai contoh,”orang depresi merasa sedih dan kesepian karena dia keliru berpikir bahwa dirinya tidak pantas dan merasa tersingkir”.  Padahal,penampilan orang depresi sama saja dengan orang yang tidak mengalami depresi.Jadi,seorang terapis harus membuktikan pada orang yang depresi ini bahwa dirinya juga memilki kemampuan dan bisa meraih kesuksesan-kesuksesan hidup serta berupaya meruntuhkan keyakinan akan ketidakmampuan yang ada di dalam dirinya.Tugas seorang terapis bukanlah menyerang perasaan sedih dan kesepian yang dialami orang depresi,melainkan menyerang keyakinan mereka yang negatif terhadap diri sendiri.
 Ada beberapa jenis “pikiran-pikiran yang keliru” yang biasanya diterapkan orang, diantaranya:
1.Mengabaikan hal-hal yang positif.
2.Terpaku pada yang negatif,dan akhirnya.
3.Terlalu cepat menggeneralisasi.

B.     DUA BELAS IRASIONAL yang MENYEBABKAN NEUROSIS
Dua belas irasional yang menyebabkan dan memperparah neurosis.
1.
Ide bahwa setiap orang dewasa pasti merasa ingin dicintai orang lain atas segala yang dia lakukan bukannya gagasan yang memefokuskan perhatian pada apa yang dia lakukan demi mencapai tujuan-tujuan praktis demi kepentingan orang lain,atau gagasan untuk mencintai orang lain ketimbang selalu menuntut cinta dari orang lain.
2. Ide bahwa ada tindakan-tindakan tertentu yang jelek dan merusak, dan pelakunya mesti dikecam karena tidak tahu malu-bukannya gagasan bahwa tindakan-tindakan tertentu ada yang merugikan diri sendiri atau anti-sosial.dan pelakunya pastilah tidak punya pertimbangan yang  sehat, masa bodoh atau neurotik dan mereka ini seharusnya dibantu mengubah diri. Buruknya tindakan seseorang belum tentu meneyebabkanya menjadi individu yang tidak berguna.
3. Ide bahwa “dunia akan kiamat” kalau segala sesuatunya tidak berjalan sesuai rencana-bukanya gagasan bahwa walaupun sesuatu berjalan tidak sesuai keinginan,namun akan lebih baik kalau kita berusaha menubah atau  mengatur kondisi buruk tersebut sedemikian rupa sehingga setelah itu besar kemungkinan kita akan berhasil mengatasi segala kesulitan.Kalaupun kemungkinan itu tidak ada,kita pun lebih baik bersabar menerima kenyataan dan tetap berusaha mencari jalan keluar.
4. Ide bahwa hal-hal yang membuat manusia menderita pasti datang dari luar dan ditimpakan pada  diri kita oleh orang lain-bukannya gagasan bahwa sikap neurotik itu disebabkan oleh pandangan-pandangan kita sendiri akibat kondisi yang tidak menguntungkan di sekeliling kita.
5. Ide kalau satu hal sangat menakutkan atau berbahaya,maka kita seharusnya sangat terobsesi dengan hal itu-bukannya gagasan bahwa kita seharusnya dengan tabah menghadapi keadaan itu dan memandangnya sebgai bukan akhir dari segala-galanya.
6. Ide bahwa lebih mudah menghindar dari kesulitanhidup dan tanggung jawab ketimbang, berusaha menghadapi dan menaklukannya-bukannya berpegang pada gagasan bahwa jalan yang mudah pada akhirnya akan menyusahkan diri sendiri.
7. Ide bahwa kita membutuhkan sesuatu yang lebih kuat atau lebih besar dari diri kita sendiri yang dapat dijadikan pegangan-bukannya gagasan bahwa lebih baik bepikir dan bertindak sesuai kehendak sendiri dengan apa pun risikonya.
8. Ide bahwa ketika harus selalu punya kemampuan dan kecerdasan serta selalu berhasil mengelolanya dengan baik-bukannya gagasan bahwa lebih baik bertindak sesuai dengan kemampuan ketimbang hanya punya keinginan melakukan hal terbaik dan tidak mau menerima kenyataan bahwa diri kita adalah makhluknyang tidak sempurna dan pasti melakukan kesalahan.
9. Ide bahwa ketika satu peristiwa,peristiwa tersebut pasti berbekas dan memengaruhi kehidupan kita selamanya-bukannya gagasan bahwa apa yng terjadi di masa lalu mesti dijadikan pelajaran buat hari ini dan masa yang akan datang,serta tidak terlalu terpaku pada peristiwa yang lalu.
10. Ide bahwa kita harus mengatur sesuatu dengan baik-sebagai pengganti dari gagasan bahwa dunia ini penuh dengan kemungkinan-kemungkinan tak terduga dan kita tetap bisa menjalani kehidupan dengan segala kemungkinan ini.
11.
Ide bahwa kebahagiaan bisa dicapai dengan bakat alami yang ada dalam diri seseorang sejak lahir dan kebahagiaan itu ditujukan untuk diri sendiri-bukannya gagasan bahwa keinginan kita untuk bahagia ditentukan oleh kemauan kita mencapai tujuan secara kreatif atau selalu berusaha memproyeksikan  usaha mencapai kebahagiaan itu keluar.
12. Ide bahwa kita pada akhirnya tidak dapat menguasai perasaan sendiri dan perasaan kecewa terhadap sesuatu pasti tidak bisa dielakkan-bukannya gagasan bahwa kita sebenarnya mampu  mengontrol  perasaan-perasaan buruk jika kita mampu mengubah pengandaian-pengandaian yang menyebabkan lahirnya perasaan-perasaan buruk itu. (Diambil dari the Essence of Rational Emotive Behavior Therapy karangan Albert Ellis,Ph.D,1994). Secara ringkas,Ellis mengatakan bahwa ada tiga keyakinan-keyakinan irasional:
1.”Saya harus punya kemampuan sempurna,atau saya akan jadi orang yang tidak yang berguna”.
2.”Orang lain harus memahami dan memepertimbangkan saya,atau mereka akn menderita”.
3.”Kenyataan harus memberi kebahagiaan pada saya,atau saya akan binasa”.
Para terapis harus menggunakan kemampuannya unuk menentang keyakinan-keyakinan semacam ini.Akan lebih baik lagi kalau dia mampu mengarahkan kliennya mencari argumen untuk membantah keyakinan irasional yang telah dipegangnya selama ini.

C. KERELAAN MENERIMA DIRI SEDIRI
Ellis berulang kali menegaskan bahwa betapa pentingnya “kerelaan menerima diri-sendiri”.Dia mengatakan ,dalam REBT,tidak seorang pun yang akan disalahkan,dilecehkan,apalagi dihukum atas keyakinan atau tindakan mereka yang keliru. Kita harus menerima diri sebagaimana adanya,
menerima sebagaimana apa yang kita capai dan hasilkan.

Salah satu pendekatan yang ditawarkan Ellis untuk para terapis adalah mengetahui nilai tersembunyi dalam diri klien sebagai seorang manusia.Nilai manusia hanya bisa muncul ketika manusia itu mau menjalani hidup.Ellis berpendapat bahwa evaluasi diri yang keterlaluan akan meneyebabkan depresi dan represi ,sehingga orang akan mengingkari perubahan.Yang harus dilakukan manusia demi kesehatan jiwanya adalah berhenti menilai-nilai diri sendiri.

Artinya, pendekatan apapun yang menempatkan tanggung jawab ke pundak diri individual beserta keyakinan yang dipegangnya lebih mirip dengan pendekatan REBT-nya Ellis ini.

2.5 TEORI KEPRIBADIAN MENURUT B. F. SKINNER
A.    TEORI KEPRIBADIAN BEHAVIORALISTIK MENURUT PANDANGAN  SKINNER
a. Asumsi Dasar Behavioristik
Skinner bekerja dengan tiga asumsi dasar, dimana asumsi pertama dan kedua pada dasarnya menjadi psikologi pada umumnya, bahkan menjadi asumsi semua pendekatan ilmiah:
1.   Tingkah laku itu mengikuti hukum tertentu (Behavior is lawful). Ilmu adalah usaha untuk menemukan keteraturan, menunjukkan bahwa peristiwa tertentu berhubungan secara teratur dengan peristiwa lain. (Alwisol,2005:400).
Tingkah laku merupakan hasil pengaruh timbal balik dari variable-variabel tertentu yang dapat diidentifikasikan, yang sepenuhnya menentukan tingkah laku. Tingkah laku individu seluruhnya merupakan hasil dari dunia objektif. (A.Supratiknya,1993:317-318).
Asumsi bahwa seluruh tingkah laku berjalan menurut hukum jelas mengandung implikasi tentang kemungkinan mengontrol tingkah laku. Skinner tidak banyak tertarik pada aspek-aspek tingkah laku yang sangat sukar berubah, misalnya aspek-aspek tingkah laku yang terutama dikuasai oleh warisan hereditas. (A.Supratiknya,1993:320).
2.  Tingkah laku dapat diramalkan (Behavior can be predicted). Ilmu bukan hanya menjelaskan tetapi juga meramalkan. Bukan hanya mengenai peristiwa masa lalu tetapi juga masa yang akan datang. Teori yang berdaya guna adalah yang memungkinkan dapat dilakukannya prediksi mengenai tingkah laku yang akan datang dan menguji prediksi itu. (Alwisol,2005: 400).
3.  Tingkah laku dapat dikontrol (Behavior can be controlled). Ilmu dapat melakukan antisipasi dan menentukan/membentuk tingkah laku seseorang. Skinner bukan hanya ingin tau bagaimana terjadinya tingkah laku, tetapi Skinner sangat berkeinginan memanipulasinya.. (Alwisol,2005:400-401).
Skinner menganggap kemampuan memanipulasi kehidupan dan tingkah laku manusia-keberhasilan mengontrol kejadian atau tingkah laku manusia merupakan bukti kebenaran suatu teori. Lebih penting lagi tingkah laku manusia harus dikontrol karena Skinner yakin manusia telah merusak dunia yang di tinggalkannya dengan memakai ilmu dan teknologi dalam memecahkan masalahnya.

Skinner memahami dan mengontrol tingkah laku memakai teknik analisis fungsional tingkah laku (functional analysis of behavior): suatu analisis tingkah laku dalam bentuk hubungan sebab akibat, bagaimana suatu respon timbul mengikuti stimulus atau kondisi tertentu. Menurutnya analisis fungsional akan menyingkap bahwa penyebab terjadinya tingkah laku sebagaian besar berada di event antesedennya atau berada di lingkungan. Skinner yakin bahwa tingkah laku dapat diterangkan dan dikontrolkan semata-mata dengan memanipulasi lingkungan dimana organisme yang bertingkah laku itu berada.(Alwisol,2005:401)


b. Struktur Kepribadian Behavioristik
Skinner adalah tokoh yang tidak tertarik dengan struktural dari kepribadian. Menurutnya, mungkin dapat diperoleh ilusi yang menjelaskan dan memprediksi tingkah laku berdasarkan faktor-faktor tetap dalam kepribadian, tetapi tingkah laku hanya dapat diubah dan dikontrol dengan mengubah lingkungan. Jadi Skinner lebih tertarik dengan aspek yang diubah-ubah dari kepribadian alih-alih aspek struktur yang tetap. (Alwisol,2005:402).

Skinner memusatkan diri pada tingkah laku yang dapat diubah. Karena itu, ia kurang tertarik pada ciri-ciri tingkah laku yang tampaknya relative tetap. Prediksi dan penjelasan bisa dicapai lewat pengetahuan tentang aspek-aspek kepribadian yang bersifat tetap dan dapat diubah. Tetapi kontrol hanya bisa dicapai lewat modifikasi; kontrol mengimplikasikan bahwa lingkungan dapat diubah untuk menghasilkan pola-pola tingkah laku yang berbeda. Akan tetapi Skinner tidak pernah menyatakan bahwa semua faktor yang menentukan tingkah laku ada dalam lingkungan.

Skinner juga mengakui bahwa sejumlah tingkah laku memiliki dasar genetik semata-mata, sehingga pengalaman tidak akan berpengaruh terhadap tingkah laku itu. Skinner melihat persamaan antara dasar hereditas atau bawaan dan dasar lingkungan dari tingkah laku, Skinner mengemukakan bahwa proses evolusi membentuk tingkah laku spesies yang bersifat bawaan sama seperti tingkah laku-tingkah laku individu yang dipelajari dibentuk oleh lingkungan. (A.Supratiknya,1993:326-327).

Unsur kepribadian yang dipandang Skinner relative tetap adalah tingkah laku itu sendiri. Ada dua klasifikasi tipe tingkah laku: (Alwisol;2005:402)
a. Tingkah laku responden (respondent behavior); respon yang dihasilkan organisme untuk menjawab stimulus yang secara spesifik berhubungan dengan respon itu. Respon reflex termasuk dalam komponen ini, seperti mengeluarkan air liur ketika melihat makanan, mengelak dari pukulan dengan menundukkan kepala, merasa takut waktu ditanya guru, atau merasa malu waktu dipuji.
b.  Tingkah laku operan (operant behavior); respon yang dimunculkan organisme tanpa adanya stimulus spesifik yang langsung memaksa terjadinya respon itu. Terjadi proses pengikatan stimulus baru dengan respon baru.
Dalam memformulasi sistem tingakah laku, Skinner membedakan dua tipe respons tingkah laku, yakni responden dan operan. Dalam arti singkatnya, tingkah laku responden adalah suatu respons yang spesifik yang ditimbulkan oleh stimulus yang dikenal, dan stimulus itu selalu mendahui respon. Contoh tingkah laku respoden itu anatara lain menggigil karena kedinginan, stimulus udara dingin, sedangkan responnya adalah menggigil. Pada tingakah laku responden juga bisa dilihat bahwa stimulus yang sama akan menimbulkan respons yang sama pada semua organisme dari species yang sama, serta tingkah laku responden  itu biasanya menyertakan refles-refleks yang melibatkan sistem otonom.

Skinner tidak yakin bahwa porsi utama dari tingkah laku manusia terdiri dari refles-refleks sederhana ataupun respons-respons yang diperoleh melalui pengkondisian klasik. Sebaliknya Skinner yakin bahwa tingkah laku manusia itu sebagian besar terdiri dari respon-respon kategori kedua, yakni tingkah laku operan. Tingkah laku operan menurut Skinner diperoleh melalui pengkondisian operan atau instrumental, ditentukan oleh kejadian yang mengikiti respons. Artinya dalam tingkah laku operan konsekuensi atau hasil dari tingkah laku akan menentukan kecenderungan organisme untuk mengulang ataupun menghentikan tingkah lakunya itu dimasa yang akan datang. Jika hasil yang diperoleh oraganisme melalui tingkah lakunya itu positif, maka organisme akan mengulang ataupun mempertahankan tingkah lakunya itu. Sebaliknya jika hasil dari tingkah laku itu negative, maka tingkah laku tersebut oleh oraganisme akan dihentikan atau tidak diulang.  Untuk memperjelas pemahaman mengenai tingkah laku operan, kita bisa mengambil contoh dari kehidupan sehari-hari berupa pengkondisian operan dari tingkah laku atau respons menangis pada anak kecil.

Konsep perkuatan yang digunakan dalam pengkondisian operan ini menduduki peranan kunci dalam teori Skinner. Skinner mengemukakan bahwa ia menemukan kemungkinan menggunakan jadwal-jadwal perkuatan tidak tetap secara kebetulan, yakni sebagai hasil dari penyelesaian kesulitan praktis yang dihadapinya. Jadwal perkuatan semacam ini, yang disebut perkuatan sinambung, bisa digunakan pada permulaan pengkondisian operan. (E.koswara,1991:78-83)

Menurut Skinner variabilitas intensita tingkah laku itu dapat dikembalikan kepada variable lingkungan. Konsep motivasi yang menjelaskan variabilitas tingkah laku dalam situasi yang konstan bukan fungsi dari keadaan energi, tujuan, dan jenis penyebab semacamnya.

c. Dinamika Kepribadian Behavioristik
1.   Kepribadian dan Belajar
Kepedulian utama dari Skinner adalah mengenai perubahan tingkah laku. Jadi hakikat teori Skinner adalah teori belajar, bagaimana individu menjadi memiliki tingkah laku baru, menjadi lebih terampil, menjadi lebih tahu. Kehidupan terus-menerus dihadapkan dengan situasi eksternal yang baru, dan organisme harus belajar merespon situasi baru itu memakai respon lama atau memakai respon yang baru dipelajari. Dia yakin bahwa kepribadian dapat difahami dengan mempertimbangkan pertimbangan tingkah laku dalam hubungannya yang terus menerus dengan lingkungannya.
Cara efektif untuk mengubah dan mengontrol tingkah laku adalah dengan melakukan penguatan, suatu strategi kegiatan yang membuat tingkah laku tertentu berpeluang untuk terjadi atau sebaliknya pada masa yang akan datang. Konsep dasarnya sangat sederhana yakni bahwa semua tingkah laku dapat dikontrol oleh konsekuensi tingkah laku itu. (Alwisol,2005:403).
2.   Generalisasi dan Deskriminasi Stimulus
Generalisasi stimulus adalah proses timbulnya respon dari stimulus yang mirip dengan stimulus yang mestinya menimbulkan respon itu. Sedangkan diskriminasi stimulus adalah kemampuan untuk membedakan stimulus, sehingga stimulus itu tidak diberi respon, walaupun mirip dengan stimulus yang diberi penguat. Generalalisasi dan diskriminasi sangat penting sebagai sarana belajar, karena kalau keduanya tidak ada, orang tidak belajar sama sekali. Kita selalu belajar dari permulaan, dan kita terus menerus akan belajar tingkah laku baru kalau tidak ada generalisasi, karena tidak ada orang yang dapat berada dalam situasi yang sama persis dan melakukan respon yang sama persis pula.

Menurut Skinner, generalisasi stimulus itu memiliki arti penting bagi integritas tingkah laku individu. Tanpa adanya generalisasi stimulus, tingkah laku  individu akan terbatas dan tidak terintegritas, yang menyebabkan individu tersebut harus selalu mengulang-ulang pembelajarannya, bagaiman bertingkah laku secar layak. Disamping generalisasi stimulus, menurut Skinner individu mengembangkan tingkah laku adaptif atau penyesuaian diri melalui kemampuan membedakan atau diskriminasi stimulus. Deskriminasi stimulus merupakan kebalikan dari generalisasi stimulus, yakni suatu proses belajar bagaimana merespons secara tepat terhadap berbagai stimulus yang berbeda. Menurut Skinner, kemampuan mendiskriminasikan stimulus itu pada setiap orang tidaklah sama. (E.Koswara,1991: 94-95)
3.   Tingkah Laku Kontrol Diri
Prinsip dasar pendekatan Skinner adalah: Tingkah laku disebabkan dan dipengaruhi oleh variable eksternal. Tidak ada sesuatu dalam diri manusia, tidak ada bentuk kegiatan internal, yang mempengaruhi tingkah laku. Namun betapapun kuatnya stimulus dan penguat eksternal, manusia masih dapat mengubahnya memakai proses kontrol diri. Pengertian kontrol diri ini bukan mengontrol kekuatan dalam diri, tetapi bagaimana diri mengontrol variable-variabel luar yang menentukan tingkah laku. Tingkah laku tetap ditentukan oleh variable luar, namun dengan cara kontrol diri berikut, pengaruh variable itu dapat diperbaiki-diatur atau dikontrol.

d. Pendekatan Psikologi Skinner dalam Teori Kepribadian Behavioristik
Skinner menegaskan bahwa teori-teori tentang tingkah laku manusia sering memberikan ketentraman yang keliru kepada para ahli psikologi mengenai pengetahuan mereka bilamana dalam kenyataannya mereka tidak memahami kaitan antara tingkah laku yang muncul dengan peristiwa yang terjadi (antesenden-antesenden) dilingkungannya. Dalam pembahasan ini, Skinner akan dihadirkan sebagai seorang tokoh psikologi pengembang teori, dengan pendekatan pembelajaran behavioristik sebagai ciri yang utama: (E.Koswara,1991:72-77)
1.   Tentang Otonomi Manusia
Skinner amat menentang anggapan mengenai adanya “agen internal” dalam diri manusia yang menjadikan manusia menjadi otonom atau kemandirian dalam bertingkah laku. Keberadaan “manusia otonom” itu tergantung pada pengetahuan kita, dan dengan sendirinya akan kehilangan status dan tidak diperlukan lagi apabila kita telah mengetahui banyak tentang tingkah laku. Menurut Skinner kita tidak perlu mencoba untuk menemukan apa itu kepribadian, keadaan jiwa, perasaan, sifat-sifat, rencana, tujuan, sasaran, atau prasyarat-prasyarat lain dari manusia otonom dalam rangka memperoleh pemahaman mengenai tingkah laku manusia.

Menurut Skinner, manusia adalah kotak tertutup, dan seluruh variable yang mengantarai tingkah laku dan outpu-output tingkah laku harus dikesampingkan dari penyelidikan psikologi. Menurut Skinner penguraian yang memadai  bisa dilakukan tanpa bantuan sejumlah konstruk selain kaitan-kaitan fungsional antara stimulus-stimulus dan respons-respons tingkah laku yang secara terbuka diungkapkan oleh individu. Menurut Skinner kejadian-kejadian internal merupakan bagian yang bisa diterima dalam psikologi sejauh kejadian-kejadian internal itu bisa dieksternalisasi dan diukur secara objektif.


2.  Penolakan Atas Penguraian Fisiologis-Genetik
Penolakan Skinner atas penguraian atau konsepsi-konsepsi fisiologis-genetik dari tingkah laku itu sebagian besar berlandaskan alasan bahwa penguraian semacam itu tidak memungkinkan kontrol tingkah laku. Menurut Skinner, bisa dilihat bahwa sejumlah aspek tingkah laku berkaitan dengan waktu kelahiran, tipe tubuh, atau konstitusi genetik , fakta tersebut terbatas kegunaannya. Keterangan fisiologis-genetik itu boleh jadi membantu kita dalam analisis eksperimental atau pengendalian praktis, sebab kondisi fisiologis-genetik itu tidak bisa dimanipulasi. Jadi Skinner tidak menolak adanya unsur fisiologis-genetik (kebutuhan dan keturunan) dalam tingkah laku, melainkan mengabaikannya disebabkan unsur-unsur tersebut tidak bisa dimanipulasi atau dikendalikan dalam eksperimen.
3.  Psikologi Sebagai Ilmu Pengetahuan Tingkah Laku
Dalam pendekatannya terhadap studi tentang manusia, Skinner beranggapan bahwa seluruh tingkah laku ditentukan oleh aturan-aturan, bisa diramalkan, dan bisa dibawa kedalam kontrol lingkungan atau bisa dikendalikan. Dengan tegas Skinner menolak anggapan bahwa manusia adalah makhluk yang bebas berkehendak, atau anggapan bahwa tingkah laku bisa muncul tanpa sebab. Manusia dengan sistem-sistemnya, adalah mesin yang rumit. Bagi Skinner, ilmu pengetahuan tentang tingkah laku manusia, yakni psikologi, pada dasarnya tidak berada dengan ilmu pengetahuan lainnya yang berorientasi kepada data. Tujuan ilmu-ilmu pengetahuan itu sama, yakni meramalkan dan mengendalikan fenomena yang dipelajari (dalam psikologi Skinner, fenomena yang dipelajari adalah tingkah laku yang nampak).

Dengan pendekatan behavioristiknya, Skinner mempertahankan analisis fungsional atas tingkah laku organisme. Dengan analisis fungsional, seorang ahli didorong untuk membentuk kaitan yang pasti, nyata, dan dapat diperinci anatara tingkah laku organisme yang dapat diamati (respons) dan kondisi-kondisi lingkungan (stimulus) yang menentukan atau mengendalikannya. (E.Koswara,1991:75-77)


4.  Kepribadian Menurut Perspektif Behaviorisme
Sebagaimana telah kita ketahui, Skinner tidak menerima gagasan mengenai kepribadian (personality) atau diri (self) sebagai pendorong atau pengarah tingkah laku. Skinner menyebutkan gagasan semacam itu sebagai sisa dari animisme primitive.  Dari perspektif bahaviorisme Skinner, studi tentang kepribadian melibatkan pengujian yang sistematis dan pasti atas sejarah hidup atau pengalaman belajar dan latar belakang genetik atau faktor bawaan yang khas dari individu. Menurut Skinner individu adalah organisme yang memperoleh perbendaharaan tingkah laku melalui belajar. Selanjutnya bagi Skinner studi tentang kepribadian itu ditujukan kepada penemuan pola yang khas dari kaitan antara tingkah laku organisme dan konsekuensi-konsekuensi yang diperkuatnya. (E.Koswara,1991:77)

5.  Perkembangan Kepribadian Behavioristik
Sebagian besar teori Skinner adalah tentang perubahan tingkah laku, belajar, dan modifikasi tingkah laku, karena itu dapat dikatakan bahwa teorinya yang paling relevan dengan perkembangan kepribadian. Bersama dengan banyak teoritikus, Skinner yakin bahwa pemahaman tentang kepribadian akan tumbuh dari tinjauan tentang perkembangan tingkah laku manusia dalam interaksinya yang terus menerus dengan lingkungan. Konsep kunci dalam sistem Skinner adalah prinsip perkuatan, maka pandangan Skinner seringkali disebut teori perkuatan operan. (E.Koswara,1991:331).

Konsep perkembangan kepribadian dalam pengertian menuju kemasakan, realisasi diri, transendensi dan unitas kepribadian tidak diterima Skinner. Memang ada kemasakan fisik, yang membuat orang menjadi berubah, lebih peka dalam menerima stimulus dan lebih tangkas dan tanggap dalam merespon. Urutan kemasakan fungsi fisik yang bersifat universal sesungguhnya memungkinkan penyusunan periodesasi perkembangan kepribadian, namun tidak dilakukan Skinner karena dia memandang pengaruh eksternal lebih dominan dalam membentuk tingkah laku.  Peran lingkungan yang dominan dalam perkembangan oraganisme, digambarkan secara ekstrim oleh Watson sebagai pakar behavioris. (Alwisol,2005:413-414).

Keistimewaan kelompok respon ini menyebabkan Skinner memakai istilah “operan”. Operan adalah respon yang beroperasi pada lingkungan dan mengubahnya. Perubahan dalam lingkungan selanjutnya mempengaruhi terjadinya respon tersebut pada kesempatan berikutnya. Skinner menyatakan dengan penuh keyakinan bahwa kepribadian tidak lain adalah kumpulan pola tingkah laku, Skinner yakin kita dapat memprediksikan, mengontrol, dan menjelaskan perkembangan-perkembangan ini dengan melihat bagaimana prinsip perkuatan mampu menjelaskan tingkah laku individu pada saat ini sebagai akibat dari perkuatan tahap respon-responnya dimasa lalu. Jadwal perkuatan juga dapat dibentuk dengan mengabaikan faktor waktu dan banyaknya hadiah yang diperoleh itu semata-mata tergantung pada tingkah lakunya sendiri. (Ferster dan Skinner,1957; Skinner,1969).

Skinner yakin bahwa pemerkuat-pemerkuat terkondisi atau pemerkuat-pemerkuat sekunder sangat penting untuk mengontrol tingkah laku manusia. Perkuatan terkondisi merupakan suatu konsep eksplanatorik atau penjelasan yang sangat bisa diandalkan. Jadi, pengertian tentang perkuatan terkondisi adalah penting dalam sistem Skinner, dan seperti akan kita liat bahwa Skinner menggunakannya secara efektif untuk menjelaskan dipertahankan atau terpelihara banyak respon yang terjadi sebagai bagian dari tingkah laku sosial kita.

Pengertian tentang Generalisasi stimulus juga penting dalam sistem Skinner, sebagaimana pengertian itu penting dalam semua teori kepribadian yang berasal dari belajar. Skinner tidak merumuskan generalisasi stimulus maupun deskriminasi stimulus dalam arti proses perseptual atau proses internal lainnya. Skinner merumuskan masing-masing konsep itu sebagai hasil-hasil pengukuran respon dalam situasi eksperimental yang dikontrol secara cermat. Kebanyakan aspek kepribadian muncul dalam suatu konteks sosial, dan tingkah laku sosial merupakan ciri penting tingkah laku manusia pada umumnya. Satu-satunya ciri tingkah laku sosial adalah fakta bahwa Skinner melibatkan interaksi antara dua orang atau lebih. Selain itu, tingkah laku sosial tidak dipandang berbeda dari tingkah laku lainya, sebab Skinner yakin bahwa prinsip-prinsip yang menentukan perkembangan tingkah laku dalam suatu lingkungan yang terdiri dari benda-benda hidup.
(A.Supratiknya,1993:331-345).

B.     APLIKASI TEORI BEHAVIORAL
a. Tingkah Laku Abnormal
Skinner berpendapat bahwa tingkah laku abnormal berkembang dengan prinsip yang sama dengan perkembangan tingkah laku normal. Konsep implus id yang tertekan, krisis identitas, konflik ego-superego adalah penjelasan yang menghayal. Kelainan tingkah laku itu adalah kegagalan belajar memebuat seperangkat respon yang tepat. Kegagalan belajar itu dapat berupa: (Alwisol,2005:415-416).
1.   Kekurangan tingkah laku (behavior deficit); tidak memiliki respertoir respon yang dikehendaki karena miskin reinforsemen.
2.  Kesalahan penguatan (schedule reinforcement error); pilihan responnya tepat, tetapi reinforsemen diterima secara tidak benar sehingga organisme cenderung memakai respon yang tidak dikehendaki.
3.  Kesalahan memahami stimulus (failure in discriminating stimulus); sering terjadi pada penderita skizoprenik dan psikotik lainnya, yaitu orang gagal memilah tanda-tanda yang ada pada stimulus, sehingga stimulus yang benar dihubungkan dengan hukuman dan yang salah dihubungkan dengan reinforsemen. Alibatnya akan terjadi pembentukan tingkah laku yang tidak dikehendaki.
4.  Merespon secara salah (inapropiate set of response); terkait dengan ketidak mampuan mengenali penanda spesifik suatu stimulus, orang akhirnya mengembangkan respon yang salah karena justru respon itu yang mendapat reinforsemen.

C.     PENGONDISIAN OPERAN
Skinner membedakan dua tipe respons tingkah laku, yakni responden dan operan. Dalam arti singkatnya, tingkah laku responden adalah suatu respons yang spesifik yang ditimbulkan oleh stimulus yang dikenal, dan stimulus itu selalu mendahului respons. Tingkah laku responden yang tarafnya lebih tinggi, dimiliki oleh individu melalui belajar dan bisa dikondisikan.
1. Mencatat tingkah laku operant
Skinner beranggapan bahwa hukum-hukum fungsional dari tingkah laku paling baik dikembangkan dengan memusatkan pada faktor-faktor yang meningkatkan dan atau mengurangi probabilitas kemunculan respons dilain waktu dari pada menciptakan stimulus spesifik yang memacu respons.
Dalam pengondisian operant, tingkah laku organisme perlu diukur dan dicatat begitu tingkah laku itu muncul. Karena sumber data psikologi yang paling berarti adalah tingkatan merespon dari organisme (jumlah respon yang dihasilkan dari waktu tertentu).
Pengondisian operan ini memungkinkan peneliti bisa menguji atau memeriksa bagaimana variabel-variabel (penguatan atau hukuman) mengetahui tingkah laku operan dalam periode yang diperpanjang.
2. Jadwal perkuatan
Inti dari pengondisian operan menunjukkan bahwa tingkah laku yang diberi penguatan akan cenderung diulang. Sebaliknya, tingkah laku yang tidak diberi penguatan (dihukum) akan cenderung dihentikan oleh organisme.
Selanjutnya, yang dimaksud dengan jadwal perkuatan itu sendiri adalah aturan yang menentukan dalam keadaan bagaimana atau kapan perkuatan-perkuatan akan disampaikan
Dalam system Skinner, terdapat beberapa jadwal perkuatan yang bebeda, yang kesemuanya bisa dikategorikan menurut dua dimensi dasar, yaitu :
a. Perkuatan yang diberikan hanya setelah organisme melalui interval waktu (disebut jadwal perkuatan interval).
b. Perkuatan yang diberikan hanya setelah organisme menunjukkan sebuah respons (disebut jadwaL perkuatan perimbangan)

3. Tingkah laku takhyul
Pengondisian operan ini diantarai oleh kausal-temporal antara tingkah laku organisme dan konsekuensi-konsekuensi yang dihasilkannya. Tetapi sering terjadi kaitan antara respons dan hasil yang mengikutinya muncul semata-mata karena kebetulan. Tingkah laku yang disandarkan pada hubungan respon perkuatan kebetulan itu disebut juga tingkah laku takhyul. Menurut Skinner, tingkah laku takhyul akan muncul dalam keadaan individu percaya bahwa tingkah laku tertentu yang diungkapkannya merupakan penyebab dari kejadian yang telah dan akan dialaminya.
Skinner juga mengemukakan bahwa tingkah laku takhyul itu tidak hanya merupakan hasil dari pengalaman pribadi atau kisah pengondisian individual, melainkan banyak diantaranya yang berasal dari pengalaman bersama dan turun-temurun dari satu generasi ke generasi berikutnya.
4. Shaping
Shaping adalah pembentukan suatu respons melalui pemberian perkuatan atas respons-respons lain yang mengarah atau mendekati respons yang ingin dibentuk itu. Dengan demikian, peneliti bisa mpemperpendek waktu yang bisa diperlukan untuk mengondisikan respons, dan bisa juga meningkatkan rentang dari tungkah laku operan yang tidak bisa dicapai melalui pengondisian standar yang kaku.
5. Pemerkuat sekunder
Skinner berpendapat bahwa pemerkuat itu terdiri dari dua jenis, yakni pemerkuat primer dan pemerkuat sekunder. Pemerkuat primer (pemerkuat tak berkondisi) adalah kejadian atau objek yang memiliki sifat memperkuat secara inheren. Sedangkan pemerkuat sekunder adalah hal, kejadian atau objek yang memiliki nilai pemerkuat respons melalui kaitan yang  erat dengan pemerkuat primer berdasarkan pengalaman pengondisian atas proses belajar pada organisme. Perubahan kecil dalam prosedur standar pengondisian operan menunjukkan bagaimana stimulus netral bisa memperoleh daya atau nilai pemeerkuat bagi suatu tingkah laku. Halm yang paling penting bagi pemerkuat sekunder adalah kecenderungannya untuk digeneralisasikan apabila dipasangkan dengan lebih dari satu pemerkuat primer.
Skinner menyatakan bahwa pemerkuat sekunder memang memiliki daya yang besar bagi pembentukan dan pengendalian tingkah laku. Tetapi, karena masing-masing individu mempunya pengalaman yang berbeda, maka nilai pemerkuat sekunder itu belum tentu sama bagi semua orang.
6. Penggunaan stimulus aversif
Stimulus aversif adalah stimulus yang tidak menyenangkan, tidak dihiraukan dan selalu dihindari oleh organisme. Skinner menyebutkan bahwa ada dua metode yang berbeda sehubungan dengan penggunaan stimulus aversif ini, yakni pemberian hukuman (punishment) dan perkuatan negatif
7. Generalisasi dan diskriminasi stimulus.
Generaslisasi stimulus adalah kecenderungan untuk terulang atau meluasnya tingkah laku yang diperkuat dari satu situasi stimulus ke dalam situasi stimulus yang lain. Sedangkan yang dimaksud dengan diskriminasi stimulus adalah suatu proses belajar bagaimana merespons secara tepat terhadap berbagai stimulus yang berbeda.

D.    PENERAPAN DUNIA SEBAGAI KOTAK SKINNER
1. Teknologi tingkah laku
Menurut Skinner, seluruh masalah utama yang dihadapi dunia modern dewasa ini adalah menyangkut tingkah laku manusia. Yang mana masalah tersebut tidak akan bisa teratasi jika hanya mengandalkan fisika atau kimia. Yang dibutuhkan justru teknologi tingkah laku. Dengan kata lain, untuk memahami tingkah laku manusia kita harus melihat faktor-faktor penyebab yang sesungguhnya, yaitu faktor lingkungan.
Skinner beranggapan bahwa sifat-sifat atau gambaran-gambaran dari manusia otonom yang paling menghambat atas terbentuknya teknologi tingkah laku adalah “kebebasan dan kemuliaan:
2. Kebebasan
Menurut Skinner manusia dan kemanusiaan tidak akan sepenuhnya lepas dari kendali lingkungan, melainkan hanya lepas dari pengendali-pengendali tertentu. Untuk memperbaiki keadaan manusia, manusia itu sendiri harus menghentikan usaha pencarian kebabasan yang sia-sia, dan memusatkan perhatian ilmiah kepada perubahan drastis dari struktur-struktur sosial.
3. Kemuliaan
Konsep mengenai kemuliaan manusia (human dignity) adalah menyangkut penghormatan dan pemeliharaan martabat manusia. Menurut Freud penganut konsep tersebut menentang kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi tingkah laku, sebab mereka dihambat oleh ilusi mengenai kemuliaan dan tanggung jawab manusia otonom itu. Oleh karena itu konsep kemuliaan menghambat kemajuan manusia. Dan jika kita ingin membangun konsep dunia versi skinner, konsep kemuliaan harus dibuang bersama konsep kebebasan.
4. Hukuman
Skinner menentang hukuman tidak hanya karena hukuman itu berasal dari konsep yang keliru mengenai tingkah laku manusia. Tetapi juga hukuman itu bersifat tidak efektif. Selain itu, menurut Skinner bahwa salah satu tugas utama kita adalah membuat kehidupan kurang dari hukuman dengan merancang masyarakat yang tidak perlu menggunakan hukuman sebagai pengendali tingkah laku para anggotanya.
5. Alternatif  dari Hukuman
Skinner menyatakan bahwa alternatif-alternatif  lain dari hukuman itu tidak efektif. Selain itu alternatif lain dari hukuman dipraktekkan secara kaku. Alternatif-alternatif itu menurut Skinner antara lain permissiveness, bimbingan dan metode “mengubah pikiran”. Permissiveness atau kebijakan membiarkan adalah cara yang tidak efektif disebabkan kebijakan semacam ini meninggalkan aspek-aspek lain dari pengendalian lingkungan.
6. Nilai-nilai
Menurut Skinner, memutuskan atau menilai suatu hal sebagai baik atau buruk mengandung arti mengklasifikasikan suatu hal tersebut ke dalam rangka efek-efek memperkuatnya. Tegasnya, sesuatu yang baik adalah sesuatu yang memperkuat secara positif. Sedangkan sesuatu itu dikatakan buruk apabila memperkuat secara negatif. Sasaran umum yang dimaksud Skinner dalam hal ini adalah untuk menciptakan masyarakat yang seimbang. Dimana masing-masing orang diperkuat atau memperoleh perkuatan secara maksimal.
7. Evolusi Kebudayaan
Penciptaan utopia behaviorisme menuntut pemahaman mengenai bagaimana kebudayaan-kebudayaan atau lingkungan-lingkungan sosial berkembang. Menurut Skinner, peranan teknologi tingkah laku dalam pemeliharaan kelangsungan kebudayaan itu adalah membantu percepatan evolusi kebudayaan.
8. Perancangan kebudayaan
Skinner mangajukan gagasan tentang perancangan kebudayaan menurut prinsip behaviorisme. Menurut Skinner, kebudayaan mirip dengan kotak eksperimen yang sering ia gunakan dalam penyelidikan tingkah laku. Karena pada keduanya terdapat keniscayaan-keniscayaan dari perkuatan. Skinner juga beranggapan bahwa, rancangan kebudayaan ilmiah itu hanyalah satu cara dari kita untuk memelihara kelangsungan kebudayaan dan kehidupan kita sendiri. Kebudayaan kita, yang telah menghasilkan ilmu pengetahuan dan teknologi perlu menyelamatkan dan diselamatkan pengelolanya melalui tindakan-tindakan yang efektif.
9. Penghapusan konsep manusia otonom.
Skinner menegaskan perlunya penghapusan konsep manusia otonom, karena keberadaan manusia otonom berikut atribut-atribut mentalnya sangan kabur, menurut Skinner, pada gilirannya konsep manusia otonom itu setahap demi setahap harus dihapuskan dan digantikan oleh konsep dan upaya pengendalian tingkah laku.

2.6 TEORI KEPRIBADIAN MENURUT ABRAHAM MASLOW
A. HAKIKAT TEORI KEPRIBADIAN ABRAHAM MASLOW
Para ahli psikologi humanistik mempunyai perhatian terhadap isu-isu penting tentang eksistensi manusia, seperti : cinta, kreativitas, kesendirian dan perkembangan diri. Mereka tidak meyakini bahwa manusia dapat mempelajari sesuatu tentang kondisi manusia melalui penelitian terhadap binatang. Para ahli humanistik memiliki pandangan yang optimistik terhadap hakikat manusia    (Yusuf Syamsu, 2007:142). Mereka meyakini bahwa :
1.   Manusia memiliki dorongan bawaan untuk mengembangkan diri.
2.  Manusia memiliki kebebasan untuk merancang atau mengembangkan tingkah lakunya, dalam hal ini manusia bukan pion yang diatur sepenuhnya oleh lingkungan.
3.  Manusia adalah makhluk rasional dan sadar, tidak dikuasai oleh ketidaksadaran, kebutuhan irrasional dan konflik.

Karena pembahasan mengenai teori kepribadian humanistik menurut Maslow (Koeswara, E.1991:115), maka ajaran dasar psikologi yang akan dibahas antara lain :
1.   Individu sebagai keseluruhan yang integral.
Salah satu aspek yang fundamental dari psikologi humanistik adalah ajarannya bahwa manusia atau individu harus dipelajari sebagai keseluruhan yang integral, khas, dan terorganisasi. Maslow merasa bahwa para ahli psikologi di masa lalu maupun sekarang terlalu banyak membuang waktu  untuk menganalisa kejadian-kejadian atau tingkah laku secara terpisah dan mengabaikan aspek-aspek dasar dari pribadi menyeluruh.

2.  Ketidak relevanan penyelidikan dengan hewan.
Para jurubicara psikologi humanistik mengingatkan tentang adanya perbedaan yang mendasar antara tingkah laku manusia dengan tingkah laku hewan. Bagi mereka manusia lebih dari sekedar hewan. Ini bertentangan dengan behaviorisme yang mengandalkan penyelidikan tingkah laku hewan dalam memahami tingkah laku manusia. Maslow dan para teoritis kepribadian humanistik umumnya memandang manusia sebagai makhluk yang berbeda dengan hewan apapun. Maslow juga menegaskan bahwa penyelidikan dengan hewan tidak relevan bagi upaya memahami tingkah laku karena hal itu mengabaikan ciri-ciri yang khas pada manusia seperti adanya gagasan-gagasan, nilai-nilai, rasa malu, cinta, semangat, humor, rasa seni, kecemburuan dan sebagainya yang dengan kesemua ciri yang dimilikinya itu manusia bisa menciptakan pengetahuan, puisi, musik, dan pekerjaan-pekerjaan khas manusia lain-lainnya.

3.  Pembawaan baik manusia.
Teori Freud secara implisit menganggap bahwa manusia pada dasarnya memiliki karakter jahat. Impuls-impuls manusia, apabila tidak dikendalikan, akan menjuruskan manusia kepada pembinasaan sesamanya, dan juga penghancuran dirinya sendiri. Sementara pandangan ini belum jelas ketetapannya, Freud menurut Maslow hanya memiliki sedikit kepercayaan tentang kemuliaan manusia, dan berspekulasi secara pesimis tentang nasib manusia. Sebaliknya, psikologi humanistic memiliki anggapan bahwa manusia itu pada dasarnya adalah baik atau tepatnya netral. Menurut prespektif humanistik kekuatan jahat atau merusak yang ada pada manusia itu adalah hasil dari lingkungan yang buruk dan bukan merupakan bawaan.

4.  Potensi kreatif manusia.
Mengutamakan kreativitas manusia merupakan salah satu prinsip yang penting dari psikologi humanistik. Maslow dari studinya atas sejumlah orang tertentu, menemukan bahwa pada orang-orang yang ditelitinya itu terdapat satu cirri yang umum, yakni kreatif. Dari itu Maslow menyimpulkan bahwa potensi kreatif merupakan potensi yang umum yang ada pada manusia. Maslow yakin bahwa jika setiap manusia mempunyai atau menghuni lingkungan yang menunjang setiap orang dengan kreativitasnya maka akan mampu mengungkapkan segenap potensi yang dimilikinya. Dan pada saat yang sama Maslow mengingatkan bahwa untuk menjadi kreatif orang itu tidak perlu memiliki bakat atau kemampuan khusus. Menurut Maslow kreativitas itu tidak lain adalah kekuatan yang mengarahka manusia kepada pengekspresian yang ada pada dirinya.

5.  Penekanan pada kesehatan psikologis.
Maslow secara konsisten beranggapan bahwa tidak ada satupun pendekatan psikologis yang mempelajari manusia yang bertumpu pada fungsi-fungsi manusia berikut cara dan tujuan hidupnya yang sehat. Dalam hal ini Maslow terutama mengkritik Freud yang menurutnya terlalu mengutamakan studi atas orang-orang yang tidak sehat. Dengan tegas Maslow menyebut teori psikoanalisa ortodoks sebagai teori yang berat sebelah dan kurang komperhensif karena hanya berlandaskan pada bagian yang abnormal dari tingkah laku manusia. Maslow juga merasa bahwa psikologi terlalu menekankan pada sisi negative manusia dan mengabaikan kekuatan atau sifat-sifat yang positif. Maslow yakin bahwa kita tidak akan bisa memahami gangguan mental sebelum kita memahami kesehatan mental. Karena itu Maslow mendesakkan perlunya studi atas orang-orang yang berjiwa sehat sebagai landasan bagi pengembangan psikologi yang universal.

B. HIERARKI KEBUTUHAN MASLLOW
Maslow (Koeswara E, 1991:118) melukiskan manusia merupakan makhluk yang tidak pernah sepenuhnya merasakan kepuasan. Bagi manusia, kepuasan itu sifatnya sementara. Jika suatu kebutuhan telah terpuaskan, maka kebutuhan-kebutuhan yang lain akan muncul dan menuntut pemuasan, begitu seterusnya. Itulah yang dimaksud kepuasan sementara menurut Maslow. Dan berdasarkan ciri yang demikian, Maslow mengajukan gagasan bahwa kebutuhan yang ada pada manusia adalah merupakan bawaan tersusun menurut tingkatan atau bertingkat.

Konsep maslow tentang hierarki kebutuhan bahwa kebutuhan yang lebih rendah tingkatnya harus dipuaskan atau minimal terpenuhi secara relatif sebelum kebutuhan yang lebih tinggi tingkatnya menjadi motivator tindakan. Lima kebutuhan yang membentuk hierarki kebutuhan ini merupakan kebutuhan-kebutuhan konatif, artinya bercirikan daya juang atau motivasi. Kebutuhan ini sering disebut dengan kebutuhan-kebutuhan dasar, dapat disusun dalam sebuah hierarki atau tangga jenjang, dimana setiap anak tangga selalu mengarah pada anak tangga yang ada di atasnya, mencerminkan adanya dorongan menuju kebutuhan di tingkatan lebih tinggi sekaligus menjadi syarat utama untuk bisa bertahan hidup lebih jauh.

Menurut Maslow (Koeswara E, 1991:119) kebutuhan manusia itu ada lima tingkatan yaitu :
1.  Kebutuhan-kebutuhan fisiologis.
Kebutuhan-kebutuhan fisiologis adalah sekumpulan kebutuhan dasar yang paling mendesak pemuasannya karena berkaitan langsung dengan pemeliharaan biologis dan kelangsungan hidup. Kebutuhan-kebutuhan dasar fisiologis itu antara lain kebutuhan akan makanan, air, udara, aktif, istirahat, keseimbangan temperature, seks dan kebutuhan akan stimulasi sensoris. Karena merupakan kebutuhan yang paling mendesak maka kebutuhan-kebutuhan fisiologis akan paling didahulukan pemuasannya oleh individu.

2. Kebutuhan akan rasa aman.
Apabila kebutuhan fisiologis individu telah terpuaskan maka dalam diri individu akan muncul satu kebutuhan lain sebagai kebutuhan yang dominan dan menuntut pemuasan, yakni kebutuhan akan rasa aman. Yang dimaksud Maslow dengan kebutuhan akan rasa aman ini adalah sesuatu kebutuhan yang mendorong individu untuk memperoleh ketentraman, kepastian dan keteraturan dari keadaan lingkungan. Maslow mengemukakan bahwa kebutuhan akan rasa aman ini sangat nyata dan bisa diamati pada bayi, anak-anak, remaja, dewasa maupun orang tua karena ketidakberdayaan mereka.

3. Kebutuhan akan rasa cinta dan memiliki.
Kebutuhan akan rasa cinta dan memiliki ini adalah suatu kebutuhan yang mendorong individu untuk mengadakan hubungan afektif atau ikatan emosional dengan individu lain, baik dengan sesama jenis maupun dengan lawan jenis, di lingkungan keluarga maupun lingkungan di masyarakat. Bagi individu-individu keanggotaan dalam anggota kelompok sering menjadi tujuan yang dominan dan mereka bisa menderita kesepian, terasing dan tak berdaya apabila keluarga, teman dan pasangan hidup atau pacar meninggalkannya.

4. Kebutuhan akan rasa harga diri.
Kebutuhan keempat yaitu kebutuhan akan rasa harga diri oleh Maslow dibagi menjadi dua bagian yakni yang pertama adalah penghormatan atau penghargaan dari diri sendiri, dan bagian yang kedua adalah penghargaan dari orang lain. Bagian pertama mencakup hasrat untuk memperoleh kompetensi, rasa percaya diri, kekuatan pribadi, kemadirian, dan kebebasan. Individu ingin mengetahui yakin bahwa dirinya berharga serta mampu mengatasi segala tantangan dalam hidupnya. Adapun bagian kedua meliputi antara lain prestasi. Dalam hal ini individu butuh penghargaan atas apa-apa yang dilakukannya.

5. Kebutuhan akan aktualisasi diri.
Kebutuhan untuk mengungkapkan diri atau aktualisasi diri merupakan kebutuhan manusia yang paling tinggi dalam teori Maslow. Kebutuhan ini akan muncul setelah kebutuhan-kebutuhan yang ada di bawahnya telah terpenuhi atau terpuaskan dengan baik. Maslow menandai kebutuhan aka aktualisasi diri sebagai hasrat indivdu untuk menjadi orang yang sesuai dengan keinginan dan potensi yang dimilikinya. Atau hasrat individu untuk menyempurnakan dirinya melalui pengungkapan segenap potensi yang dimilikinya. Siapapun yang sudah mencapai tingkat aktualisasi diri berarti menjadi manusia seutuhnya, sanggup memenuhi kebutuhan-kebutuhan yang bagi orang lain hanya terlihat samar-samar atau bahkan tidak pernah dilihatnya sama sekali. Sebagai tambahan bagi lima kebutuhan konatif ini, Maslow (Jess Feist & Gregory Jess Feist, 2008 : 247) juga mengidentifikasikan tiga kebutuhan dari kategori yang lain yaitu: kebutuhan estetis, kebutuhan kognitif, dan kebutuhan neurotik.

6. Kebutuhan estetis
Tidak seperti kebutuhan konatif, kebutuhan estetis tidak bersifat universal, karena hanya segelintir orang disetiap budaya termotivasi oleh kebutuhan akan keindahan dan pengalaman-pangalaman yang menyenangkan secara estetis. Orang  dengan kebutuhan estetis kuat menginginkan lingkungan sekeliling yang indah dan teratur, dan jika kebutuhan-kebutuhan ini tidak terpenuhi, mereka akan menjadi sakit karena kebutuhan konatifnya terhambat.

7. Kebutuhan kognitif
Sebagian besar orang memiliki keinginan-keinginan untuk mengetahui sesuatu, memecahkan misteri, memahami sesuatu, dan ingin menyelidiki sesuatu. Maslow (1970) menyebut keinginan-keinginan ini dengan sebutan kebutuhan kognitif. Maslow (1968, 1970), percaya bahwa pribadi yang sehat ingin tahu lebih banyak, berteori sesuatu, menguji hipotesis, memecahkan misteri atau menemukan bagaimana sesuatu bekerja hanya demi kepuasan mengetahui itu saja.

8. Kebutuhan Neurotik
Khusus kebutuhan-kebutuhan neurotik, dia mengarah hanya kepada stagnasi dan patologi tertentu ( Maslow,1976). Menurut devinisinya kebutuhan neorotik bersifat non produktif. Kebutuhan ini hanya mendesakkan terus menerus gaya hidup tidak sehat dan tanpa nilai dalam perjuangan mereka untuk aktualisasi diri.

 2.7 TEORI KEPRIBADIAN MENURUT CARL ROGERS
A.       HAKIKAT TEORI CARL ROGERS
Teori Rogers sangat bersifat klinis, karena didasarkan pada pengalaman bertahun-tahun bagaimana seharusnya seseorang terapis menghadapi kliennya. Di titik ini, teorinya sangat mirip dengan teoretikus-teoretikus seperti Freud, Anna Freud, dan lain sebagainya. Kesamaan dengan Freud juga terletak pada kekayaan dan kedalaman teori yang dia tawarkan, dipikirkan dengan matang, dengan logika yang sangat ketat dan dengan cangkupan yang sangat luas.

Akan tetapi Rogers berbeda dari Freud karena dia menganggap manusia pada hakikatnya baik atau sehat, tidak jahat atau sakit. Dengan kata lain, dia memandang kesehatan mental sebagai proses perkembangan hidup alamiah, sementara penyakit jiwa, kejahatan dan persoalan-persoalan kemanusiaan lainnya, sebagai penyimpangan dari kecenderungan alam. Perbedaan lainnya adalah teorinya relative lebih sederhana ketimbang teori Freud.

Perbedaan terakhir ini terjadi karena teori Rogers lebih elegan. Bangunan teorinya di dasarkan pada satu “daya hidup” yang dia sebut kecenderungan aktualisasi. Ini dapat diartikan sebagai motivasi yang menyatu pada setiap diri mahluk hidup yang bertujuan mengembangkan seluruh potensi-potensinya sebaik mungkin. Di sini kita bukan hanya bicara tentang bagaimana bertahan hidup. Rogers yakin bahwa seluruh mahluk pasti ingin berbuat atau memperoleh yang terbaik keberadaannya. Jika mereka gagal memperolehnya, bukan berarti mereka tidak memiliki hasrat.

Dari dorongan tunggal inilah Rogers menurunkan keinginan atau dorongan-dorongan yang dibicrakan para teoretikus kepribadian lain. Dia bertanya kenapa kita memerlukan udara, air, dan makanan? Kenapa kita selalu berusaha mendapatkan rasa aman, cinta, dan perasaan mampu? Kenapa kita berusaha menemukan obat-obatan baru, menemukan sumber-sumber energi baru atau menciptakan karya seni yang baru? Menurutnya, karena itu semua adalah keinginan dan usaha itu merupakan hakikat alamiah kita sebagai mahluk hidup untuk mengusahakan yang terbaik untuk diri kita.

Di sini, kita harus ingat bahwa Rogers memakai istilah tersebut untuk setiap jenis mahluk, berbeda dengan Maslow yang hanya memakai istilah tersebut untuk mahluk hidup saja. Di antara contoh-contoh yang dia kemukakan adalah karang yang tumbuh di dasar laut dan jamur. Tidakkah menakjubkan rumput liar dapat tumbuh di pinggir jalan, atau lumut yang bisa menembus dinding tembok, atau binatang tertentu yang bisa hidup di tengah gurun atau kutub utara?

Rogers juga menerapkan gagasannya ini ke dalam sebuah ekosistem dengan mengatakan bahwa ekosistem tertentu, seperti hutan dengan aneka ragam isinya, memiliki potensi aktualisasi yang lebih besar ketimbang ekosistem yang lebih sederhana, seperti lading jagung atau sepetak tanah. Jika seekor serangga tidak dapat hidup di hutan, maka pasti ada mahluk lain yang mampu beradaptasi dengan kondisi hutan tersebut. Sebaliknya, jika jagung yang ada di sebuah lading terserang hama mematikan atau kemarau panjang, yang tersisa kemudian hanyalah tanah kering berdebu. Hal yang sama juga terjadi pada diri kita masing-masing, jika kita hidup sebagaimana layaknya, kepribadian kita akan berkembang sedemikian rupa, seperti layaknya hutan tadi, dan mampu fleksibel dalam menghadap berbagai macam tantangan hidup.

Karena itulah manusia menciptakan masyarakat dan kebudayaan guna mengaktulisasikan potensi-potensi yang mereka miliki. Di dalam dan demi diri sendiri, masyarakat tidaklah menjadi persoalan bagi diri kita pribadi. Setiap orang pada hakikatnya adalah mahluk social. Akan tetapi, ketika kita menciptakan kebudayaan, dia berkembang dan memiliki kehidupan sendiri. Kebudayaan tidak akan selalu selaras dengan aspek alamiah manusia, bahkan di dalam dirinya, kebudayaan dapat saja berlawanan dengan kecenderungan alamiah kita. Jika dalam pembenturan kebudayaan yang menghalangi aktualisasi diri kita dapat dimusnahkan, kita pun dengan sendirinya juga akan ikut punah bersamanya.

Hal ini hendaknya jangan disalah pahami, secara intrinsik, kebudayaan dan masyarakat tidaklah jahat dan negative. keberadaannya bagaikan bulu-bulu indah dari burung-burung yang ditemukan  di Papua New Guinea dan Irian. Bulu-bulu indah yang dimiliki burung jantan dapat mengalihkan perhatian binatang buas dari burung betina dan anak-anaknya. Seleksi alam telah mengarahkan burung-burung ini untuk semakin memperbaiki dan memperbaharui bentuk bulunya, hingga dalam perkembangannya ada burung yang justru tidak lagi dapat terbang. Sampai di sini, warna-warna yang menarik perhatian tidak lagi dapat melindungi spesies mereka. Inilah yang menyebabkan kita selalu menggali dan memperbaharui masyarakat, kebudayaan dan teknologi, karena itu semua dapat membantu kita bertahan dan berkembang biak, walaupun pada saat yang sama juga bisa menghancurkan kita.

B.       RINCIAN TEORI CARL ROGERS
Rogers memandang bahwa setiap mahluk hidup tahu apa yang terbaik baginya. Evolusi telah melengkapi kita dengan pancaindera, selera dan kemampuan untuk memilih apa yang kita butuhkan. Saat kita lapar, kita akan mencari makanan, bukan sembarang makanan, tapi makanan yang rasanya enak. Makanan yang rasanya tidak enak biasanya membawa penyakit. Sedangkan apa yang enak dan apa yang tidak enak telah ditunjukkan dengan baik oleh proses evolusi kita. Inilah yang disebut Rogers dengan proses penilaian Organismik.

Di antara berbagai hal yang kita nilai berdasarkan insting adalah perhatian positif. Yang dimaksud rogers dengan istilah ini adalah perasaan-perasaan seperti cinta, senang, atensi, kepedulian, dan lain sebagainya. Bayi misalnya, tentu sangat memerlukan cinta dan perhatian.

Hal ini yang kita kenali secara instingtif, dan ini hanya dimiliki manusia, adalah perasaan positif terhadap diri sendiri. Yaitu kehormatan, rasa bangga, citraan yang baik pada diri sendiri, dan lain sebagainya. Kita memperoleh perhatian positif terhadap diri sendiri ini dengan merasakan perhatian positif yang diberikan orang lain kepada kita selama masa-masa pertumbuhan. Tanpa adanya perhatian terhadp diri sendiri ini, kita akan merasa kecil, tak berdaya dan tak berguna, dan sekali lagi kita akan gagal menjadi apa yang seharusnya.

Sama seperti Maslow, Rogers percaya jika dibirkan hidup di habitatnya, binatang pasti akan memakan dan meminum apa yang baik menurutnya dan dan dalam proporsi yang seimbang. Bayi juga begitu, dia menginginkan dan menyukai apa yang mereka butuhkan. Akan tetapi, kadang kita harus pula menciptakan lingkungan yang berbeda dari apa yang kita tinggali selama ini. Di lingkungan baru ini berbagai bahan makanan, seperti gula, tepung, mentega, cokelat, dan lain-lain tidak dikenal oleh nenek moyang kita dulu. Bahan-bahan makanan ini memiliki rasa yang sesuai dengan penilaian organismik kita, akan tetapi tidak bisa dijadikan sebagai lat aktualisasi kita. Selama ribuan tahun, manusia mungkin terbiasa dan puas dengan rasa kol ketimbang potongan keju, akan tetapi masa itu sudah terlalu jauh bagi kita saat ini.

Masyarakat juga mengajarkan pada kita untuk selalu berada dalam syarat-syarat yang diperlukan. Dalam masa pertumbuhan, orangtua, guru, teman, dan lain-lain hanya mau mengabulkan keinginan kita jika kita mampu menunjukkan bahwa kita “baik dan patuh”. Mereka memberikannya bukan karena kita memang memerlukannya. Kita baru boleh minum es jika kita sudah selesai mengerjakan PR. Kita boleh makan permen atau cokelat setelah buah-buah selesai kita makan. Dan yang paling penting sekali, kita akan memperoleh cinta dan kasih sayang jika kita memperlihatkan rasa “patuh”.

Perhatian positif yang tertuju pada “syarat-syarat” ini disebut Rogers dengan perhatian positif kondisional. Karena kita memang memerlukan perhatian positif, maka syarat-syarat ini sangat penting dan kita selalu berusaha untuk terkait padanya, bukan karena penilaian organismik atau kecenderungan aktualisasi yang ada dalam diri kita, akan tetapi karena masyarakat, terlepas apakah kita memang memiliki kepentingan terhadapnya atau tidak. Seorang anak yang “patuh” belum tentu seorang anak yang bahagia atau memiliki kesehatan mental yang baik.

Seiring dengan pertambahan usia, “syarat-syarat” ini kemudian mengarahkan kita pada perhatian positif terhadap syarat-syarat yang diinginkan diri sendiri. Kita mulai menilai diri sendiri dengan memakai standar-standar yang diberikan orang lain kepada kita, bukannya kita berusaha sekuat tenaga mengaktualisasikan potensi-potensi yang kita miliki. Karena standar-standar ini dibuat tanpa mempertimbangkan keanekaan diri individual, bahkan kita sering tidak pernah merasa sepakat dengan standar-standar tersebut. Kita jadinya tidak mampu menegaskan rasa harga diri kita secara pribadi.

a. Ketidaksebidangan (Incongruity)
Aspek keberadaan anda yang didasarkan pada kecenderungan aktualisasi, yang mengikuti penilaian organismik, kebutuhan dan penerimaan akan pertimbangan positif dan pertimbangan terhadap diri sendiri disebut Rogers dengan Diri Riil (Real Self). Diri Riil ini adalah “Anda” sebagaimana adanya jika segala sesuatunya berjalan dengan baik.

Di lain pihak, karena keinginan masyarakat, hal itu sering tidak selaras dengan kecenderungan aktualisasi kita, dan didesak hidup dengan syarat-syarat kepatuhan yang berada di luar penilaian organismik kita sendiri, serta hanya menerima pertimbangan positif yang kondisional dan pertimbangan terhadap diri sendiri, maka diri kita akan berkembang menjadi Diri Ideal (Ideal Self). Apa yang dimaksud Rogers dengan ideal di sini adalah sesuatu yang tidak riil, sesuatu yang tidak akan pernah dicapai, standar-standar yang tidak akan pernah kita penuhi.

Jurang yang memisahkan antara Diri Riil dengan Diri Ideal, antara “Saya sebagai adanya” dengan “Saya sebagaimana yang seharusnya” disebut ketidaksebidangan. Semakin lebar jarak antara keduanya, semakin besar pula ketidaksebidangan ini. Semakin besar ketidaksebidangan ini, semakin besar pula tekanan dan penderitaan yang dirasakan. Ketidaksebidangan inilah yang sesungguhnya disebut Rogers sebagai Neurosis, yaitu ketidakselarasan dengan diri sendiri.


b. Pertahanan
Jika anda berada dalam situasi dimana terjadi ketidaksebidangan antara citra anda dan pengalaman nyata anda tentang diri anda sendiri (Antara Diri Ideal dengan Diri Riil), maka anda pada waktu itu sedang berada dalam situasi terancam. Sebagi contoh, jika anda dididik untuk tidak merasa patuh seandaianya tidak memperoleh nilai A dalam ujian, dan anda memang bukan siswa yang pintar, maka ujian atau segala macam tes lainnya akan membawa ketidakebidangan itu ke permukaan, anda akanmerasa ujian sangat menyiksa dan menakutkan.

Menjelang situasi yang mengancam itu, anda akan merasa cemas. Kecemasan adalah tanda yang memberitahukan bahwa ada kesulitan-kesulitan yang akan dihadapi dalam situasi berikutnya, bahwa anda harus menghidari situasi tersebut. Salah satu cara menghindarinya tentu saja melarikan diri sejauh mungkin. Namun masalahnya, cara ini tidak bisa dilakukan dalam kehidupan nyata. Anda kemudian melarikan diri bukan dengan tubuh kasar, akan tetapi secara psikologis dengan menggunakan pertahanan-pertahanan.

Gagasan Rogers tentang pertahanan sangat mirip dengan apa yang dikemukakan Freud, hanya saja Rogers melihatnya berdasarkan persepsi. jadi, dia menganggap memori dan rangsangan-rangsangan kenangan sebagai persepsi. dia hanya mengemukakan dua macam cara bertahan, yaitu pengingkaran dan distorsi perseptual.

c. Pengingkaran di sini hampir sama dengan pengingkaran dalam sistem Freudian. Anda memblokir situasi yang mengancam secara bersamaan. Contohnya adalah orang yang tidak pernah mau mengikuti ujian atau tidak pernah memberitahukan nilai yang diperolehnya. Dengan cara ini, dia tidak perlu mencemaskan nilai buruk (setidaknya untuk sementara). Pengingkaran menurut Rogers ini juga mencangkup apa yang disebut Freud dengan represi. Jika anda berusaha menyingkirkan kenangan buruk atau rangsangan yang akan memancing kenangan itu muncul dari kesadaran anda (anda menolak untuk mengingatnya), berarti anda sedang berusaha menghindari situasi yang mengancam.

Sementara Distorsi Perseptual adalah penafsiran kembali sebuah situasi sedemikian rupa sehingga tidak lagi dirasakan terlalu mengancam. Ini mirip dengan apa yang disebut Freud sebagai Rasionalisasi. Seorang siswa yang merasa terancam oleh ujian dan nilainya mungkin, misalnya, akan menuduh cara mengajar gurunya sangat jelek, memberikan soal-soal yang tidak sesuai, sikapnya yang buruk, dan lain sebagainya. Cara mengajar yang buruk, soal-soal yang tidak sesuai, dan sikapnya yang buruk hanya akan membuat pendistorsian ini bekerja dengan baik. Jika memang ini jadi sebab, wajar saja jika nilai yang diperoleh buruk. Distorsi perseptual ini juga sangat bersifat perseptual. Contohnya, ketika seseorang salah membaca nilai ujiannya dan yakin telah memperoleh nilai yang lebih baik.

Bagi orang yang mengalami neurotik ringan (sebagian kita memang mengalaminya dalam kehidupan sehari-hari), setiap kali menggunakan mekanisme pertahanan, dia semakin memperlebar jurang yang memisahkan antara Diri Riil dengan Diri Ideal. Mereka akan mengalami ketidaksebidangan yang lebih luas, dan merasa semakin terancam. Kecemasan pun terasa semakin menjadi-jadi dan akhirnya akan melakukan berbagai macam cara bertahan. Akhirnya dia tidak akan mampu keluar dari lingkaran setan ini.

Rogers juga menjelaskan Psikosis. Psikosis terjadi ketika pertahanan yang dilakukan seseorang runtuh dan merasa dirinya hancur berkeping-keping. Akibatnya, perilakunya menghadapi persoalan ini menjadi tidak konsisten. Kita menyebutnya dengan “Keterpecahan Psikotik”, periode di mana orang berprilaku aneh-aneh. Kata-kata yang keluar dari mulutnya tidak nyambung. Emosinya sering tidak tertata. Dia juga tidak mampu membedakan antara diri dengan yang bukan diri, dan menjadi tidak punya arah dan pasif.

C.        TERAPI
Carl Rogers terkenal dengan kostribusinya terhadap metode terapi. Terapi yang dia praktikkan memiliki dua nama yang sama-sama dia pakai. Awalnya dia menyebut metodenya dengan non-direktif, sebab dia berpendapat seorang terapis tidak seharusnya tidak mengarahkan kliennya, akan tetapi membebaskan klien mengarahkan sendiri kemana terapi akan berujung. Semakin banyak pengalaman yang dia peroleh selama terapi, seorang terapis akan semakin menyadari bahwa dia masih tetap memiliki pengaruh pada kliennya justru karena dia sama sekali tidak mengarahkannya. Dengan kata lain, klien harus melihat terapis sebagai pembimbingnya, dan tetap akan merasakan hal ini walaupun si terapis tidak berusaha membimbing dan mengarahkannya.

Kemuadian Rogers mengganti istilah ini dengan metode yang terpusat pada klien. Dia tetap menganggap klienlah yang seharusnya menyatakan apa yang salah pada dirinya, berusaha memperbaikinya sendiri, dan menentukan kesimpulan apa yang dihasilkan proses terapi, terapi ini akan tetap “terpusat pada klien” meskipun dia menyadari betul pengaruh terapis terhadap dirinya. Sayangnya, sebagian besar terapis merasa istilah ini mempermalukan profesi mereka: “Bukankah para terapis itu “terpusat pada klien”?”

Saat ini, walaupun istilah non-direktif dan terpusat pada klien ini masih digunakan, akan tetapi orang lebih sering menyebutnya dengan istilah terapi Rogerian. Salah satu ungkapan yang dipakai Rogers dalam menggambarkan bagaimana cara kerja metode terapinya ini adalah “Berusahalah mendorong dan mendukung, jangan mencoba merekonstruksi”, dan dia juga mencontohkan dengan proses belajar mengendarai sepeda. Ketika anda membantu anak anda belajar mengendarai sepeda, anda tidak cukup mengajarinya hanya dengan memberitahunya “cara-cara cepat mengendarai sepeda”. Mereka harus mencobanya langsung dan anda pun tidak akan bisa terus-menerus memeganginya. Lalu datanglah saat dimana anda tidak perlu lagi memeganginya. Jika anak belum tahu caranya, dia mungkin akan jatuh dan mencobanya lagi. Akan tetapi jika anda pegangi terus, karena takut ia akan terluka, dia tidak akan pernah belajar bagaimana mengendarai sepedah.

Hal yang sama juga berlaku dalam terapi. Jika ketidaktergantungan (otonomi, kebebasan yang bertanggung jawab) yang ingin anda tumbuhkan dalam diri klien anda, mereka tidak akan memperolehnya jika mereka tetap bergantung pada anda sebagai terapis. Mereka perlu mencoba mewujudkan pendapat dan keinginan mereka sendiri di dalam kehidupan nyata di luar ruang terapi. Pendekatan terapi yang otoriter awalnya memang kelihatan sangat ampuh, tapi metode ini hanya menghasilkan pribadi-pribadi  yang tergantung pada orang lain.

Satu-satunya teknik yang dikemukakan Rogers untuk menjalankan metode tersebut adalah Refleksi. Refleksi adalah pemantulan komunikasi perasaan. Jika klien berkata “saya merasa tidak berguna”, maka si terapis bisa memantulkan hal ini kembali pada klien dengan berkata “kalau begitu hidup telah mengecewakanmu?” Dengan cara ini, si terapis sesungguhnya menunjukkan pada kliennya bahwa dia mendengarkan dengan sungguh-sungguh dan berusaha memahami peasaan si klien.

Seorang terapis yang baik juga harus membiarkan kliennya mengetahui apa yang sesungguhnya yang dia utarakan. Orang yang mengalami tekanan sering mengucapkan sesuatu yang bukan maksudnya. Dia mengatakan hanya karena dia merasa lebih baik jika dikatakan  saja. Misalnya, seorang wanita pernah mendatangi saya dan langsung berkata “saya benci laki-laki” lalu saya merefleksikan  (memantulkan kembali) apa yang dia katakan ini dengan berwujud “anda benci laki-laki?” ternyata kemudian dia menjawab “ya, tapi nanti dulu sebenarnya tidak juga”, karena ayah dan saudara laki-laki saya masih kucintai”. Bahkan walaupun orang-orang ini dia benci, namun kadar kebenciannya tidak tidak sebesar rasa bencinya terhadap laki-laki lain. Pada akhirnya, dia pun menyadari bahwa dia sebenarnya tidak percaya pada sebagian laki-laki dan hanya takut kalau-kalau dikecewakan lagi oleh laki-laki sebagaimana dia pernah dikecewakan oleh laki-laki yang dia kenal sebelumnya.

Namun begitu, teknik refleksi ini harus digunakan hati-hati. Kebanyakan terapis pemula menggunakannya tanpa menggunakan pertimbangan pikiran atau perasaan. Lalu mereka mengira kliennya tidak pernah bisa paham dan akhirnya refleksi ini hanya akan melahirkan stereotype terapi Rogerian, sepertinya halnya seks dan ibu yang jadi stereotype dalam terapi Freudian. Refleksi hendaknya benar-benar datang dari dalam hati, dia harus murni dan kongruen.
Inilah yang akan membawa kita pada syarat-syarat seorang terapis menurut Rogers. Menurut Rogers, agar seseorang dapat menjadi terapis yang efektif, setidaknya dia harus memiliki tiga kualitas khusus:
1.      Kongruen : kejujuran dan ketulusan dengan klien.
2.     Empati : kemampuan merasakan apa yang dirasakan klien.
3.     Respek  : menerima klien apa adanya dan memberikan perhatian positif tak bersyarat kepadanya.

Rogers menganggap katiganya adalah syarat “mutlak dan sudah lebih dari cukup”. Seandainya seorang terapis sudah memperlihatkan tiga kemampuan ini, kliennya akan berubah, walau tidak ada teknik khusus yang dia gunakan. Sebaliknya, jika terapis tidak memiliki ketiga kemampuan ini, perubahan yang akan dicapai kliennya sangat minim, tidak peduli berapa banyak teknik yang dia terapkan.

Memang apa yang ditawarkan Rogers tidak banyak, tapi dia sangat menekankan agar tiga kemampuan tadi dipakai dalam terapi. Dengan kata lain, ketika seorang terapis meninggalkan ruangan, dia tetaplah manusia sebagaimana orang lain.



2.8 TEORI KEPRIBADIAN MENURUT ALBERT BANDURA
A.    HAKIKAT TEORI MENURUT ALBERT BANDURA
Karena behaviorisme lebih menekankan metode experimental, maka yang jadi pusat perhatiannya adalah variabel-variabel yang dapat diamati, diukur dan dimanipulasi, serta menghindari apun yang bersifat subjektif, mental dan tidak bisa diamati secara empirik atau mental. Dalam metode experimental, yang jadi prosedur standar adalah bagaimana memanipulasi suatu variabel. Dari proses inilah teori kepribadian menyatakan bahwa lingkungan tempat seseorang pasti membentuk dan mempengaruhi perilakunya.

Namun, Bandura menganggap proses tadi terlalu sederhana untuk kasus yang diselidikinya (kenakalan remaja). Oleh karena itu dia memutuskan untuk menambahinya dengan rumusan baru. Menurutnya, lingkungan memang membentuk perilaku namun perilaku juga membentuk lingkungan. Dia menyebut konsep ini dengan determinisme resiprokal, yaitu dunia dan perilaku seseorang itu saling mempengaruhi.

Dia tidak berhenti sampai disitu saja. Dia kemudian juga memendang kepribadian sebagai hasil interaksi dari 3 hal, yaitu lingkungan, perilaku, dan proses psikologi seseorang. Proses psikologis ini berisi kemampuan kita untuk menyenangkan berbagai citra dalam pikiran dan bahasa kita. Pada saat dia memperkenalkan perumpamaan, secara khusus dia tidak lagi dikatakan sebagai behavioris murni, dan mulai beralih menjadi kognitivis. Bahkan ada sebagian kalangan yang berpendapat dialah yang menjadi bapak aliran kognitivisme.

Dengan menambahkan perumpamaan dan bahasa ke dalam 3 hal yang membentuk perilaku tadi, memungkinkan Bandura mengeluarkan teori yang lebih efektif tentang 2 hal yang menurut orang selama ini membentuk perilaku manusia: pembelajaran observasional (modeling) dan regulasi diri. Teorinya ini lebih efektif dibanding teori yang di kemukakan B.F Skinner.

a. Pembelajaran Observasional
Di antara sekian banyak penelitian yang di lakukan Bandura, salah satu rangkaian penelitiannya yang paling penting adalah The Bobo Doll Studies. Dia membuat film tentang salah satu murid perempuannya yang selalu merusak boneka bobonya. Boneka bobo adalah boneka yang berisi angin dengan pemberat di bagian bawahnya. Kalau boneka ini dipotong maka bagian atas tubuhnya akan bergoyang ke depan dan belakang, sementara bagian bawahnya tetap berada pada tempat semula.

Muridnya tadi selalu memukuli boneka tersebut, berteriak, dan mencaci makinya. Dia menendang, menduduki, memukulnya dengan kayu, sambil terus memakinya. Bandura kemudian mempertontonkan filmnya ini kepada murid TK yang tentu menyukai adegan film tersebut. Setelah itu, murid TK dipersilahkan memeinkan permainan yang ada di film tersebut. Mereka bermain di dalam ruangan yang lengkap dengan boneka bobo baru, perhitungan kecil, dan sebagainya.

Apa yang anda perkirakan mungkin sama dengan yang ada dalam kepala para peneliti. Hampir semua anak-anak di TK itu, menyiksa boneka bobo tadi. Mereka memukulinya dan memaki-makinya. Dengan kata lain, mereka meniru gadis muda yang mereka tonton dalam film tadi.

Awalnya, kejadian ini tidak tampak sebagai hasil penelitian yang berharga, tapi ingat anak-anak di TK tadi mengubah perilaku mereka tanpa terlebihdahulu mempertimbangkan apa akibat dari perilaku baru yang mereka tiru. Walaupun menurut orangtua, guru, atau peneliti anak-anak biasa, perubahanperilaku ini bukanlah hal yang luar biasa, namun bagi peneliti behavioristik, perubahan ini tidak selaras dengan teori proses belajar yang selama ini ada. Dia menyebut fenomena tadi dengan pembelajaran observasional atau modeling (teori pembelajaran sosial).

Bandura melakukan berbagai variasi penelitian. Pihak yang jadi model diberi imbalan atau hukuman dengan berbagai cara, sementara anak-anak yang meniru model juga diberi berbagai imbalan. Model diusahakan semakin kurang atraktif atau tidak terlalu prestisius. Bahkan ketika ada kritik yang mengatakan bahwa jelas saja anak-anak akan meniru penyiksaan boneka bobo tadi, karena boneka bobo ini memang dimaksudkan untuk itu, dia pun kemudian membuat film tentang seseorang yang menggigit dan memukuli badut asli. Ketika anak-anak selesai menonton film ini dan dipesilahkan masuk ke ke ruangan lain dimana telah tersedia badut asli, mereka langsung menendang dan memukulinya.

Berdasarkan variasi penelitian ini, Bandura akhirnya menetapkan beberapa tahapan terjadinya proses modeling.
1.   Atensi atau perhatian
Ketika kita mempelajari sesuatu, kita harus memperhatikannya dengan seksama. Sebaliknya, semakin banyak hal yang menggangu kita maka proses belajat akan semakin lambat. Misal: ketika mengantuk,grogi,sakit,gugup, kita akan tidak akan bisa belajar dengan baik.
2.  Retensi atau ingatan
Kita harus mampu mengingat apa yang kita perhatikan. Di tahap inilah perumpamaan dan bahasa akan bermain. Kita menyimpan  apasaja yang dilakukan modek yang kita lihat dalam bentuk citraan mental atau deskripsi verbal. Keika semua tersimpan, kita bisa memanggil kembali citraan atau deskripsi tadi sehingga kita dapat memproduksinya dengan pikiran kita sendiri.
3.  Reproduksi
Di tahap ini kita perlu duduk dan berhayal. Kita harus menterjemahkan citraan dan deskripsi tadi dalam perilaku aktual. Kita harus mampu mempunyai kemampuan mereproduksi perilaku dahulu. Contoh, ketika kita menonton bola walau seharian tetap saja kita tidak akan bisa meniru teknik-teknik dalam sepak bola, tapi jika kita adalah pemain bola kita akan apat mengingat teknik-teknik pemain bola yang lebih cakap daripada kita.
4.  Motivasi
Ketika kita memiliki motivasi, maka kita akan mempunyai dorongan-dorokan yang akan mendukung aktivitas kita.
Jenis motivasi menurut Bandura:
a) Dorongan masa lalu, yaitu dorongan-dorongan yang dimaksud behavioris tradisional
b) Dorongan yang dijanjikan (insentif) yang bisa kita bayangkan.
c)  Dorongan-dorongan yang kentara, seperti melihat atau teringat model yang patut ditiru.
Selain itu, ada juga motivasi negatif, yaitu yang memberi alasan anda tidak meniru, yaitu:
a) Hukuman yang pernah diterima
b) Hukuman yang dijanjikan (ancaman)
c)  Hukuman yang kentara

b. Regulasi Diri
Regulasi diri atau kemampuan mengontrol diri sendiri merupakan salah satu dari sekian penggerak utama kepribadian manusia.
Tiga tahap dalam proses regulasi:
1.   Pengamatan diri
Kita melihat diri dan perilaku kkita kemudian mengawsinya.
2.  Penilaian
Kita membandingkan diri kita dengan ukuran standar
3.  Respon diri
Memberi respon terhadap hasil dari perbandingan diri kita dengan ukuran standar tertentu.

Konsep yang paling penting dalm psikologi yang dapat dipahami dari sudut pandang regulasi adalah konsep diri (harga diri). Ketika kita merasa bahwa hidup kita telah sesuai dengan standar yang kita tetapkan, maka kita telah memperoleh penghargaan itu.
Penghukuman diri menurut bandura dapat membawa masalah. 3 hal yang muncul akibat penghukuman diri adalah:
1.   Kompensasi
2.  Ketdakaktifan
3.  Palarian

B.     TERAPI
1.  Terapi kontrol diri
Gagasan yang tercakup dalam konsep regulasi diri yang diaplikasikan dalam bentuk terapi. Terapi ini cenderung berhasil pada persoalan yang sederhana, seperti merokok. Cara dalam terapi ini:
a) Grafik-grafik behavioral
Pengamatan diri mengharuskan kita terus mengawasi perilaku kita, baik sebelum maupun sesudah berubah. Cara ini mencakup hal sederhana seperti, menghitung berapa banyak batang rokok yang dihabiskan dalam sehari, sampai ke hal-hal yang lebih rumit, seperti membuat catatan perilaku sehari-hari. Dengan cara ini anda akan dapat membantu anda untuk membawa anda ke tanda-tanda yang bisa diasosiasi dengan perilaku tertentu, seperti anda pasti merokok setelah makan atau setelah minum kopi atau saat mengobrol,dsb.

b) Perencanaan lingkungan
Jadikan patokan salah satu catatan perilaku anda, kemudian, anda dapat mengubah lingkungan anda, misal menghindari faktor-faktor  yang akan membawa kita pada perilaku jelek, seperti menyingkirkan asbak, tdak lagi minum kopi,dll.

c)  Perjanjian diri
Anda harus berani membuat janji dengan diri anda. Ketika perbuatan buruk tersebut dapat diubah atau dihapus maka anda harus memberi imbalan pada diri anda. Begitupun sebaliknya ketika gagal.

2. Terapi modeling
Ini adalah terapi Bandura yang paling terenal. Teori ini adalah jika anda bergaul dengan orang yang mengalami gangguan psikologis dengan tujuan bisa mengamati bagaimana cara orang tersebut menghadapi persoalan yang telah dialami, maka anda belajar dengan memposisikan orang tadi menjadi model.

2.9 KEPRIBADIAN SEHAT
A.       Kepribadian yang sehat menurut Maslow
Maslow (Yusuf Syamsu, 2007:161) berpendapat bahwa seseorang akan memiliki kepribadian yang sehat, apabila dia telah mampu untuk mengaktualisasikan dirinya secara penuh (self-actualizing person). Dia mengemukakan teori motivasi bagi self-actualizing person dengan nama metamotivation, meta-needs, B-motivation atau being values (kebutuhan untuk berkembang). Seseorang yang telah mampu mengaktualisasikan dirinya dirinya tidak termotivasi untuk mengejar sesuatu (tujuan) yang khusus, mereduksi ketegangan, atau memuaskan suatu kekurangan. Mereka secara menyeluruh tujuannya akan memperkaya, memperluas kehidupannya dan mengurangi ketegangan melalui bermacam-macam pengalaman yang menantang. Dia berusaha untuk mengembangkan potensinya secara maksimal, dengan memperhatikan lingkungannya. Dia juga berada dalam keadaan yang menjadi baik yaitu spontan, alami, dan senang mengekspresikan potensinya secara penuh.

Sementara motivasi bagi orang yang tidak mampu mengaktualisasikan dirinya, dia namai  D-motivation atau deficiency. Tipe motivasi ini cenderung mengejar hal yang khusus untuk memenuhi kekurangan dalam dirinya, seperti mencari makanan untuk memenuhi rasa lapar. Ini berarti bahwa kebutuhan khusus (lapar) untuk tujuan yang khusus (makanan) menghasilkan motivasi untuk memperoleh sesuatu dirasakannya kurang (mencari makanan). Motif ini tidak hanya berhubungan dengan kebutuhan fisiologis, tetapi juga rasa aman, cinta kasih, dan penghargaan.

Terkait dengan metaneeds, Maslow selanjutnya mengatakan bahwa kegagalan dalam memuaskan akan berdampak kurang baik individu, sebab dapat menggagalkan pemuasan kebutuhan yang lainnya, dan juga melahirkan metapatologi yang dapat merintangi perkembangannya. Metapalogi merintangi self-actualizers untuk mengekspresikan, menggunakan, memenuhi potensinya, merasa tidak berdaya, dan depresi. Individu tidak mampu mengidentifikasi sumber penyebab khusus dari masalah yang dihadapinya dan usaha untuk mengatasinya.

B.       Kepribadian yang sehat menurut Carl Rogers
Seperti halnya Maslow, Rogers juga tertarik menjelaskan seperti apakah pribadi yang sehat itu. Istilah yang dipakai adalah kepribadian yang berfungsi baik, yang mencangkup kualitas-kualitas berikut ini:
1.Terbuka terhadap pengalaman. Kualitas ini adalah kebalikan dari sikap bertahan. Orang yang memiliki kualitas ini memiliki persepsi yang akurat tentang pengalamannya tentang dunia, termasuk perasaannya sendiri. Perasaan merupakan bagian terpenting dari keterbukaan karena akan menunjukkan penilaian organismik. Jika anda tidak bisa terbuka terhadap perasaan sendiri, anda pun tidak akan bisa membuka diri untuk aktualisasi. Tentu bagian tersulit di sini adalah membedakan perasan riil dari kecemasan-kecemasan yang disebabkan oleh syarat-syarat kepatuhan.
2.Kehidupan eksistensial. Yaitu kehidupan di sini dan sekarang. Rogers, yang sangat ingin menyatu dengan realitas, menegaskan bahwa kita tidak hidup di masa lalu atau masa yang akan datang, yang pertama telah berlalu, sementara yang kedua belum terjadi. Masa sekarang adalah satu-satunya realitas yang kita miliki. Ini bukan berarti kita tidak seharusnya mengenang atau belajar dari masa lalu. Bukan pula berarti kita tidak bisa merencanakan atau bahkan berangan-angan tentang masa yang akan datang. Di sini yang dimaksud Rogers adalah kita seharusnya memandang sesuatu sebagaimana adanya, kenangan dan angan-angan adalah sesuatu yang kita alami di sini dan sekarang.

3.Keyakianan organismik. Kita harus membiarkan diri kita dituntun oleh proses penilaian organismik. Kita harus yakin pada diri sendiri, malukan apa yang menurut kita benar, wajar dan alamiah. Saya yakin anda sepakat dengan saya bahwa inilah poin teori Rogers mengundang perdebatan. Memang orang mengatakan, lakukanlah apa yang menurutmu wajar dan alamiah, jika anda seorang yang sadis, maka sakitilah orang yang lain, jika anda seorang yang masokis, maka sakitilah diri sendiri, jika narkoba dapat membuat anda senang, maka pakailah; jika anda sedang depresi, maka bunuhlah diri anda. Tentu saja ini bukan nasihat yang baik. Kejadian di era 60-an dan 70-an adalah dampak buruk dari sikap seperti ini. Tapi anda harus ingat bahwa yang menurut Rogers  harus dipercayai adalah diri anda yang sebenarnya, dan anda hanya bisa mengenali apa yang dikatakan diri anda yang sebenarnya jika anda bisa terbuka dengan pengalaman dan hidup secara eksistensial. Dengan kata lain, keyakinan organismik mengendalikan adanya keterkaitan anda dengan kecenderungan aktualisasi.

4.Kebebasan eksistensial. Rogers menganggap persoalan apakah manusia bebas atau tidak sebagai sesuatu yang tidak relevan. Kita merasa memiliki kebebasan seolah-olah kita benar-benar memilikinya. Ini bukan pula berarti kita bebas melakukan apapun. Kita dikelilingi oleh alam semesta yang membatasi. Saya tidak akan bisa terbang seperti superman walau telah mengepakkan tangan secepat mungkin. Artinya, kita hanya bisa merasa bebas jika ada pilihan yang ditawarkan pada kita. Rogers mengatakan bahwa hanya orang yang kepribadiannya berfungsi dengan baiklah yang dapat merasakan kebebasan dan bertanggung jawab atas apa yang jadi pilihannya.

5.Kreativitas. Jika anda merasa bebas dan bertanggung jawab, anda baru bisa bertindak menurut kewajaran dan dapat berpartisipasi dalam kehidupan. Orang yang kepribadiannya berfungsi baik, selalu terikat dengan aktualisasi, dengan sendirinya merasa bertanggung jawab untuk ikut serta dalam aktualisasi orang lain, termaksuk kehidupan itu sendiri. Hal ini dapat dilakukan melalui ilmu pengetahuan atau seni, melalui kepedulian sosial atau tugas sebagai orangtua, bahkan hanya dengan melakukan yang terbaik sesuai dengan kemampuannya. Kreativitas yang dimaksud Rogers di sini sangat mirip dengan apa yang disebut Erikson dengan generativitas.

Jadi menurut kami kepribadian sehat adalah:
a. Mandiri dalam berfikir dan bertindak, yaitu memiliki sifat mandiri dalam cara berfikir, dan bertindak, mampu mengambil keputusan, mengarahkan dan mengembangkan diri serta menyesuaikan diri dengan norma yang berlaku di lingkungannya.
b.  Mampu menjalin relasi sosial yang sehat dengan sesamanya, yaitu mau berpartsipasi aktif dalam kegiatan sosial dan memiliki sikap bersahabat dalam berhubungan dengan orang lain.
c.  Dapat menerima dan melaksanakan tanggungjawab yang dipercayakan, yaitu dia mempunyai keyakinan terhadap kemampuannya untuk mengatasi masalah-masalah kehidupan yang dihadapinya.
d. Dapat mengendalikan emosi merasa nyaman dengan emosinya, dapat menghadapi situasi frustrasi, depresi, atau stress secara positif atau konstruktif , tidak destruktif (merusak).
e.  Mampu menilai diri sendiri secara realisitik, yaitu mampu menilai diri apa adanya tentang kelebihan dan kekurangannya, secara fisik, pengetahuan, keterampilan serta mampu menerima diri sendiri dan orang lain sebagaimana apa adanya.
f.   Mampu menilai situasi secara realistik, yaitu dapat menghadapi situasi atau kondisi kehidupan yang dialaminya secara realistik dan mau menerima secara wajar, tidak mengharapkan kondisi kehidupan itu sebagai sesuatu yang sempurna.
g.  Mampu menilai prestasi yang diperoleh secara realistik, yaitu dapat menilai keberhasilan yang diperolehnya dan meraksinya secara rasional, tidak menjadi sombong, angkuh atau mengalami superiority complex, apabila memperoleh prestasi yang tinggi atau kesuksesan hidup. Jika mengalami kegagalan, dia tidak mereaksinya dengan frustrasi, tetapi dengan sikap optimistik.
h. Berorientasi tujuan, yaitu dapat merumuskan tujuan-tujuan dalam setiap aktivitas dan kehidupannya berdasarkan pertimbangan secara matang (rasional), tidak atas dasar paksaan dari luar, dan berupaya mencapai tujuan dengan cara mengembangkan kepribadian (wawasan), pengetahuan dan keterampilan.
i.   Berorientasi keluar (ekstrovert), yaitu bersifat respek, empati terhadap orang lain, memiliki kepedulian terhadap situasi atau masalah-masalah lingkungannya dan bersifat fleksibel dalam berfikir, menghargai dan menilai orang lain seperti dirinya, merasa nyaman dan terbuka terhadap orang lain, tidak membiarkan dirinya dimanfaatkan untuk menjadi korban orang lain dan mengorbankan orang lain, karena kekecewaan dirinya.
j.   Memiliki filsafat hidup, yaitu mengarahkan hidupnya berdasarkan filsafat hidup yang berakar dari keyakinan agama yang dianutnya.
k.  Berbahagia, yaitu situasi kehidupannya diwarnai kebahagiaan, yang didukung oleh faktor-faktor achievement (prestasi), acceptance (penerimaan), dan affection (kasih sayang).

BAB III
KESIMPULAN


3.1 Kesimpulan
Teori humanistik berkembang sekitar tahun 1950-an sebagai teori yang menentang teori-teori psikoanalisis dan behavioristik. Serangan humanistik terhadap dua teori ini adalah bahwa kedua-duanya bersifat “dehumanizing” (melecehkan nilai-nilai manusia). Teori humanistic dipandang sebagai “third force” (kekuatan ketiga) dalam psikologi, dan merupakan alternative dari kedua kekuatan yang dewasa ini dominan (psikoanalisis dan behavioristik). Kekuatan yang ketiga ini dinamakan humanistic karena memiliki minat yang eksklusif terhadap tingkah laku manusia.

Humanistik dapat diartikan sebagai “orientasi teoritis yang menekankan kualitas manusia yang unik, khususnya terkait dengan free will (kemauan bebas) dan potensi untuk mengembangkan dirinya”. Misalnya, teori kepribadian humanistik ini diajarkan oleh beberapa ahli di antaranya adalah Carl Rogers yang membagi aspek-aspek kepribadian menjadi dua yaitu organisme dan self. Menurut Maslow kepribadian manusia itu ditandai dengan terpenuhinya lima kebutuhan manusia yaitu : kebutuhan fisiologis, kebutuhan rasa aman, kebutuhan mencintai dan memiliki, kebutuhan penghargaan dan kebutuhan aktualisasi diri.

3.2 Saran
Setelah mempelajari teori kepribadian humanistic ini, diharapkan agar supaya mahasiswa dapan mengetahui dan memahami masalah-masalah yang kami bahas dalam makalah ini. Seperti kebutuhan-kebutuhan manusia dan kepribadian humanistik menurut beberapa ahli. Tidak hanya memahami, sebagai seorang calon konselor hendaknya mampu menerapkan atau mengaplikasikan dalam proses kehidupan pribadi konselor serta pada kliennya.



DAFTAR PUSTAKA


Boerre George. 2009. Personality Theoris, Yogyakarta: Prismasophie




Tidak ada komentar:

Posting Komentar